Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air kehidupan akan menjadi gersang.
Geographer - Free Researcher - Geography Teacher - Hydrology Interest - Aktivis

Opini

 MENGGAGAS IPNU SEBAGAI “SISTEM” MUTU

Oleh: Ahmad Munir Chobirun

Sekretaris Jaringan Sekolah – Pimpinan Pusat IPNU

 

A.    Pendahuluan

Dalam 1-2 dekade ke depan, Indonesia diprediksi maju pesat dalam arus permodalan terutama bidang industri, jasa dan perdagangan. Arus modal negara maju mulai bergerak ke wilayah-wilayah negara berkembang. Arus modal yang besar ini menuntut kesiapan generasi muda yang matang dan cerdas, agar dapat bersaing secara kompetitif, menggarap arus permodalan tanpa menghilangkan jati diri serta kemandirian sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

30 – 40 juta warga negara yang menyandang identitas Nahdiyyin ini bukan garapan kecil. Ini merupakan warga mayoritas dengan taraf kehidupan menengah ke bawah. Garis taraf mesti dilentingkan, juga kita lenturkan agar dapat bergerak leluasa menuju kemandirian jamiyyah dan kemakmuran jamaah. Prasyarat menuju kemakmuran dan kemandirian yang kuat itu, terletak pada kekuatan sumber daya manusia dalam mengelola jamiyyah.

Harapan menjadikan IPNU sebagai sistem kaderisasi matang guna menyiapkan Indonesia mendatang merupakan peran kita semua. Pada saat yang sama, IPNU perlu bekerja keras membangun kadernya. Guna menghadapi persoalan kemandirian di tubuh NU. Warga NU, umumnya petani kadang tidak berdaya di banyak sektor, sehingga kurang mampu menompang kemandirian jamaah. Disisi ini, NU jelas dihadapkan pada pilihan-pilihan pragmatis untuk bertahan pada kemandirian yang substansial.

Bertahan dan mengandalkan institusi formal dalam membangun dunia pendidikan kita, sama dengan berpangku tangan mengharap kesejahteraan dan kemakmuran. Tidak ada analogi lagi untuk menggambarkan betapa sistem yang dibangun tidak dapat diandalkan sama sekali untuk membangun kemandirian dunia pendidikan kita. Maka IPNU masih menjadi alternatif dan jembatan pembangunan yang paling penting bagi pelajar NU. IPNU tidak berpotensi mengambil bagian dalam kebijakan pendanaan anggaran pendidikan, tapi IPNU harus memastikan bahwa anggaran pendidikan sampai ke tangan yang berhak, agar jaminan mutu pendidikan di Indonesia dapat berlangsung tanpa ketimpangan yang berarti.

Oleh karena itu, satu hal terpenting untuk dijadikan pegangan dalam pengelolaan organisasi di setiap tingkatan adalah kemapanan “sistem”. Salah satunya sistem di IPNU sebagai organisasi kader. IPNU bukan tanpa peran dalam kontek kemajuan ke depan. IPNU bisa menjadi pilar yang menjadi jembatan penting bagi kemajuan dan pembangunan.

 

B.    Pembahasan

Tidak sedikit dari pengurus maupun anggota organisasi kita yang terjebak pada paradigma sempit bahwa organisasi ini tercipta untuk melahirkan tokoh atau semacam pejabat politik. Seolah proses ini menjadi puncak keberhasilan dari proses kaderisasi yang mereka jalani. Pandangan sempit ini hendaknya mendapat kritik keras, mengingat konteks yang substansial tidak menghendaki IPNU menjadi organisasi yang demikian. Jika paradigma ini terus berkembang ke arah demikian, organisasi benar-benar tumpul dan tidak akan mempu memberikan sumbangan brilian bagi kemajuan bangsa.

Sebelum berihtiar memperbaiki dan mencintai organisasi dalam wujud supporting system kepengurusan atau pelaksana program. Hendaknya perlu ditilik sejauh mana peran evaluator dalam memandang IPNU sebagai organisasi. Sudahkah evaluator memerankan peran sebagai pengkritik agar organisasi tidak terjebak dalam sistem lama di atas, atau bahkan memandang organisasi dari kacamata kuda yang sempit, linier dan parsial.

Hasilnya IPNU akan bergerak bagai kuda, yang tergantung nahkodanya. Apakah IPNU tetap dalam rel kaderisasi atau berkembang menjadi organisasi perahan yang tidak mampu menelorkan ide dan gagasan brilian untuk membangun wadah yang kuat bagi jamiyyah dan jamaah. Jawabannya tergantung kader dan anggota, ke mana IPNU harus bergerak?

 

1.  Mengevaluasi Input

Sejauh ini, harapan dan capaian yang kita inginkan cukup besar, dalam berbagai ranah/bidang garapan. Tidak sedikit energi IPNU tersebar dalam berbagai ide kreatif, yang tidak membentuk satu sistem yang mapan. Pada proses input ini, IPNU tidak lagi relevan menjadi organisasi yang tidak open mind terhadap perkembangan di luar.

Jika ditilik faktanya saat ini, basis kemandirian IPNU di level ranting, anak cabang dan cabang hampir dipastikan tidak ada yang bergerak dengan arus modal. Semua instrument dikembangkan dengan ketulusan dan keihlasan. Tidak berwujud dalam sebuah sistem yang mapan. Memang instrument mapan itu tidak perlu dikembangkan pada level ranting, cukup pada level cabang. Akan tetapi, kemandirian itu mutlak diperlukan, guna menjamin IPNU memiliki kader dengan kualitas mental dan kemandirian yang tinggi.

Warga nahdiyyin jelas akan mendukung setiap sistem yang dikembangkan. Dengan syarat, IPNU perlu inovatif mengumpulkan donasi untuk kepentingan kaderisasi dan pengembangan bakat siswa yang kurang berada. IPNU akan dilirik jika mampu memberikan beasiswa PANTAS pada setiap jenjang pendidikan. IPNU wajib memberikan dorongan pada siswa berprestasi dari sekolah ma’arif untuk melanjutkan studi.

 

2.  Mengevaluasi Proses

Beberapa proses yang dijalani IPNU sebagai organisasi kolektif, ternyata melahirkan tokoh yang tidak kolektif. Pada proses zigoting leadership, kepemimpinan lebih lahir dari proses garis keturunan kyai dan keluarga pesantren yang lain. Padahal kepemimpinan kolektif hendaknya melahirkan kepemimpinan dari sebuah sistem, yang dibangun atas dasar kesepahaman dan kesepakatan kuat antar anggota.

Situasi semacam ini menunjukkan bahwa proses kaderisasi untuk melahirkan kepemimpinan didominasi oleh wacana dan gagasan lama. Maka karakter yang lebmah justru terletak pada kemampuan organisasi sendiri melahirkan kepemimpinan kolektif, yang lahir dari sistem kaderisasi, agar kepemimpinan di level IPNU teruji untuk mengisi pos-pos strategis NU dan banom lainnya.

