Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air kehidupan akan menjadi gersang.
Geographer - Free Researcher - Geography Teacher - Hydrology Interest - Aktivis

Geografi Pesisir

GEOGRAFI PESISIR KULIAH KE-2

Sebagai sebuah gejala alam, geograf tentu ingin mengetahui fakta tentang runtuhnya jembatan di Priok. Dari sudut teknik sipil orang akan mencari fakta struktur jembatan. Apakah struktur jembatanya sesuai dengan yang direncakan atau ada faktor lain yang mengganggu struktur yang direncanakan? kumpulkan data tentang gejala, dan kalau mau tahu lagi kenapanya, itu karena abrasi. Tapi dari sudut geograf Intensitas (frekuensi, kecepatan dan arah gelombang).
Maka dari sudut geografi, kita pertama akan mengamati gejala runtuhnya bangunan jembatan dari posisi jembatan. Pertanyaanya, di mana letak jembatan yang runtuh?
Faktor kedua adalah jenis tanah. Tanah jenis endapan tentu akan mudah terabrasi, dibanding dengan tanah jenis lempung.  Kalau dari jenis kemiringan relatif sama yakni datar. Sedangkan variabel lain yang ikut berpengaruh adalah jenis vegetasi dan kerapatan vegetasi.
Orang Geodesi ITB telah mengamati dari tahun 1997, dimana salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan bangunan adalah pemanfaatan air tanah yang berlebihan, atau penurunan muka air tanah diwilayah pesisir priok.
Sedangkan dari aktivitas manusianya adalah bagaimana masyarakat menggunakan air tanah. Belum tentu warga pesisir member kontribusi terhadap penyusutan air tanah. Area mana yang member kontribusi signifikan terhadap perubahan struktur air tanah.
Jika diperhatikan, maka kita harus memperhatikan dengan jeli, bagaimana banjir rab mempengaruhi perubahan struktur jembatan. Sekarang turun tanahnya sekitar 1 meter sejak tahun 1997.
Air sumur memang sudah tidak digunakan, dalam beberapa wilayah di Jakarta Utara. Yang berpengaruh langsung adalah yang menggunakan air tanah, dan mereka menggunakan air tanah dalam dengan kedalaman sekitar 60 meter.
Siklus hidrologi yang tidak berimbang, masa berkurangnya air bisa sama, tapi dalam waktu yang berbeda, dikarenakan banyaknya dan padatnya penduduk yang menggunakan air tersebut. Jika proses recharge yang terjadi tidak sama dengan proses berkurangnya, maka jelas terjadi pengurnagan.
Banjir di Jakarta tidak hanya disebabkan oleh gejala iklim, tetapi disebabkan oleh rab juga. Air masuk melalui aktivitas pasang surut air laut.
Mitigasi bencana sebenarnya telah dilakukan oleh masyarakat tradisional dahulu. Untuk tetap tinggal diwilayah rawa dan rab, mereka melakukan adaptasi, dan itu sangat tergantung pada kemampuan manusia melakukan adapatasi. Tidak selalu modernisasi menghasilkan model adaptasi yang terbaik, dan justru sering menimbulkan bencana.
Di daerah terpencil, misal pulau pramuka di kepulauan seribu, ada bagian-bagian di wilayah pesisir yang memiliki air tanah dangkal. Di pulau-pulau kecil biasanya karena formasi batuan yang berbeda dengan bagian pantai yang lain. Batuan kedap air ini yang menahan air hujan dan menjadi air tanah dangkal.
Dampak negatif yang sering muncul dari proses sedimentasi antara lain: pendangkalan, pencemaran. Pencemaran pasti ke mahluk hidup, kalau ke manusia yang penyakit, misal minimata di Jepang. Gejala-gejala tersebut bisa menjadi pemicu untuk menjawab; ada apa? Dan kenapa?
Dampak positifnya, menciptakan lahan baru dan kesuburan tanah.
=================================================


MAKALAH
ANCAMAN FISIK DAN SOSIAL DI WILAYAH PESISIR DI KABUPATEN MERAUKE
 
TUGAS MATA KULIAH
GEOGRAFI PESISIR
 
 
 
 
 
 
 
 
Oleh: Kelompok 5
AHMAD MUNIR, 0706265150
DEPARTEMEN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
 
TAHUN 2010

1.      Pendahuluan
Indonesia sebagai salah satu Negara kepulauan merupakan Negara yang memiliki ancaman terhadap gangguan fisik maupun sosial di wilayah pesisir. Secara fisik, ancaman tersebut bisa bersumber dari laut, juga bisa bersumber dari darat. Ancaman dari laut seperti peningkatan tinggi muka laut, terjadinya perubahan arus laut, juga arah angin. Sedangkan ancaman fisik dari darat berupa sedimentasi material daratan, pencemaran di wilayah pesisir, perubahan penggunaan lahan yang cepat dan lain-lain. Semua itu mengancam wilayah pesisir dengan berbagai karakteristiknya, termasuk wilayah pesisir di selatan provinsi Irian Jaya, yakni Kabupaten Merauke.
Tulisan ini mengkaji wilayah pesisir kabupaten merauke dengan analisis deskriptif, dengan menggunakan data acuan berupa data sekunder. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan regional, yakni berusaha memahami secara lengkap gejala-gejala dan fenomena wilayah pesisir di kabupaten merauke. Dalam hal ini, Kabupaten Merauke menjadi unit analisis dengan region pembatas unit analisis adalah wilayah administratif dan batas-batas di sekitarnya, dengan berbagai tema pokok pesisir dan karakteristik di dalamnya. Selanjutnya analisis deskriptif digunakan untuk mendapatkan informasi tentang ancaman di wilayah pesisir Kabupaten Merauke.
 
