Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air kehidupan akan menjadi gersang.
Geographer - Free Researcher - Geography Teacher - Hydrology Interest - Aktivis

Banjir Jakarta



BANJIR, RUANG TERBUKA HIJAU DAN PENATAAN RUANG
“ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN”
 
1.      Kejadian Banjir dan Fisik Wilayah Jakarta
Kejadian banjir di DKI Jakarta pada dasarnya telah berlangsung sejak dahulu. Kali pertama Bangsa Belanda datang ke Batavia (nama Jakarta dahulu), dengan tujuan menghindari perlawanan dari kerajaan Banten. Pilihan Belanda mendirikan kota Batavia didasarkan pada kesamaan fisik wilayah (fisiografi) antara Jakarta dengan kota asal di negeri mereka. Hasilnya struktur ruang kota hasil perencanan Belanda sangat terbatas, baik konteks pengembangan maupun peruntukan fungsi lahannya. Dalam konteks ini, belanda memahami perencaannya secara terpadu, dengan memperhatikan Bogor sebagai satu sistem terintegrasi. Di wilayah Jakarta sendiri (Jakarta Pusat dan Jakarta Utara) telah dibangun kanal-kanal untuk menyalurkan air langsung ke laut. Idealnya fakta ini dipahami dalam konteks perencaan ruang dan analisis struktur kota Jakarta saat ini, agar ruang di Jakarta berkembang terencana sesuai dengan fakta fisik (phisiography) wilayahnya serta trend pertumbuhan kotanya.
Fisiografi Jakarta rentan terhadap banjir, baik banjir luapan sungai, banjir genangan maupun banjir rob air laut. Faktanya wilayah Jakarta tersusun dari:
1) Morfologi Jakarta sebagai daerah pesisir berupa rawa
2) Lebih dari 50% terletak pada ketinggian kurang dari 25 m dpl
3) Memiliki 13 sungai besar dan 190 danau/situ mengalir ke muara teluk Jakarta.
4) Merupakan wilayah yang terpengaruh dengan tinggi muka air laut, dengan fisik dataran pesisirnya berupa hutan mangrove.
          Fakta sosial Jakarta menunjukkan 1) Jakarta menjadi pusat ekonomi, jasa dan perdangan. 2) Dihuni lebih dari 8,5 juta jiwa (2010) 3) Sebagian penduduk menempati ruang tidak sesuai peruntukan bahkan bertentangan dengan aturan tata ruang.        Pada perkembangnya, penataan ruang di Jakarta lebih mempertimbangkan nilai ekonomis dibanding nilai ekologis. Pada saat yang sama, perkembangan Jakarta melepaskan kaidah ekologis asalnya sebagai wilayah yang rentan banjir. Rawa-rawa diubah menjadi dataran untuk pemukiman, juga kegiatan reklamasi yang mengubah mangrove pesisir Jakarta menjadi kawasan pemukiman industry dan jasa. Penduduk terus bertambah karena daya tarik Jakarta secara ekonomi, akibatnya pertumbuhan penduduk tidak terkendali. Interaksi kedua sistem fisik dan sistem sosial ini memicu masalah banjir Jakarta yang kompleks.
Kejadian banjir di DKI Jakarta hampir berlangsung tiap tahun, dengan intensitas dan dampak yang berbeda. Terdapat daerah langganan banjir, umumnya secara fisik merupakan dataran banjir (flood plain) atau pemukiman diatas badan sungai. Banjir jenis ini yang biasa terjadi berulang-ulang dan sepanjang musim penghujan. Bahkan dengan besar curah hujan yang sama.
Banjir sebagai fenomena ruang, yang melibatkan interaksi fisik dan sosial yang kompleks, perlu ditangani dengan pendekatan konseptual yang benar. Salah satunya pendekatan kelingkungan dan keruangan (ecological and regional). Penanganan banjir perlu dikaji dari sudut ekologi, yaitu melihat fakta banjir sebagai fakta lingkungan, maka banjir bisa ditangai dengan pendekatan ekologi juga. Juga melihat banjir sebagai masalah ruang (spatial), maka penyelesainya dengan melihat banjir dari aspek ruang. Termasuk banjir Jakarta dalam konteks ekologi merupakan gejala hidrologis yang tidak seimbang, antara hulu tengah dan hilir. Dari aspek ruang (spatial), terdapat kesalahan dalam konteks pemanfaatan ruang, yang tidak terkendali dan tidak berdasar pada aturan.
Harapan untuk menyelesaikan masalah banjir Jakarta yang terus berulang pada dasarnya menjadi keinginan kuat semua elemen, mengingat kerugian yang ditimbulkan sangat besar, menyangkut ketahan Jakarta sebagai Ibu Kota. Berbagai pendekatan terus diupayakan, hasilnya belum menunjukkan terjadi penurunan dampak banjir di Jakarta.
 