 

3.  Mengevaluasi Output

Ukuran terahir dari input  dan proses adalah output. Ini merupakan ukuran yang terlihat. Dengan kuantitas jamaah terbesar di Indonesia, maka NU membutuhkan jumlah doktor yang setara untuk memastikan SDM yang berkualitas tersedia, sebagai ukuran riil tentang kualitas SDM.

IPNU dalam konteks ini tidak bisa lepas, selain menyiapkan kadernya menuju pada jenjang pendidikan-pendidikan yang lebih tinggi. Baik formal maupun non-formal. Semuanya perlu dipersiapkan dengan instrument yang baik. Jika diperlukan IPNU mempersiapkan sistem sendiri dengan kemandirian total, agar gagasan dan ide-ide brilian dapat dikembangkan tanpa menunggu sentuhan dari pemerintah.

 

4.  IPNU sebagai system

Sebagai sebuah sistem, IPNU perlu membuat standar mutu kaderisasi. Standar mutu yang paling baik dapat terukur dan teridentifikasi keberhasilannya, serta mudah dievaluasi.

Masa Kesetiaan Anggota (MAKESTA) pada jenjang kaderisasi formal, selain nilai-nilai universal yang sudah diterjemahkan dalam AD/ART, keberhasilan MAPABA juga diukur dari instrument keberhasilan di sekolah seperti: Prestasi mampu menjadi ketua OSIS, ketua Kerohanian sekolah, Pengurus Masjid Sekolah/Kampus, Peserta Lomba/Tingkat Kabupaten.

Demikian juga, output dari peserta latihan kader muda (LAKMUD), kader lakmud sudah mampu menjadi pembicara seminar tingkat kabupaten, pemimpin aksi pelajar sadar membaca, ketua dewan ambalan dan segudang peran lainnya.

Demikian juga kader lakut, harus sudah menyiapkan diri memilih Universitas Unggulan pilihannya, juga sudah matang membina network dan jaringan untuk persiapan menuju dunia perguruan tinggi. Mampu mengorganisir dan membina jaringan kyai dan pesantren di tingkat lokal dan juga nasional. Puncaknya harus mempersiapkan diri menuju Universitas dan menjadi bagian dari pergerakan mahasiswa di Universitas.

Jika ketiga sistem di atas berhasil dikembangkan, tidak mustahil IPNU akan membawa perubahan besar bagi NU dan Indonesia. IPNU menjadi generasi paling depan, yang siap menyamput arus modal, dan juga industrialisasi di Indonesia 2030 mendatang. IPNU akan menjadi pemain di segala lini,tanpa gagap dan selalu memutuskan yang terbaik untuk jamiyyah dan warga NU sebagai landasan perjuangannya. IPNU akan menjadi sentrum kemajuan dan instrument pembangunan bangsa yang tangguh, yang mandiri dan bersikap moderat, yang keberadaannya benar-benar menjadi rahmat bagi alam semesta. Memastikan sistem input yang demikian adalah tanggungjawab IPNU.

 

C.    Penutup

Sebagai sebuah sistem IPNU harus bekerja “base on system” bukan skill individu, bukan pula truh garis keturunan. IPNU harus menjadi lahan garapan yang subur bagi tumbuh kembangnya kader, bukan justru menjadi penghambat kader dalam penggalian potensi. Hal ini bisa dimulai jika IPNU mampu mengidentifikasi kerusakan sistem yang bekerja pada dirinya saat ini. Selanjutnya menyusu instrument organisasi yang kuat agar menjadi sistem yang mempu menghasilkan kader yang berkualitas. Selamat berjuang mengggarap kader menuju kemandirian.

 

 
NEGARA GAGAL, NEGARA YANG DIBANGUN DENGAN “CITRA DAN KEBOHONGAN”
Suatu kali, aku mengejar sedikit mimpi. Dalam bayang dan ruang republik yang semakin sesak. Sesak terutama dihuni banyak koruptor, maling, dan komunitas malas. Kebangsatan pikirku yang sempat menggila, bahwa mustahil negeri ini baik, tanpa keterlibatan kita. Pencarian pun di mulai.
Pengejaranku bergema, aku mengikuti gaung hatiku, melanglang buana, menemukan titik temu, untuk menjawab titik yang menyebabkan Negara ini gagal?  Gemaku beralun dan bergerak dengan sangat lantang, aku mengejar ke sebuah kota yang orang sebut kota pendidikan. Kota itu multi talent dan banyak orang mencari inspirasi tentang kebangkrutan.
Saat hampir optimis bahwa insan akademisi (mahasiswa, guru besar, dosen dll) sekaligus kalangan terdidik lain dapat menyelesaikan masalah, ternyata tidak juga. Kalangan akademisi juga banyak terjebak pada “citra”, bukan “karya nyata”. Betapa kalangan akademisi kita, miskin dalam karya dan pembangunan yang dapat mensejahterakan rakyat di negerinya. Banyak symbol yang dijadikan mercusuar, sementara bangunan sesungguhnya tidak pernah diperhatikan. Penulis ingin berbagi pendapat, dalam kasus ini solusinya adalah mahasiswa dan insan akademisi harus diukur dan dinilai dari perannya mereka di lingkungan masyarakat.  
Setelah gemaku bertemu tebing yang sangat keras dan kuat, ahirnya gemaku terpanstul kembali. Ahirnya ia tergerak untuk merfleksikan kembali seluruh gelombang. Refleksipun dimulai.
Pantulan pertama, bertumpu pada pertanyaan, siapa yang bertanggungjawab memperbaiki? Saya tidak dapat menjawab selain melimpahkan masalahku pada yang lain. Dan saya temukan jawabannya, adalah pada kemandirian masyarakat madani. Kemandirian itu, tidak akan melahirkan pembangunan dengan cepat, akan tetapi kondisi ini berbanding terbalik dengan kegagalan. Semakin mandiri bangsa ini, maka akan semakin bertahan bangsa ini dari berbagai jeratan dan deraan utang. Dan ini yang dalam pengamatan penulis sudah terjadi sejak pertama Indonesia merdeka. Orang tua penulis missal, tidak pernah ada ruang pembangunan yang dirasakan bapak penulis, kecuali hanya sentuhan ayah penulis pada Negara ketika; membayar pajak, menerima perbaikan jalan dll.
Pantulan kedua, kenapa gagal? Gagal karena rendah produktivitas. Tolak ukur produktivitas bangsa ini banyak saya jumpai dalam ruang-ruang sederhana. Sumber daya manusia yang tidak terberdayakan sangat banyak, banyak elit yang tidak berani mengambil resiko untuk mau sedikit bekerja keras.
Konsekuensi dari kerja citra adalah melahirkan pembangunan Negara berbasis citra diri dalam aspek apapun. Bangsa ini menjadi ikut tergoda untuk ikut larut dalam berbagai prosesi citra yang menghabiskan banyak anggaran. Dengan kesibukan membangun citra, elit negeri ini ikut menjebak generasi muda untuk berfikir rasional, karena citra adalah pembangunan berbasis emosional. Tapi memang bangsa ini masih sangat emosional dan memalingkan aspek rasional sebagai basis pembangunan. Oleh karena itu, untuk masalah ini penulis memberikan saran agar ruang kegagalan Negara harus ditutup dengan ruang rasional dalam menakan keberhasilan pambangunan.
Ahirnya penulis dengan sangat ragu ikut mengatakan bahwa dirinya ikut gagal karena termakan sistem dalam ruang kontestasi negeri gagal. Dan penulis berkesimpulan, gagalnya negeri ini membangun “kecerdasan dan kesejahteraan” bangsanya. Oleh karena itu, penulis menyarankana agar kegagalan bangsa ini dapat diselesaikan dengan memberikan dan menata diri pada kontribusi dan produktivitas yang paling optimal. Entah dalam wujud “karya pikir” maupun “karya ukir”. Setidaknya kita harus menyibukkan diri untuk tidak membebani otak dengan kemalasan. Dan bangunkan orang lain dari kemalasan.
(Kumpulan Tulisan Lepas Munir, 2011)
 