2.      Pembahasan
            Sebagai Negara kepualauan dengan panjang pantai 81.000 km, maka wilayah pesisir dengan garis pantainya merupakan wilayah yang memiliki ancaman cukup tinggi baik secara fisik maupun sosial. Data tentang ancaman-ancaman ini penting, untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana pada masa mendatang, sebagai upaya mitigasi dalam pencegahan korban bencana.
a.      Wilayah Kajian
            Kabupaten Merauke terletak pada koordinat 137°00′ 00” - 141° 00′ 00” Bujur Timur dan antara 05° 00′ 00” - 09° 00′ 00” Lintang Selatan. Di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Diegul, di bagian timur berbatasan dengan negara tetangga Papua New Guinea (PNG), dan di sebelah selatan terbuka ke laut Arafuru. Di bagian selatan yang berbatasan dengan laut aru, merupakan wilayah pesisir yang memiliki karakteristik unik.
            Kabupaten Merauke mempunyai luas wilayah 45.071 km2 dan mempunyai 11 Distrik/Kecamatan dan 160 Kampung. Kabupaten Merauke saat ini ditetapkan sebagai Kabupaten induk dari 4 kabupaten hasil pemekaran wilayah berdasarkan UU No.26 Tahun 2002 tentang otonomi daerah.
            Berdasarkan karakteristik flora dan fauna, merauke adalah kota yang paling selatan di Indonesia, yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Disebabkan oleh jaraknya yang dekat dengan Australia, sehingga terdapat kesamaan karakteristik alam yakni flora dan founa yang mirip dengan dataran kering. Di sekitar Merauke terdapat savana, pohon kayu putih dan kangguru mengingatkan kita kepada Benua Australia. Pohon Sagu, yang merupakan sumber kebutuhan pokok, tumbuh disekitar sungai dan rawa. Pada Wilayah-wilayah pesisir pantai terdapat pohon bakau dengan pantai yang berlumpur.
             Secara klimatis, Kabupaten Merauke bagian selatan merupakan wilayah yang beriklim kering, sedangkan bagian utara beriklim basah. Merauke sering panas dan sangat berdebu. Secara geologis, Kenampakan bentuk medan yang menonjol di wilayah pesisir bagian pantai antara lain: bentuk medan (Landform) tektonik dan beting pasir pantai tua. Kenampakan bentuk medan (landform) tektonik terbentuk dari batuan sedimen masam. Beting pasir tua terbentuk dari endapan pasir marine. Daerah-daerahnya berada diwilayah rendah, dan berliku-liku dan banyak sungai dan perbukitan disebelah utara yaitu pegungan jayawijaya.
            Sebagai wilayah pesisir, ancaman terhadap wilayah tersebut baik fisik maupun sosial terus terjadi. Secara fisik, dataran kapur yang mendominasi wilayah pesisir di kabupaten merauke merupakan ancaman bagi ketersediaan air. Sedangkan secara sosial, karakteristik kependudukannya meliputi berbagai macam karakter Demografis. Jumlah penduduk merauke terdiri dari 17 suku setempat dengan perbedaan bahasa dan kebudayaan. Beberapa suku yang lainya antara lain: Marind, Moraori, Kanum, Yei, Kimaam, Muyu, Mandobo, Jair, Kuruwai, Kombai, Citak, Mitak. Yaghai, Awyu, Asmat, Wiyagar and Yelmek. yang dari ke17 suku yang terdapat dikabupaten merauke ini marindlah yang merupakan suku asli yang memiliki kota merauke. Disamping itu banyak suku dari daerah lain. Dengan demikian, potensi ancaman secara sosial juga lebih tinggi.
            Di Merauke, terdapat beberapa sungai besar diantaranya Sungai Digul, S. Maro, S. Bian, dan S. Kumbe. Diantara sungai tersebut, hanya Sungai Digul yang memungkinkan disadap untuk irigasi. Sementara empat sungai lainnya debitnya kecil dan mengalami intrusi air laut hingga jauh ke pedalaman. Untuk pertanian pada saat ini masih mengandalkan hujan dan air rawa. Pada sebagian wilayah atau kawasan telah dikembangkan irigasi dengan pembangunan saluran-saluran sekunder dan primer yang memanfaatkan air rawa dan bendali (long storage) yang dapat menampung air hujan di musim hujan. Saluran primer dan sekunder yang telah ada masing-masing sepanjang 242.135 m dan 554.031 m.
 