2.      Pendekatan Penanganan Masalah Banjir dengan Ruang Terbuka Hijau dan Penataan Ruang
Pendekatan Tata Ruang Wilayah berdasarkan pada Undang-undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 mengamanatkan agar Ruang Kota harus memenuhi Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30%. Dalam kaitannya dengan Banjir RTH ini dapat berfungsi sebagai pengendali banjir, sesuai konsep hidrologis bahwa dalam lingkungan yang terbuka dan hijau, proses evapotranspirasi dapat berlangsung seimbang. Faktanya RTH di DKI Jakarta hingga tahun 2012 hanya mampu mencapai 9.8 % dengan pendekatan sektoral.
Dengan jumlah ruang terbuka hijau (RTH) mencapai 30%, dan tersebar pada ruang yang terbuka, dapat faktor penentu besaran infiltrasi air ke dalam tanah. Hal ini berarti menunjukkan siklus hidrologi yang lebih normal. Berkurangnya limpasan air juga berarti mengurangi besaran banjir akibat luapan air sungai atau limpasan, juga banjir genangan.
Dalam konteks penataan ruang, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta hendaknya terintegrasi dengan RTRW Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi dan Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Prinsip dasarnya RTRW harus terintegrasi berdasarkan sistem Daerah Aliran Sungai di suatu wilayah. Kaitanya dengan banjir DKI Jakarta, wilayah hulu DAS Ciliwung dan 12 sungai besar lainnya masuk dalam administrasi Kota Depok, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor.
Sebagai kesimpulan, Banjir, Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Penataan Ruang adalah satu sistem yang kompleks, yang terintegrasi dan terpadu dan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, walaupun faktanya cenderung berjalan parsial. Kewenangan dan otoritas yang saling tumpang tindih, menyebabkan ego-sektoral dan kewilayah muncul, akibatnya masalah banjir Jakarta belum dapat tertangani secara optimal.
 
------------------------------------Sekian----------------------------------------------------------
 

 

Edisi: Desember 2018

Antisipasi Banjir 2018 Berdasarkan Data Curah Hujan DKI Jakarta
Oleh: Ahmad Munir
 
Penduduk Jakarta tentu menginginkan lokasi yang ditempatinya terhindar dari banjir. Banjir bagi warga Jakarta jelas menghambat berbagai macam aktivitas, utamanya aktivitas ekonomi. Jika banjir berlangsung dan persiapan belum matang, maka banjir jelas akan menjadi bencana yang merugikan.
Banjir baru dapat dikatakan sebagai bencana, dengan syarat timbul korban, dapat berupa korban jiwa atau korban kerugian materi. Banjir sebagai bencana jelas tidak sulit. Warga DKI yang rumahnya terendam banjir jelas akan merusakan banyak perabotan rumah tangga, bahkan ada kemungkinan benda-benda di rumah hilang.

Penulis telah banyak mengamati perilaku warga saat terjadi banjir. Umumnya warga Jakarta, khususnya yang tinggal di sepanjang segmen Ciliwung Manggarai-Kampung Melayu tidak siap sejak dini. Banjir sebagai bencana dapat diantisipasi jika jenis banjirnya banjir kiriman dari debit di hulu. Yakni ketika bending Katulampa siapa dan awas. Akan tetapi, jika kejadian banjirnya berupa curah hujan yang tinggi di wilayah Jakarta tidak semua warga siap.

This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free