 
 
 
 
 
 
KONTROVERSI KEBUTUHAN INDIVIDU DAN KEBUTUHAN PUBLIK DI INDONESIA: STUDI KASUS TINDAKAN PORNOGRAFI PADA OKNUM LEMBAGA RESMI NEGARA DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
 
 
 
 
Oleh: Rani Praditia, 0806395251(Iseng-iseng Munir)
 
 
 
 
Program Studi Sastra Jerman, FIB UI
 
 
 
 
 
 
a.      Pendahuluan
 
Anggota dewan sebagai entitas terhormat pada kontestasi individu di kancah publik jelas merupakan bagian yang tidak dapat lepas dari jeratan perilaku asusial dan amoral, karena perilaku asusila dan amoral sangat bergantung pada penilaian anggotanya. Namun sebagai individu yang melekat dengan lembaga resmi, sudah seharusnya dalam memutuskan tindakan, terutama dalam memenuhi kebutuhan, mempertimbangkan aspek susila dan moral sebagai referensi tindakan. Tentu moralitas yang didasarkan pada kebudayaan setempat, yang dijunjung tinggi oleh anggota kelompoknya (bangsa Indonesia) sebagai pengamat sesungguhnya.
 
Kasus arfinto, sebagai anggota dewan yang menonoton video/gambar porno dalam ruang sidang jelas merupakan objek kontrofersial, terutama dari perspektif arifinto sebagai individu, dan arifinto sebagai anggota dewan (lembaga negara) yang menjadi cerminan bangsa Indonesia - yang mempercayainya/memilihnya. Ini jelas merupakan objek kontrofersial yang dapat didiskusikan sebagai bahan perenungan, terutama untuk mengkaji lebih jauh, kepiawaian bangsa Indonesia dalam menjalankan proses demokratisasi, yang salah satu subtansinya adalah cerdas membedakan kebutuhan privat dan kebutuhan publik. Sehingga pada ahirnya, kematangan proses demokratisasi dapat menghantarkan bangsa Indonesia dalam menjalankan proses kenegaraan untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia yang sesungguhnya.
 
Namun kasus asusila yang muncul dalam ruang publik, bahkan ruang terhormat merupakan tindakan kontroversi yang memang tidak dapat dibenarkan. Tidak ada alasan untuk membenarkan perilaku ini dari berbagai perspektif, kecuali satu yaitu aspek psikologis dan pemenuhan kebutuhan. Oleh karena itu, perlu dipahami bagaimana mengelola potensi demoralisasi di negeri ini dengan menjaga entitas “terhormat” seperti anggota dewan agar tetap seimbang dengan kebutuhan lainya.
 
Tulisan ini berusaha menganalisis tindakan pornografi (menonton video/gambar porno) di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan bagaimana mengeliminir dampak kasus tersebut agar dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi pemenuhan kebutuhan individu dan kebutuhan publik di negeri ini? Tulisan ini lebih berupaya melihat kasus tersebut dalam perspektif sastra, baik sastra sebagai kritik sosial maupun sastra sebagai identitas ilmu pengetahuan, yang harus mampu menjawab problematika dalam kehidupan bermasyarakat.
 
 
 
 
b.      Pembahasan
 
Membedakan kebutuhan privat dan kebutuhan publik jelas membutuhkan tempat yang sesuai. Anggota dewan sebagai individu berhak memenuhi kebutuhan pribadinya, pada batasan kebutuhan dirinya tidak mengganggu kebutuhan publik.
 
Identitas anggota dewan seperti Arifinto, jika dipahami dari sisi humanisnya jelas merupakan hal wajar. Wajar dalam batasan upaya memenuhi kebutuhan sebagai individu, namun menjadi tidak wajar ketika kebutuhan individu tidak ditempatkan pada ranah individu, tetapi ditempatkan pada ranah publik. Terlepas dari keputusan Arinfinto dalam memberanikan diri menilai tontonan tersebut.
 
 
 
 
§ Analisis Hirarki Kebutuhan (maslow)
 
Maslow menyebutkan bahwa manusia cenderung akan memenuhi kebutuhan pada tingkatan dibawahnya sebelum berusaha memenuhi kebutuhan pada hirarki diatasnya. Kebutuhan maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya.
 
Maslow menyebutkan hirarki kebutuhan manusia dalam lima tahapan sebagai berikut: (1) Kebutuhan Fisiologis (2) Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan (3) Kebutuhan Sosial (4) Kebutuhan Penghargaan (5) Kebutuhan Aktualisasi Diri. Aktivitas menjadi anggota dewan dapat dinilai sebagai aktivitas mengaktualialiasikan diri untuk kepentingan orang lain. Kebutuhan ini menempati hirarki tertinggi, yang berarti bahwa menjadi anggota dewan, berarti menjadi individu yang telah mampu melewati hirarki kebutuhan dibawahnya seperti: kebutuhan fisiologi, keamanan, sosial, dan penghargaan. Pada tingkatan ini, cerminan individu yang ada seharusnya sudah sangat matang dan mustahil kembali pada pemenuhan kebutuhan dibawahnya.
 