b.      Ancaman Wilayah Pesisir
            Karakteristik pesisir adalah dipengaruhi daratan dan lautan, yang merupakan zona transisi yang mana agen yang dapat menimbulkan bencana dapat datang dari laut atau dari darat. Air laut sebagai agen yang bekerja dapat menimbulkan bencana antara lain: tsunami, gelombang tinggi, banjir pasang surut dan erosi pantai. Sedangkan yang berkaitan dengan air permukaan, bencana yang ditimbulkan dapat berupa: banjir limpasan sungai; dengan muatan sedimen: sedimentasi, dan dengan kompaksi batuan: subsiden.
            Ancaman wilayah pesisir merupakan bahaya yang mungkin terjadi di wilayah pesisir menurut ukuran bencana, maupun ukuran kerusakan. Dengan mengetahui berbagai ancaman yang mungkin timbul pada lingkungan, maka perlu di lakukan kajian dini agar segala aspek dapat dijelaskan dengan detail.
            Karakter dari setiap macam bencana itu perlu dipahami agar kita dapat menyusun strategi menghadapi ancamannya. Secara umum, disamping memperkirakan waktu kejadian, pemetaan daerah-daerah di kawasan pesisir yang terancam oleh suatu ancaman bahaya geologi adalah langkah penting yang harus dilakukan dalam aktifitas mitigasi bencanaa atau geologi itu yang dilakukan berdasarkan karakter dari bencana atau bahaya geologi tersebut.           
Ancaman Fisik
            Terdapat dua agen utama yang dapat menyebabkan bencana di wilayah pesisir, yaitu gelombang air laut dan air permukaan. Air laut sebagai agen yang bekerja dalam bentuk gelombang dan pasang-surut, sedang air permukaan hadir dalam bentuk debit air permukaan yang besar.
            Tipe hujan E meliputi wilayah Distrik Muting dan Ulilin di bagian Utara. Tipe hujan G meliputi wilayah distrik Okaba dan Kurik. Sedangkan tipe hujan H yang relatif kering meliputi wilayah distri Merauke dan Sota di bagian Tenggara. Dengan demikian, daearh merauke berpotensi mengalami kekeringan untuk ketersediaan air bersih di permukaan. Jika sewaktu-waktu terjadi peningkatan jumlah penduduk secara signifikan.
            Tabel: Sebaran Ancaman Fisik di Berbagai Titik di kabupaten Merauke.
No
Jenis Bencana
Lokasi
Permasalahan
Ancaman
1
Tsunami
 
 
Distrik di sepanjang garis pantai, dank ke arah daratan hingga mencapai ketinggian
Terdapat pemukiman penduduk dan kota merauke juga terdapat di wilayah rawan tsunami
Hilangnya pemukiman dan perkotaan di wilayah pesisir
2
Gelombang Tinggi
 
 
Distrik di sepanjang garis pantai, dank ke arah daratan hingga mencapai ketinggian tertentu dibawah tsunami
Gelombang tinggi dapat menimbulkan genangan sekaligus merusakan mengingat topografio yang rendah dan datar disebagia besar kabupaten merauke.
Rusaknya fasilitas dan sarana penduduk, serta ancaman timbulnya genangan-genanagan baru
3
Erosi Pantai
 
 
Wilayah pantai
Dapat memicu dan menimbulkan potensi bencana yang lebih besar bagi wilayah pantai.
Kerusakan ekosistem pantai
4
Banjir Pasang-surut dan Subsiden
 
 
Wilayah di sepanjangan garis pantai
Mengancam daerah yang terletak di sepanjang garis pantai
Menimbulkan masalah pada wilayah yang dihuni oleh penduduk atau warga.
5
Banjir Luapan Sungai
 
 
Wilayah yang datar dan memiliki berdekatan dengan tanggul sungai atau dataran banjir
Dapat memicu banjir dan luapan di sepanjang garis sungai dan tanggul sungai.
Menimbulkan masalah di wilayah yang dekat dengan tanggul sungai
6
Sedimentasi
Muara Sungai seperti distrik: Pipis Dumande, Merauke, Katte dll.
Mempengaruhi aktivitas penduduk di muara sungai.
Memicu terjadinya bencana bencana lain, seperti banjir dan erosi.
 