Jika analisis hirarki kebutuhan maslow diterapkan dalam kasus Arifinto, maka terdapat gejala unik pada individu anggota dewan, yang dapat melewati tahapan hirarki dengan cepat dan kadangkala menurun, sehingga membentuk pola pemenuhan kebutuhan yang tidak menentu. Lompatan pemenuhan kebutuhan yang tidak menentu ini, jelas menunjukkan ada proses yang salah dari sistem demokrasi pada aspek individu di negeri ini, terutama dalam memberikan hak politik maupun hak sosialnya kepada individu.
 
 
 
 
§ Analisis Proses Demoralisasi
 
Proses demoralisasi pada anggota dewan, memang terjadi dari proses yang salah. Anggota dewan sebagai individu, lebih melihat lembaga dewan perwakilan rakyat sebagai institusi individu.
 
Pandangan ini tercermin dari banyaknya anggota dewan yang termotivasi untuk menjadi anggota atas dasar pemenuhan kebutuhan individu. Sehingga motivasi ideal berupa gagasan yang muncul pada saat kampanye, mengerucut pada satu motivasi yang dominan yang melekat pada semua anggota dewan, yakni menginvestasikan kekayaan.
 
Proses yang salah juga muncul pada aspek pemilihan calon. Banyak anggota dewan yang muncul tiba-tiba dan lahir dari entitas individu yang hanya mengandalkan popularitas. Padahal batasan popularitas, jelas tidak dapat menjamin seorang individu yang menjadi cerminan entitas lembaga terjamin moralitasnya untuk menjaga institusi. Sehingga, institusi yang mentolelir pada tahapan proses jelas akan menanggung konsekunsi yang dilahirkan dari proses tersebut.
 
Kasus arfinto, jika saja terjadi pada anggota dewan, dari partai yang tidak mendengungkan moralitas, barangkali tidak seheboh sekarang. Arifinto sebagai individu yang menjadi cerminan partai dalam tanda kutip “bermoral” pada kenyataannya tidak melembaga dalam institusi yang bermoral. Oleh karena itu, ada konfrontasi pada intitusi publik yang serba bebas bicara pada era keterbukaan.
 
Proses demoralisasi selanjutnya terlihat dari berbagai proses persidangan dalam ruang sidang, yang kadang menempatkan moral dan etika bersidang sebagai landasan terahir dalam menjalankan proses persidangan. Individu dalam DPR lebih mengedepankan kepentingan sebagai dasar dalam menjalankan proses persidangan. Sehingga, demoralisasi juga terjadi pada proses kerja harian para anggota dewan.
 
Demoralisasi dari berbagai aspek jelas menurunkan kredibilitas individu dengan nilai-nilai yang dianutnya. Seorang agamawan dapat berubah menjadi kurang bermoral, seorang cerdik cendekia bisa menggunakan akalnya untuk memenangkan kepentingan, dan seorang yang sangat dipercaya bisa saja berubah haluan menjadi berhianat.
 
 
 
 
 
 
§ Analisis Objektifitas Penilaian Publik
 
Kebutuhan publik memberikan penilaian terhadap kinerja anggota dewan, lebih banyak tanpa indikator yang jelas. Sementara kebutuhan anggota dewan adalah mendapatkan tempat di hati rakyat tentang pengabdian yang dilakukanya. Namun pada aspek pelaksanaan terdapat ketimpangan antara indikator publik dan indikator anggota.
 
Dalam melakukan penilaian, publik di negeri ini masih sangat sensitif. Publik di negeri ini belum terbiasa memberikan penilaian berdasarkan indikator-indikator yang absah dan terukur secara objektif. Cara menilai lebih didasarkan pada subjektifitas diri, yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai komunal, yang tingkat kebenaranya masih sangat relatif.
 
Salah satu contoh tindakan yang menunjukkan publik di negeri ini masih rendah dalam memberikan penilaian secara objektif terhadap suatu kasus adalah kemampuan membedakan hak privat dan hak publik. Di negeri ini, tidak ada batasan yang jelas tentang hak privat dan hak publik, sehingga banyak individu yang menjadi korban penilaian.
 
Jika melihat kasus dan masalahnya adalah menonton video porno, maka kasus ini hanya melingkupi individu terhadap nilai yang dianutnya. Jika nilai yang dipegang teguh adalah nilai agama, maka jelas tindakan menonton video/gambar porno adalah salah. Namun kesalahan hanya sebatas pada individu dan nilai yang dipegangnya, karena tidak ada kerugian secara langsung yang diderita oleh orang lain.
 
Mundurnya Arifinto sebagai anggota Dewan secara tiba-tiba, akibat sebuah proses demoralisasi yang terbaca publik, merupakan konsekuensi logis dari hasil sebuah prose pendewasaan yang salah. Ada batasan individu dan batasan moral yang tegas. Ada etika dan estetika dalam menjawab masalah publik
 
Masyarakat sebenarnya telah terbiasa mendengar tindakan amoral dan asusila para pejabat negara. Seperti, banyaknya pejabat negara yang terkena kasus korupsi atau banyaknya pejabat Negara yang menyalahgunakan wewenang. Namun penilaian masyaraakat menjadi berbeda dan meningkat subjektifitasnya, karena kasus asusila dilakukan oleh oknum partai bersaskan Islam misalnya. Sebuah kontradiksi besar dalam nilai dan gagasan Islam dengan perilaku amoral seperti menonton video/gambar porno.
 
 
 
 
 
 
§ Batasan Sastra menjawab Moralitas Bangsa
 
Dalam kacamata sastra, seks, porno, keindahan tubuh dan sejenisnya bisa menjadi gejala yang bernilai tinggi. Ada banyak bukti, yang ditunjukkan dalam berbagai mahakarya pujangga di berbagai belahan dunia, seperti: Tajmahal dibangun akibat kecintaan pada seorang istri, berikut bangunan bangunan lain, yang merupakan maha karya bernilai tinggi, lahir dari sebuah motivasi menjunjung seks dan keindahan perempuan dalam bangunan yang luhur. Ini merupakan bukti bahwa seks dalam kacamata sastra merupakan hal lumrah yang sangat berguna.
 
Dalam sebagian masyarakat kita, kawulo alit tidak melekat pada pejabat publik seperti anggota DPR. “Kawulo alit” dalam masyarakat jawa memiliki keluwesan untuk melakukan apapun tanpa batasan, sepanjang tidak mengganggu hak orang lain. Namun, dalam pandangan jawa kelompok “priyayi” memiliki batasan-batasan perilaku untuk menunjukkan ke-priyayian-nya. Salah satunya adalah menjaga moral dalam masyarakat umum. Yang masuk dalam kelompok ini umumnya adalah masyarakat terdidik dan pejabat negara. Dengan demikian, menjaga moral dan susila adalah keharusan bagi seorang anggota dewan, untuk menjaga eksistensi ke-priyayian-nya, terutama bagi masyakat yang tidak memiliki kultur feodal.
 