Gambar a.      Tsunami  
            Areal yang terganggu oleh gelombang tsunami dapat sangat luas. Hal ini tergantung pada ketinggian gelombang tsunami serta kondisi morfologi daratan pesisir yang dilanda oleh tsunami. Selain itu, panjang garis pantai yang dilanda tsunami juga dapat sangat panjang ratusan kilometer. Pelajaran dapat kita ambil dari kejadian tsunami 26 Desember 2004 yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam. Air laut karena tsunami masuk ke daratan sampai sejauh 3,5 km di Banda Aceh karena lahan pesisir kawasan itu yang datar. Sementara itu dari tsunami yang terjadi di Biak tahun 1996, tsunami hanya melanda daerah tertentu di dekat pantai yang rendah dan darat yang merupakan lembah sungai seperti di daerah Korem, Biak Utara. Hanya sedikit daerah pantai yang terlanda tsunami karena sebagian besar daerah pantai merupakan daratan yang tinggi dengan morfologi bertebing (Setyawan dan Witasari, 2004).
            Kehadiran sistem pertahanan pantai alamiah dapat mengurangi kekuatan gelombang tsunami yang melanda ke daratan, sehingga dapat mempersempit luas areal yang terganggu. Pengamatan di Taman Nasional Yala dan Bundala di Sri Lanka menunjukkan bahwa terumbu karang, mangrove, bukit pasir dan berbagai ekosistem lain seperti rawa gambut dapat memberikan perlindungan terhadap daratan pesisir dari gelombang tsunami dengan mengurangi energi gelombang tsunami (Srinivas, tanpa tahun).      
            Ancaman Bencana Tsunami, terutama di wilayah pesisir Merauke akan banyak terjadi di wilayah pesisir teruatama yang sudah tidak memiliki tanggul pantai alami. Beberapa distrik yang memiliki ancaman besar terhadap tsunami antara lain: Wanne, Karoarke, Jamunirat, Katmaru, Notier, Merauke, Ongare dll.
b.      Erosi Pantai         
            Ketika erosi pantai berlangsung, erosi hanya mengenai garis pantai dari segmen pantai yang tererosi. Laju erosi yang terjadi menentukan berapa lebar lahan tepi pantai yang hilang tererosi dalam suatu jangka waktu tertentu. Untuk jangka panjang, membicarakan masalah erosi yang terjadi di suatu segmen pantai berarti membicarakan kemungkinan luas lahan pantai yang akan hilang pada suatu periode waktu tertentu. Dengan kata lain, berbicara masalah erosi untuk jangka panjang berarti membicarakan lahan pantai yang terancam hilang oleh erosi.
            Kabupaten Merauke dengan karakteristik pemukiman terkonsentrasi di wilayah pesisir dan dengan beberapa distrik berada di sepanjang garis pantai, akan mengalami dampak yang lebih besar. Ancaman ini berpotensi terjadi di semua distrik yang berdekatan dengan pantai. Dengan demikian, beberapa kemungkinan adalah hilangnya luasan lahan di pemukiman-pemukiman yang berdekatan dengan garis pantai. Atau bahkan hilangnya pemukiman mengingat di daerah kapur laju erosi bisa terjadi lebih cepat di banding dataran dengan jenis tanah yang lain.
            Ancaman fisik lain lain adalah penggalian pasir di sepanjang pantai pesisir merauke. Fenomena ini terjadi di Pantai Lampu Satu, yang statusnya dilarang oleh pemerintah untuk kegiatan penambangan pasir. Penambangan pasir pantai yang berlebihan dapat menyebabkan wilayah pantai menjadi berkurang, dan dapat menimbulkan potensi bencana yang lebih besar.
Berikut lokasi penggalian pantai di pesisir merauke.
Right Arrow: Lokasi Penggaian Pasir
Sumber: Peta Dinding Bakosurtanal, 2007
            Penggalian pasir telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekosistem di daerah penggalian pasir tersebut. Penggalian dan penjualan pasir semen dan pasir laut di wilayah potensial dan pesisir pantai di Kabupan Merauke yang notabene dilakukan oleh masyarakat. Ancaman yang lebih besar dapat terjadi di pesisir merauke.
 
Ancaman Sosial
            Penetapan batas wilayah negara (demarkasi dan delimitasi) dilakukan  untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan wilayah negara. Upaya ini membutuhkan dukungan, seperti survei dan pemetaan wilayah perbatasan, penamaan (toponim) pulau, border diplomacy, hingga pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Beberapa masalahan umum yang terkait dengan isu demarkasi dan delimitasi batas. Dan kabupaten merauke merupakan salah satu kabupaten di wilayah perbatasan yang mengahdapi masalah tersebut.
            Belum terselesaikannya kesepakatan beberapa segmen garis batas dengan negara tetangga baik batas darat maupun batas laut. Permasalahan batas yang perlu diprioritaskan penanganannya saat ini adalah perbatasan laut, dimana garis batas laut, terutama BLK dan ZEE, sebagian besar belum disepakati bersama negara-negara tetangga. Adapun untuk BLT, hanya 2 segmen batas laut yang belum disepakati, yaitu batas laut RI dengan.
            Segala jenis kapal dan pesawat udara negara asing, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia, antara satu bagian dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya.
            Toponimi Distrik-distrik baru yang tumbuh di Kota Merauke merupakan istilah yang dapat dipahami tidak berasal dari adat istiadat merauke. Seperti: Harapan Makmur, Rawasari, Bumi Makmur, Jaya Makmur, Suka Maju dll. Nama-nama tersebut identik dengan nama-nama tempat di Pulau Jawa, yang mengindikasikan pemukiman tersebut merupakan pemukiman pendatang. Hal ini secara tidak langsung mengancam keberadaan penduduk pendatang, jika pada suatu waktu terjadi konflik antara penduduk pribumi dengan penduduk pendatang.
Gambar: Toponimi di Kabupaten Merauke
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2008
           