Dalam dunia sastra, kasus ini dapat dikembangkan menjadi imaginasi menarik untuk menamkan nilai-nilai penting, terutama nilai-nilai moral dan susila. Kedua nilai tersebut, dapat dilanggar dalam berbagai bentuk.
 
 
 
 
 c.      Penutup
 
Aktivitas pornografi yang dilakukan oleh anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) dalam ruang sidang jelas merupakan aktivitas yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Apalagi aktivitas tersebut terjadi pada entitas penduduk yang menghargai etika dan moralitas, maka sah jika etika dan moralitas kadang ditempatkan bangsa ini sebagai ukuran pertama sebelum menimbang dan menilai disbanding dengan indikator lain. Dengan batasan hak individu, mungkin tidakan asusila yang terjadi dalam ruang sidang dapat dibenarkan, karena tindakan amoral cenderung tidak mengganggu dan merugikan orang lain. Namun hal ini bergantung pada pandangan dan prinsip hidup seseorang, dan partai menjadi salah satu entitas yang bertanggungjawab atas melekatnya individu dalam tubuh partai tersebut.
Dengan demikian, ada proses demokratisasi yang unik di negara Indonesia yang tidak sepenuhnya berpijak pada demokratisasi normatif[1], tetapi lebih pada demokratisasi substansial
[2] yang menggunakan aspek penilaian dan indikator yang sangat beragam. Ini menjadi khasanan bagi generasi mendatang untuk mematangkan pandangan, saat menempatkan diri pada era globalisasi.
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
 
 


Demokratisasi Normatif adalah proses pendewasaan demokrasi dalam sebuah institusi yang mendasarkan pada aturan sebagai platform tidakan.
Demokratisasi Substansial adalah proses pendewasaan demokrasi dalam sebuah institusi yang mendasarkan pada subtansi (inti) dari demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
 
 
 

 
 
 
 
MOHON UNTUK DIMUAT DISURAT PEMBACA
 
 
 
 
===========================
 
 
 
 
“MENDIDIK PRODUKTIVITAS ELIT NEGERI”
 
 
 
 
Oleh: Ahmad Munir, Mahasiswa Departemen Geografi UI
 
 
 
 
Asal Wonosobo - Jawa Tengah
 
 
 
 
 
 
“Jangan kau tanyakan apa yang telah negera berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang telah kau berikan untuk negaramu”
 
 
 
Permasalahan yang muncul di negeri ini semakin kompleks. Kasus mafia pajak Gayus Tambunan menjadi kunang-kunang bagi sebagian besar penduduk di negeri ini, karena kasus ini meninggalkan jejak yang buruk bagi transparansi lembaga pemerintah. Kasus Bank Century juga tak kunjung selesai. Disusul oleh curhatan presiden RI tentang gajinya yang belum naik selama tujuh tahun. Dari hal tersebut, kiranya, kita bisa memahami kompleksitas masalah ini justri diciptakan oleh para elit di negeri ini, yang selalu menuntuk kesejahteraan dari negerinya.
 
Jika kita melihat, tokoh (elit) dari tiap angkatan, kiranya masing-masing membawa karakter yang berbeda. Angkatan kemerdekaan, begitu semangatnya mengorbankan jiwa dan raga, menghimpun semangat persatuan untuk merebut kemerdekaan. Kemudian masih dilanjutkan warisanya oleh generasi setelahnya. Namun tampaknya, babak baru abad 21 ini menyimpang jauh dari harapan para pendiri.
 
Nasional demokrat adalah salah satu cermin dari pilar rendahnya produktivitas tokoh di negeri ini. Sekaligus juga bukti rendahnya trusth antar generasi. Tokoh tua di negeri ini sibuk dengan produktivitas yang rendah. Mereka sibuk membuat lembaga baru dalam rangka meningkatkan produktivitas dan sumbangsih bagi negaranya. Namun kenyataanya justru menghamburkan energi publik dan rendah pproduktivitas.
 
Kiranya elit negeri ini telah terjebak pada penyimpangan norma yang jauh. Kecemasan dan rendahnya moralitas bangsa, barangkali yang menyebabkan elit di negeri ini semakin terpuruk. Masyarakat yang terpuruk jelas effek dari elit yang bobrok. Peran elit (tokoh) di negeri ini demikian rendah, tapi menuntut segala pelayanan yang maksimul dari negara.
 
 
 
 
Berdirinya nasional democrat di Jawa Tengah mesti dibandingkan dengan ormas lain yang telah lama berdiri. Ormas Muhammadiyah masih terbilang “mending” – lebih baik. Dalam pandangan muhammadiyah terus mengajak warganya untuk menilik kalimat KH Ahmad dahlan - “hidup-hidupilah muhammadiyah, dan jangan kau hidup dari muhammadiyah”. Kiranya perkataan ini menjadi cermin bagi produktivitas warga muhammadiyah untuk memberikan sanksi bagi elitnya, jika “nunut” hidup dari muhammadiyah. Di NU pun demikian, ORMAS ini begitu kental dengan kegiatan sosial tanpa menunggu harus mengkritis kebobrokoan publik. Kiranya dua ormas ini telah lapuk di masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Tengah.
 
Warga harus jeli melihat berdirinya NASDEM di Jawa Tengah. Publik Jawa Tengah kiranya cerdas untuk memilih produktivitas ORMAS. Jangan lenyap pada ceremonial sesaat dan menilai hal tersebut sebagai sebuah produktivitas. Lebih dari itu, NASDEM di Jawa Tengah harus benar-benar berkontribusi pada penyelesaian berbagai problem masyakat Jawa Tengah seperti; kemiskinan, kebodohan dan ketertinggal. Selamat buat nasdem yang akan berdiri di Jawa Tengah.
 
 
 
Depok, 23 Januari 2010
 
Hormat saya
 
 
 
 
(Ahmad Munir)
 
 
 
 
 Mahasiswa Geografi UI
 
 
 
 
 
 

==========================
ISLAM “RAHMAT BAGI LINGKUNGAN”

 

 

 

 
 
 
Oleh: Ahmad Munir, Mahasiswa Geografi FMIPA UI 2007

 

 

 

 
 
 
Pendahuluan

 

Ahir ini, lingkungan (environment) menjadi perhatian masyarakat dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang. Perubahan lingkungan akibat intervensi manusia yang cukup tinggi, menyebabkan adanya kerusakan yang berdampak pada berbagai sisi kehidupan manusia di muka bumi. Intervensi manusia juga menyebabkan ancaman pada rendahnya tingkat pemahaman penduduk pada lingkungan.

 

Sebagai muslim, harapan dan menggantungkan Islam sebagai spirit kehidupan adalah suatu keniscayaan. Pengamatan yang dilakukan pada kalangan muslim professional di Indonesia menunjukkan adanya trend yang mengarah pada kondisi kemiskinan.