             
            Dilihat dari Toponimi, nama-nama Distrik di Kota Merauke, sebagai wilayah pembangunan utama menjadi tidak bermakna. Nama-nama distrik seperti: Budiman, Jayamakmur, Rawasari menunjukkan toponimi asal daerah yang dikembangkan, bukan nama-nama daerah yang sebenarnya. Ancaman terhadap konflik masyarakat local, jelas akan meningkat manakala masyarakat lokal menjadi masyarakat yang semakin terdidik. Kedatangan masyarakat luar yang justru bermukin di wilayah tersebut akan memicu konflik.
            Kabupaten merauke dalam master plan pengembanganya sedang direncanakan pemerintah sebagai Lumbung Padi di Kawasan Indonesia Timur. Luas lahan basah berkisar 1,9 Juta Ha, dan yang telah direncakan untuk pembangunan rice estate seluas 1,2 Juta Ha. Sedangkan sisanya berupa lahan kering yang juga potensial untuk dikembangkan tanaman pangan.
            Program pemerintah untuk menjadikan Kabupaten Merauke sebagai lumbung pangan (beras) nasional perlu diimbangi dengan pengembangan tanaman pangan lahan kering. Lahan yang potensial untuk tanaman pangan lahan kering di Kabupaten Merauke sangat luas. Wilayah bagian selatan termasuk beriklim kering, sedangkan bagian utara beriklim basah. Landform tektonik (struktural) dan beting pasir pantai tua mendominasi lahan kering di wilayah tersebut. Tanah pada landform tektonik (struktural) terbentuk dari batuan sedimen masam, terdiri atas Typic Eutrudepts, Oxic Dystrudepts, Typic Plinthudults, dan Typic Hapludults. Sementara itu, tanah pada landform beting pasir pantai tua terbentuk dari endapan pasir marin, terdiri atas Typic Udipsamments dan Typic Quartzipsamments. Untuk memperbaiki kualitas dan potensi lahan diperlukan pemupukan lengkap NPK, kapur pertanian, dan bahan organik. Baru sebagian kecil dari lahan kering yang ada dimanfaatkan untuk tanaman pangan lahan kering. Oleh karena itu, peluang untuk meningkatkan produktivitas lahan kering di Kabupaten Merauke masih terbuka luas.
            Pola pengelolaan tanah dengan menggunakan pupuk dan bahan organik di Kabupaten Merauke Papua dapat meningkatkan tingkat kerusakan dan pencemaran. Adanya penggalian pasir di sepanjang panti di pesisir merauke merupakan fenomena sosial yang berdampak pada kerusakan fisik. Kondisi daerah pesisir pantai di Merauke semakin menghawatirkan. Hal tersebut dapat terlihat jelas di sepanjang pantai Lampu Satu misalnya, aktifitas penggalian pasir pantai dapat dengan mudah dijumpai. Padahal, sudah ada Peraturan Pemerintah yang dengan tegas melarang adanya aktifitas penggalian pasir di pantai.
            Pengembangan proyek rice estate di Kabupaten Merauke ditinjau dari aspek pengolahan tanah dan air, maka jelas akan menimbulkan penurunan kualitas tanah, seiring dengan pemanfaatan tanah secara terus menerus. Kerusakan akan lebih buruk, jika pemanfatan tanah tidak menggunakan kaidah-kaidah pengelolaan tanah yang baik.
 
c.       Analisis dan Pembahasan
            Dalam alur skema pembangunan wilayah, pesisir di Kabupaten Merauke masih tergolong baik dibanding kondisi wilayah pesisir di Pulau Jawa. Namun kecenderungan mengarah pada kerusakan wilayah pesisir di Kabupaten Merauke sebagaimana di Pulau Jawa.
            Perubahan pola makanan, termasuk makanan pokok harian masyarakat merauke, yang semula mengkonsums sagu, kemudian beralih ke beras, menyebabkan sebagian wilayah pesisir di Kabupaten Merauke mulai dikembangan projek rice estate. Proyek ini memvisikan kabupaten merauke menjadi salah satu lumbung beras di Indonesia timur. Proyek ini jelas mengancam keberadaan wilayah pesisir, akibat perubahan penggunaan lahan.
 
d.      Penutup
Dengan melihat berbagai fakta dan potensi bencana yang ada diatas, jelas bahwa kabupaten merauke dan kota merauke merupakan bagian dari wilayah pesisir yang rawan terhadap ancaman fisik dan sosial. Ancaman fisik dapat terjadi sewaktu waktu dan lebih susah untuk diprediksi, sedangan ancaman sosial makin tumbuh seiring dengan dinamika kehidupan sosial di wilayah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
 
D. Djaenudin dan M. Hendrisman, 2007. Prospek Pengembangan Tanaman Pangan Lahan Kering Di Kabupaten Merauke. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123.
Subarnas, Agus. 1997. Inventariasasi Endapan Gambut Daerah Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. - . –
Subiksa. - . Prospek Pengembangan Rice Estate Di Kabupaten Merauke : Tinjauan Dari Aspek Pengelolaan Tanah dan Air (Prospect of Rice Estate Development in Merauke Regency: A View from Soil and Water Management Aspects). Balai Penelitian Tanah, Jl. Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123.
Yuniarti. 2007.  Pengelolaan Wilayah Pesisir Di Indonesia (Studi Kasus : Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat Di Kepulauan Riau). Makalah Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Jatinangor Tahun 2007.
http://wahyuancol.wordpress.com/2008/06/03/mitigasi-bahaya-geologi-wilayah-pesisir/ diunduh pada tanggal 24 November 2010 pukul 19.30


==============================
TUGAS MATA KULIAH GEOGRAFI PESISIR
 
RESUME JURNAL
ORANG RANTAI, ORANG LOBANG DAN ORANG TAMBANG: Studi Tentang Eksploitasi Buruh Tambang Ombilin Sawahlunto Sumatera Barat 1891-1927
 
 
 
 
 
Dosen:
Taqyuddin, SSi, M.Hum
 
Mahasiswa:
Ahmad Munir, 0706265150
 
 
 
DEPARTEMEN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
 
TAHUN 2010

1.      RESUME JURNAL : “ORANG RANTAI, ORANG LOBANG DAN ORANG TAMBANG: Studi Tentang Eksploitasi Buruh Tambang Ombilin Sawahlunto Sumatera Barat 1891-1927”.
Ada daerah dimana posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher (Twene)
Latar Belakang Masalah      
            Penemuan Sumber daya alam baru, terutama bahan tambang, menarik minat khusus bagi penjajah (Baca: Investor Zaman Sekarang). Keberadaan tambang membawa keuntungan bagi masyarakat pemodal, sementara bagi masyarakat lokal pada masa penjajahan justru membawa kesengsaraan. Fenomena terbukanya lapangan usaha baru sekaligus membawa pengaruh pada corak kehidupan baru bagi kehidupan buruh tambang.
            Dalam jurnal yang diresume, penulis jurnal menggunakan skala temporal yang digunakan untuk mengkaji kehidupan buruh tambang di Ombilin, lebih didasarkan pada peta konflik yang muncul. Kajian dimulai dengan memperhatikan data pertama kali tambang batu bara ombiling sawahlunto dibuka, yaitu pada tahun 1891. Sedangkan batas ahir kajian didasarkan pada terjadinya pemberontakan yang melibatkan buruh tambang tahun 1927. Dengan demikian, tulisan tersebut berusaha menggambarkan kondisi buruh tambang di Ombiling Sawahlunto secara periodik.
 
Kerangka Pemikiran
            Pada masa awal kemunculan gerakan pemuda, kemunculan konflik yang terjadi di kalangan Buruh Tambang Ombilin menjurus pada konflik dengan Pihak Perusahaan. Tahap awalnya adalah protes, kemudian berkembang menjadi konflik dengan menggunakan kekerasan dalam berbagai bentuk, seperti: kerusuhan dan pemberontakan
            Konflik berjalan sesuai dengan tahapan-tahapanya, pada tahap turmoil, di Sawahlunto terjadi tindakan kekerasan terhadap kelompok buruh oleh pihak perusahaan, yang buruh di kelompokkan menjadi buruh paksa, buruh kontrak dan buruh bebas. Dalam hal perlakukan, ketiga kelompok buruh ini diperlakukan secara berbeda, penuh diskriminasi dan tekanan. Selanjutnya terjadi kedua, yaitu proses conspiration antar buruh, di mana para buruh merasakan kesengsaraan bersama, dan menghimpun dengan kekuatan, serta melakukan konspirasi terhadap kelompok dan organisasi yang lebih terdidik. Dan pada tahap terahir terjadi internal war yang mana kesadaran masyarakat muncul, dan secara terorganisir berusaha melakukan protes, perlawanan, hingga pemberontakan, yang dipicu oleh semangat yang sama.
 
Eksploitas Buruh dan Skala Perlawanan
            Buruh paksa, buruh kontrak dan buruh bebas adalah kelompok buruh yang tiap hari mengalami masalah dengan pihak perusahaan. Berbagai masalah menghasilkan penindasan dan kekerasan yang terus dialami oleh buruh dan karyawan tambang. Bahkan hingga pemberontakan, sebagai ahir dari konflik tersebut berlangsung, tetap melibatkan ketiga kelompok kelas buruh tersebut.
            Masalah utama yang dihadapi buruh adalah masalah upah, jaminan sosial, hak asasi manusia dan masalah kesehatan. Perbedaan gaji buruh paksa, buruh kontrak dan buruh bebas terlihat sangat jelas. Latar belakang para buruh memang berbeda, buruk paksa sebagian besar datang dari kelompok masyarakat bekas pembunuh, pemberontak, dan perampok. Sehingga mereka diawasi secara ketat oleh Polisi Tambang yang bersenjata. Namun demikian, tetap terjadi insiden melarikan diri, hal ini karena rendahnya gaji para pegawai paksa, yang sangat tidak layak sehingga terjadi insiden melarikan diri dan memberontak. Latar belakang ini menyebabkan pihak perusahaan tidak memperhatikan sisi kemanusiaanya.
            Besar upah yang diterima para buruh relative tetap, besar upah buruh bebas dua kali lipat dari buruh kontrak, dan upah buruh kontrak dua kali lipat dari upah buruh paksa. Dan hampir tidak ada peningkatan upah, bahkan terjadi pasang surut upah karena upah buruh menyesuaikan dengan harga batu bara di takaran internasional.
            Pihak perusahaan mengalami masalah pada pengerahan buruh, sehingga tindakan yang diambil adalah mengikat buruh. Di samping itu, pihak perusahaan juga membuat hiburan pada masa gajian, sehingga hampir semua pekerja menghabiskan upahnya untuk berjudi dan menikmati hiburan. Sehingga yang muncul, para pekerja menjadi semakin terikat dengan perusahaan, karena kemudian meminjam uang dan melakukan kontrak kerja kembali. Hal ini semakin menjerat buruh pada kemiskinan.
Buruh paksa lebih banyak mengalami siksaan pada waktu bekerja dalam lubang penggalian, namun demikian mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali perintah pimpinan tambang.
 