 

Generasi muda Islam yang mendapat kesempatan melakukan pengembangan potensi diri, jumlahnya cukup kecil.

 

Gejala pengenalan institusi pada kalangan masyarakat khususnya institusi tertentu yang banyak menge

 

 

 

 
 
 
Islam

 

Tantangan besar kaum intelektual adalah menjalankan problem dan misi kebangsaan sesuai dengan anjuran dan pemahaman kompetensi publik.

 

Apakah kebudayaan makro bernama agama ini akan terus dipertahankan, sebagai doktri yang melembaga, dan menjadi pemahaman kita demikian sempit untuk memahami agama lebih sebagai dorongan untuk berinovasi, dan menciptakan peradaban baru.

 

Ada saatnya umat Islam mengukur perkembangan dan tingkat pencapaian yang telah berhasil dilakukan.

 

Demikian dengan ulama, setidaknya umat Islam perlu mempertegas konsep diri muslim yang berkualitas. Muslim yang berkualitas dengan paradigm dan pandangan hidup yang moderat, tidak bisa diterima demikian saja sebagai sesuatu yang baru hadir ditengah kebijakan publik.

 

 

 

 
 
 
Penutup

 

Islam sebagai ajaran, mengandung seperangkat nilai tentang keselamatan lingkungan. Dan sebagai pedoman hidup menuntut pengikutnya memelihara alam dan lingkungan, serta dari aspek perilaku menjadi teladan dalam melakukan pembinaan keselamatan lingkungan.

 

 

 

 
Dengan berkembangnya CSR pada perusahaan yang bergerak menuju arah penghijauan dengan seperangkat tanggung jawab yang dibebankan.

 

 


=============================
SEPUTAR NASIONALISME AWAL MASUK KAMPUS

“MAHASISWA BARU DAN MASA DEPAN INDONESIA”

 

Indonesia……………………………..

Kau layu, di tengah terjangan ombak dan kemelut masalah

Kau sunyi, bagai hutan belantara yang kejam dan saling memakan

Maka, semua tak mengagungkanmu, bahkan berusaha menghancurkanmu

dengan cara-cara halus

Kita ada untuk tetap membelamu, karena kita yakin jasa pendahulu lebih berarti bagi tebusan hutang budi kita pada negeri ini

(Agustus, 2010)

 

 

Selamat datang Mahasiswa Baru Universitas Indonesia maupun perguruan tinggi lainya di Indonesia Tahun 2010. Kami ucapkan selamat datang di "kampus rakyat". Kampus ini milik rakyat dan kita mengabdi untuk rakyat. Maka amanah rakyat adalah amanah utama yang prisip yang hendaknya kita pegang sebagai dasar kita, berkehidupan di kampus dan lingkungan akademis lainya.

Sudah selayaknya kita berkarya di bidang akademis dengan sebaik-baiknya, sebagai bukti bahwa kita yang telah diterima di Universitas Indonesia adalah insan cendekia, yang mampu berfikir jernih memahami pokok permasalahan bangsa. Sehingga hati kecil kita tergerak untuk memahami dan berusaha menyelesaikan dengan kemapuan kita. Itu kiranya layak, bagi mahasiswa baru yang masih sanggup mengidentifikasi dirinya sebagai kader pengisi pembangunan bangsa ke depan.

Adik-adik mahasiswa baru yang berbahagia, tidak lama lagi di Universitas Indonesia akan marak dan penuh kegiatan guna menyambut kalian. Mulai dari OKK, PSA FAkultas, maupun PSA Departemen, bahkan sebagian telah terlaksana. Lepas dari penilaian adik-adik terhadap kegiatan tersebut, tulisan ini berupaya memberikan pemahaman dan gambaran tentang kehidupan kampus yang sedang adik-adik jalani.

Jika kita amati, keterpurukan berbagai kebijakan di Negara ini yang sering terjadi ahir-ahir ini, nampaknya memiliki korelasi terhadap berbagai aktivitas mahasiswa. Seperti kenaikan Tarif dasar listrik dan kebijakan lain yang membebankan pundak rakyat. Ini jelas terjadi akibat, aktivitas dan gerakan mahasiswa yang makin tumpul beberapa tahun terahir. Pertanyaanya adalah ada apa dengan gerakan mahasiswa di kampus hari ini? Kenapa mahsiswa menjadi semakin tidak berdaya, terutama di kampus kita Universitas Indonesia.

Pertanyaan itu yang akan diulas dalam paparan ini, sebagai refleksi mahasiswa angkatan tua pada angkatan muda, terutama kalian yang baru memasuki Universitas. Kita sangat berharap, menjadi semakin kritis dengan kerja yang cerdas, agar upaya kita memahami masalah bangsa ini semakin tajam.

 

Kampus dan Indonesia ke Depan

Adik-adik mahasiswa baru yang berbahagia. Adik tentu menaruh harapan besar, ketika kuliah di Universitas ini. Apalagi dengan sandangan nama bangsa di pundak adik, bukan tidak musthil adik terus memimpikan diri adik menjadi pemimpin masa depan Indonesia.

Keinginan dan harapan itu, hendaknya terus dipelihara. Sebagai langkah awal yang perlu adik lakukan adalah berfikir dan bertidak secara kritis, serta jangan mudah menerima kondisi yang ada. Sebentar lagi adik-adik akan mengikuti berbagai kegiatan orientasi kampus maupun fakultas, dan adik-adik akan didampingi oleh kakak angkatan yang tentu belum adik kenal. Namun yang jelas, adik-adik akan mengamati berbagai kondisi yang kontradiksi, baik dari sisi nilai maupun perilaku yang ditunjukkan kakak angkatan kalian. Oleh karena itu, kunci utamanya adalah semua mahasiswa harus kritis, dengan membangun paradigma kritis ini kita menjadi tidak segan, jika muncul ketidakadilan, muncul kesalahan penggunaan wewenang, muncul pula proses penggunaan wewenang yang salah.

Berawal dari situ, adik-adik benar-benar akan menjadi lebih baik dari pada kita-kita atau teman aktivis sekarang yang gagal membawa kemajuan dunia pergerakan.

Perjuangan yang adik bayangkan, melihat mahasiswa sering aktif berdemo, tentu memicu pikiran adik-adik untuk ikut berkiprah, menjadi bagian dari elemen mahasiswa dan image mahasiswa dimasyarakat pada umumnya.

Kader-Kader Kerohanian & Hilangnya Kecintaan pada Tanah Air

Adik-adik tentu bisa memperhatikan, bagaimana cara kakak angkatan adik membina adik-adik yang sedang menjadi mahasiswa baru? Bagi yang tidak memiliki paradigm kebangsaan yang baik, menjadi panitia bisa jadi hanya ajang untuk melihat adik-adik angkatan yang cakep atau yang cantik untuk dikerjain, atau boleh jadi upaya untuk memenuhi CV, karena jadi panitia dapat sertifikat. Padahal perlu adik-adik sadari, moment ini adalah moment penegasan, siapa kalian? Apa peran kalian bagi bangsa Indonesia? Pilihan apa yang akan menjadi konsen kalian untuk bersama-sama membangun bangsa ke depan.