Organisasi Buruh Tambang
            Terbentuknya organisasi buruh sejalan dengan perkembangan ideologi komunis, maka kaum buruh juga membangun organisasi buruh. Persatoean Kaoem Beroeh Tambang (PKBT) merupakan nama yang dibentuk untuk mengorganisir kaum buruh tambang dengan tujuan meningkatkan penghidupan dan derajat kaum buruh tambang. Organisasi ini mendapat simpatik kaum buruh hingga keanggotaanya mencapai tiga ribu orang.
            Sebagai bahan propaganda, pihak komunis mendramatisir kesengsaraan-kesengsaraan kaum buruh akibat tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan. Pekerjaan ini dilakukan oleh tokoh-tokoh PKBT dengan berusaha menarik orang-orang berpengaruh di kalangan buruh untuk menjadi propaganda paham komunis di kalangan buruh dan rekan-rekan sesamanya.
            Untuk menahan gerakan buruh, pihak perusahaan memasang perangkap dengan membuat tuduhan bersalah, tuduhan komunis dan lain-lain. Buruh yang terkena hukuman cambuk mencapi ribuan orang. Antara tahun 1925 – 1927 suhu politik buruh memanas, umumnya karena keterlibatan buruh tambang ombilin melakukan pemberontakan.
            Kekerasan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap buruh mendapat sorotan tajam dari PKBT. Kondisi seperti ini dijadikan tema dasar oleh pengurus PKBT untuk melakukan propaganda. Pesona ini menarik kuat minat buruh tambang untuk masuk dalam organisasi ini.
 
Pemberontakan Buruh Tambang Ombilin
            Puncak dari konflik kalangan buruh tambang dan rakyat di Sawahlunto dan Silungkang. Pemberontakan dilakukan terlalu dini dan tanpa perencanaan yang matang, sehingga mengalami kegagalan. Keterlibatan buruh tambang merupakan bagian dari keseluruhan pemberontakan terhadap kekuasaan belanda di Minangkabau. Rencana pemberontakan itu, telah dirancang dalam berbagai pertemuan antara tokoh partai politik Sarikat Rakjat, PKI dan Tokoh Buruh. Sasaran utama dalam penyerangan ini adalah menyerang Belanda pada Kota Besar seperti: Padang, Bukittinggi, Batu Sangkar dan Sawahlunto.
            Dampak lain, tekanan terhadap buruh menumbuhkan sikap anti Belanda semakin tajam. Dan tokoh buruh mengecam keras pihak perusahaan melalui media propaganda yang mereka buat. Sehingga dapat menarik simpati kelompok buruh dalam jumlah yang besar.
            Target pemberontak adalah penguasaan kota Sawahlunto sebagai kota kedua setelah kota Padang. Pemberontakan dipimpin oleh sersan Mayor Pontoh dan Sersan Ramuat. Rencana pertempuran dilakukan pada pukul 12 malam.
            Pemberontakan membunuh banyak buruh sebagian lainya tertangkap. Walaupun pemberontakan berahir pada kekalahan namun berdampak pada kehidupan buruh selanjutnya, secara umum terlihat kesadaran baru dari para buruh tambang. Kesadaran akan senasib bersatu melawan belanda seperti yang terjadi pada malam tahun baru di Sawahlunto.
 
Epilog
            Sitem ekonomi yang diterapkan Belanda adalah sistem ekonomi dualistik. Tercermin dalam penerapan sistem upah, yang mana terjadi kesenjangan yang sangat mencolok antara upah golongan atas (Belanda) yang jauh lebih besar di banding upah golongan bawah (Pribumi). Sistem inilah yang menghantarkan kesadaran masyarakat Sawahlunto untuk bergerak lebih maju, melalui kesamaan nasib golongan etnis dan disatukan oleh tokoh komunis sebagai simbol perjuangan. Sebagai puncaknya, muncul pemberontakan buruh tambang sawahlunto pada tahun 1927. Walau tanpa perencanaan yang matang.
 
2.      ANALISIS DAN PEMBAHASAN
            Kesamaan dalam konteks ini dapat memicu kelompok buruh, pada suatu waktu akan membangun konflik dan jika konflik terencana semakin matang, maka dapat memicu kelompok pekerja, melakukan mogok kerja di perusahaan-perusahaan milik kelompok pemodal, yang juga menerapkan sistem dan kebijakan yang sama dengan sistem colonial, yakni sistem ekonomi dualistik. Kesenjangan yang muncul adalah pemodal dapat mengeruk kekayaan berlimpah, sementara buruh semakin ditekan dengan berbagai kebijakan buruh, seperti: pemberlakukan tenaga kerja outsourching, kebijakan pengurangan subsidi bagi pekerja dsb.
 

Wilayah Pribumi

 
           

 

 
 
 
 
 
 

 
 
Model Penguasaan Sumber Daya Alam
 
            Kelompok pribumi yang memiliki teritori ternyata tidak berkewenangan mengelola sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Kepemilikan justru dikuasi oleh pihak pemodal (Kolonial) secara penuh, dengan kontrol senjata sebagai kewenanganya. Keterlibatan kelompok pribumi dalam kegiatan eksploitasi tambang, lebih pada area dibawah kontrol colonial, sehingga bangsa pribumi benar-benar tidak berkewenangan mengaskses sumber daya alam tersebut. Pada tahap penguasaan ada toleransi yang tinggi dari kelompok buruh pribumi, jika tidak ditambah dengan tekanan tekanan lain terhadap kaum buruh, yang sifatnya merendahkan kelompok buruh.
            Pada kasus buruh tambang di Sawahlunto, tidak terjadi keseimbangan yang demikian. Eksploitasi sumber daya sekaligus eksploitasi tenaga kerja, menyebabkan kelompok buruh sadar, di samping juga didukung oleh aliran dan pandangan baru, yang ditekankan oleh tokoh-tokoh komunis. Kondisi ini memicu situasi untuk membebaskan diri dan melakukan perlawan yang puncaknya adalah pemberontakan.
Tahapan Perlawan
 
 
 
 
 
 
 
 
 

            Dilihat dari kerangka dan tahapan perlawanan yang terjadi, merupakan upaya sistematis tersebut merupakan bentuk kesadaran masyarakat pribumi dalam kepemilikan sumber daya alam, sekaligus peningkatan derajat dan taraf kehidupan masyarakat.
            Dalam konteks ancaman konflik di Wilayah Pesisir saat ini, terdapat beberapa kesamaan gejala. Wilayah pesisir di Indonesia yang sebagian besar dihuni nelayan, merupakan kelompok masyarakat pribumi yang kurang mendapat sentuhan modal oleh para pemodal, baik oleh pemerintah maupun swasta. Kelompok pemodal menggunakan kekuasaan untuk mengeksploitasi secara besar-besaran terhadap kawasan pesisir.
            Kondisi saat ini juga berlangsung kejadian yang sama, di mana kekayaan sumber daya pesisir mulai ditemukan dengan serrangkaian penelitian yang sedang berlangsung. Misal ekspedisi laut jawa dan palung samudera hindia, menemukan adanya kandungan gas metana yang merupakan cadangan sumber daya energi masa depan. Penemuan sejenis ini, pada waktunya akan menimbulkan konflik antara penguasaan kekayaan pemerintah local, pemerintah pusat dan investor asing. Dalam hal ini, masyarakat setempat umumnya tidak mendapatkan keterlibatan. Sumber-sumber penemuan alam membutuhkan tenaga kerja yang diperlukan untuk mengolah dari dalamnya.
            Kondisi sosial ekonomi dan perlakukan yang diterima masyarakat lokal akan mengarahkan keberlangsungan sebuah kegiatan eksploitasi. Jika perlakukan para pemilik modal terhadap masyarakat lokal baik, umumnya konflik dapat dihindarkan. Namun jika perlakuan yang terjadi adalah sebaliknya, pemicu konflik lebih besar dan masyarakat local dalam hal ini, akan melakukan perlawanan dengan menuntut hak-haknya.
            Walaupun kota yang dikaji merupakan kota yang terletak di daerah dataran tinggi dan pegunungan, namun fenomena yang ditunjukkan oleh pemberontak melalui strategi penguasaan kota besar, mengingat kota besar memiliki kedudukan yang dapat yang strategis dalam mengatur perekonomian, termasuk pengangkutan batu bara.
           
3.      PENUTUP
            Konsep eksploitasi tanaga kerja pada dasarnya masih terus berlangsung hingga sekarang. Kelompok pekerja akan terus menggunakan kewenanganya untuk menekan kelompok buruh dengan berbagai cara demi mendapatkan keuntungan yang melimpah.
            Sistem ekonomi dualistik yang diterapkan pada konsep penjajah, sama halnya dengan sistem ekonomi yang dibangun oleh banyak para pemilik modal di berbagai wilayah pesisir di Indonesia. Kesenjangan antara kekayaan pemilik modal dengan kelompok buruh, jelas terlihat dari adanya kelompok kaya dan miskin di perkotaan, khusunya di wilayah pesisir. Hal ini perlu diwaspai sebagai ancaman dan bahaya yang tidak terungkap.
           
4.      DAFTAR PUSTAKA
Zubir, Zaiyardam. _____ .Orang Rantai, Orang Lobang Dan Orang Tambang: Studi Tentang Eksploitasi Buruh Tambang Ombilin Sawahlunto Sumatera Barat 1891-1927.
Zubir, Zaiyardam._____ . NASIONALISASI ATAU BUKAN, APA BEDANYA ? : Studi tentang Buruh Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto Sumatera Barat Pasca-Kolonialisasi. 13 Desember 2010 pukul 15.09 WIB. http://www.indie-indonesie.nl/content/documents/papers-economic%20side/Makalah%209-Zaiyardam.pdf
 
 
 

This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free