            Perlu mahasiswa baru cermati, bahwa sebagian besar ‘aktivis – pengakuan mereka” adalah aktivis rohis, maka jika diamati lebih lanjut, banyak panitia yang mendampingi adik-adik, adalah berlatar belakang rohis. Akibatnya, banyak orientasi kehidupan kampus yang suasananya lebih dekat dengan kerohanian, terutama kerohanian mirip islam.

Jika dicermati lebih lanjut, banyak teman-teman panitia yang memiliki pemahaman agak radikal seperti; tidak mau mengibarkan bendera, dan tidak mau memberikan penghormatan pada bendera, karena menurut sebagian aktivis yang membina adik-adik, menghormat pada bendera adalah musyrik (itu cara pandang mereka), maka jangan heran para mahasiswa baru, selama proses orinentasi akan sangat jarang menjumpai “jiwa nasionalisme yang tinggi” justru sebaliknya, akan banyak asupan materi yang tidak terlalu baik untuk mendidik adik-adik menjadi genarasi bangsa yang cinta tanah air.

Belum lagi prosesi orintasi yang penuh dengan intrik lagu-lagu “totalitas perjuangan” dan “lagu-lagu lain” mirip perjuangan yang kadang tidak diperjelas dengan akar sejarahnya. Sehingga adik-adik mahasiswa baru benar benar menjadi ahistoris terhadap bangsanya sendiri,

Tentu kondisi diatas adalah kondisi yang sangat buruk bagi pemupukan semangat cinta tanah air, semangat pengakuan terhadap bangsa dan semangat melakukan pendidikan moral kebangsaan, yang hari ini kian miskin. Kondisi kritis ini, satu sisi benar-benar membuat keraguan dalam pikiran para maba, tentang ahistorinya lagu-lagu yang mereka nyanyikan, serta tidak adanya pencerdasan yang tepat bagi para mahasiswa.

Kewajiban kita adalah membela bangsa dengan segenap daya yang kita miliki. Hilangnya symbol kenegaraan – yang tentu akan kalian hadapi – merupakan awal yang buruk, bagi generasi bangsa yang memeliki sandangan mahasiswa. Energi dan semangat kebangsaan kemudian menjadi lusuh, dan kita akan tertawa melihat bangsa sendiri. Sungguh ironis, bahkan kita kemudian tidak sanggup lagi memulai untuk memperbaiki.

Sahabat mahasiswa baru yang kami banggakan, kegagalan kakak angkatan kalian, yang tidak memiliki progress yang jelas dalam pergerakannya, telah berakibat pada keterpurukan bangsa ini yang semakin berlanjut. Mahasiswa yang tumpul pemikiran yang selalu kita jumpai – adik jelas akan segera bisa mengamati – dari proses berjalannya kegiatan orientasi kehidupan kampus.

Penutup

Sebagai penutup, kita semua pasti rindu, menjadikan UI sebagai kampus peradaban dan miniature Indonesia yang sesungguhnya. Jika kita membayangkan UI sebagai satu-satunya kampus yang menyandang nama bangsa, tentu kita tidak rela, jika bendera merah putih tidak pernah kita kibarkan, bahkan bendera merah putih jauh dari aktivitas pengenalan kampus. Kita juga rindu pada lagu-lagu kebangsaan, yang mungkin hanya akan adik dendangkan di Balairung Universitas Indonesia.

Sungguh harus kita pahami, bahwa peran kita begitu dinanti, sikap tanggap dan kritis kita ditunggu oleh jutaan rakyat Indonesia. Namun sayang, kadang kita tidak mau memulai untuk mengkrisi dari hal-hal yang kecil. Termasuk proses pengkaderan yang dilakukan kakak-kakak angkatan kalian, yang menyandang dirinya sebagai aktivis.

Sebagai mahasiswa baru, kita berharap agar terjadi peningkatan kapasitas dan kualitas serta daya kritis yang lebih tinggi dibanding dengan angkatan sebelumnya. Dosa mahasiswa angkatan tua, sudah tidak seharusnya diwariskan pada angkatan selanjutnya, dan hal ini tidak akan mungkin terjadi manakala, daya kritis mahasiswa baru rendah. Untuk itu, mahasiswa baru harus memposisikan diri sebagai kader yang lebih kritis, dimulai dari menilai secara dini penanaman nasionalisme di kampus.

 

Banyak hal yang mesti dikritisi oleh mahasiswa baru terhadap angkatan yang lebih tua yang menjadi panitia di berbagai event penyambutan mahasiswa baru. Terutama sikap nasionalisme yang rendah, yang tidak tercermin dalam kurikulum pencerdasan yang kalian terima. Maka penting bagi kalian untuk selalu menanyakan apa fungsi dari setiap even dan jadwal yang dilangsungkan, jangan menjadi manusia yang tumpul yang tidak pernah memberikan perhatian pada hal itu? Insyallah berkah.
------------------------------------------------------------------------------------------------------

 

MENJAGA KEUTUHAN TERITORIAL DENGAN MENJAMIN PEMERATAAN

 

Oleh: Ahmad Munir, 0706265150

 

Departemen Geografi FMIPA UI

 

 

 

Pendahuluan

 

A.     Latar Belakang

 

Tantangan untuk menjaga keutuhan Republik Indonesia ke depan jelas semakin berat. Kondisi ini diperlihatkan dengan adanya konflik horizontal dan konflik verikal yang cenderung meningkat. Dalam aspek lain, tingkat kerawanan dan perlawanan daerah-daerah semakin meningkat. Jika tidak dicermati sebagai masalah serius, ancaman keutuhan jelas akan meningkat pada beberapa decade mendatang.

 

Upaya memelihara keutuhan Republik Indonesia juga menjadi catatan khusus pada pidato presiden. Dari paparan yang disampaikan, keprihatinan besar bangsa Indonesia saat ini dalam menghalau permasalahan persatuan.

 

Permasalahan yang sedang dihadapi saat ini, diantaranya; kesenjangan tingkat kesejahteraan antar beberapa daerah di Indonesia, rendahnya mutu dan kesadaran beridiologi sebagai kesepakatan awal, dan rendahnya minat publik untuk menjangkau akses terhadap pemerintah.

 

Tulisan ini membahas pokok perkara diatas dengan pendekatan asumsi regional, sebagai sebuah disiplin yang berusaha menjamin kepastian pemerataan menurut ukuran dan takaran pembangunan yang sedang dijalankan.

 

 

 

B.      Identifikasi Masalah

 

·         Ancaman terhadap keutuhan Republik Indonesia pada masa mendatang?

 

·         Tantangan dari aspek ideolgi

 

C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian

 

 

 

D.     Pembahasan

 

a.       Kerugian Akibat Kelemahan Kedaulatan Teritorial

 

 

 

b.       Pendekatan Regional

 

Klasifikasi masyarakat sejahtera yang harus dipertimbangkan menurut pendekatan sektoral, namun terintegrasi dalam pandangan regional.

 

Sejauh ini kajian sektoral bergerak sangat cepat, yang tidak diimbangi dengan wawasan keruangan yang tepat. Sebagai akibatnya, kesejahteraan tetap tidak terdistribusi dalam tatanan keruangan.

 

 

 

E.      Penutup

 

a.       Kesimpulan

 

Cara pandangan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam masih menggunakan cara pandang sektoral. Pendekatan ini pada aspek positif mendukung penerimaan Negara dalam jumlah besar, tanpa diketahui berbagai sektor. Namun demikian, upaya untuk mengenali pembiayaan nasional dari aspek ini dipandang rendah oleh masyarakat.

 

Tantangan yang dihadapi dari aspek ini, pemerintah akan menjadi semakin sulit mengelola asset-aset Negara dan sumber daya alam di daerah, dengan kemampuan yang terbatas.

 

b.       Saran

 

 

 

c.       Rekomendasi


==================================

 
KYAI SAID SILATURAHMI DENGAN DOSEN UI, JADI KETUA PBNU PERTAMA PEDULI PERGURUAN TINGGI NEGERI

 

Oleh: Ahmad Munir, Redaksi NU Online di UI

 

Mahasiswa Geografi Universitas Indonesia

 

 

 

UI Depok (15 Juli 2010) – Kepedulian PMII UI terhadap angka korupsi di Indonesia yang makin parah, diwujudkan dalam sebuah tindakan penyadaran di kalangan aktivis dan insan akademisi. Pengajian bertajuk “Jihad Melawan Korupsi” telah dilangsungkan pada malam jumat, 15 Juli 2010. Hadir sebagai penceramah umata Prof. Dr. KH Said Agil Siradj, MA (Ketua Umum PBNU), Drs. Ahmad Djauhari, M. Si (Dirjen Penerangan Agama Islam), Prof. Dr. Muhammad Hikam (Ketua Program Vokasi UI), Dr. Basyuni Imaduddin (Dosen Sastra Arab), dan Banyak dosen dari keluarga Nahdiyyin di Universitas Indonesia.

 

Acara dimulai dengan Tahlil untuk Almarhum Dr. Idham Kholid (Ketua Umum PBNU Periode 1956-1984) yang dipimpin oleh sabahat-sahabat Nahdiyyin dari Tegal. Selanjutnya sambutan oleh KH Ahmad Jauhari, sebagai pengasuh pesantren. Beliau menagaskan bahwa untuk memperbaiki Indonesia ke depan, mesti diperbaiki mahasiswanya. Oleh karena itu, peran mutiara bangsa sebagai pesantren yang diasuhnya, ingin mewujudkan hal tersebut. “Mahasiswa yang cerdas intelektualnya, tetapi juga cerdas moralnya” tutur beliau.

 

Dr. Muhammad Hikam, Pembina mahasiswa NU di UI menyatakan kebahagiaanya, banyak mahasiswa UI yang mulai aktif melakukan aktivitas keagamaan khas tradisi muslim Indonesia seperti Yasinan, Tahlilan, Istighosal, ratiban dsb. Hal tersebut positif dan hendaknya mendapat dukungan dari semua kalangan. Dr. Muhammad Hikam juga mensosialisasikan tentang beberapa kebijakan UI ke depan, dan beliau mengharap agar warga di sekitar UI mendukung program tersebut sebagai upaya membangun bangsa Indonesia.

 

Pada acara ini, penceramah utama yakni Prof. Dr. Said Agil Siradj, MA (Kyai Said). Kyai said mengulas sejarah peradaban Islam yang berkualitas.

 

Kyai Said memberikan solusi praktis dalam rangka memperbaiki krisis moral yang melanda bangsa Indonesia. Tradisi NU “Yakni Tahlilan di Kampung adalah media yang tepat untuk memperbaiki moral bangsa” adalah medium yang tepat. Bangsa Indonesia bias membuktikan, kampong yang sering tahlilan dan tidak sering tahlilan tentram yang mana?

 

Kyai said menyatakan kebanggaanya pada adik-adik PMII yang terus melakukan perjuangan menegakkan agama Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, Walaupun antusiasme beliau untuk hadir ceramah di Universitas Indonesia belum terlaksana. “Ini wujud kepedulian pak Said pada mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri, yang pada saatnya nanti akan berperan sebagai penerus pembangunan bangsa” tutur Munir, sekum PMII Cabang Depok.

 

Acara ini mendapat sedikit kendala terutama perijinan tempat. H. Abdur Rohman, Ketua PMII Cabang depok menyayangkan pihak UI yang tidak memberikan keleluasaan bagi aktivitas mahasiswa. Kesalahan prosedur mestinya tidak menghambat niat baik mahasiswa untuk memperingati Isra Mi’raj, yang makna sesungguhnya adalah menghidupkan nilai-nilai Islam.

 

Ahmad Munir, sekretaris umum PMII Cabang Depok selaku panitia menuturkan “Menurut saya NU masih menjadi solusi untuk krisis moral bangsa saat ini, korupsi adalah muara dari krisis moral yang tidak terkontrol. Tradisi NU di kampung tidak banyak tercermin dalam kehidupan modern, yang semakin menjerumuskan orang pada sifat Individualistis, sehingga rendah kontrol sosial”. Pribadi pak said cerminan dari pribadi muslim yang penuh dengan ilmu, sehingga teladan ulama saat

 

Munir juga menuturkan “dukungan Kyai Said sangat berharga bagi kami yang NU yang di UI”.

Acara diahiri dengan Penyerahan Kenangan oleh Abdur (Ketum) dan Munir (Sekum) kepada Prof. Dr. Said Agil Siradj, MA. Selanjutnya kenang-kenangan balik oleh Prof. Dr. Said Agil Sirajd, MA pada PMII UI Depok 7 buah buku karya beliau yang terbaru. “Kyai said cerminan ulama nasional yang produktif, yang karyanya patut diperhitungkan dalam referensi keislaman, sekarang banyak penulis buku agama, atau penceramah agama yang tidak menguasai ilmu agama tapi banyak menulis, beda dengan kyai said yang kapasitas keimuanya mumpuni, sayangnya UI jarang mengudang beliau” Tutur Woro, Kader PMII UI. Lebih lanjut sahabat Hasyim menuturkan “Seandainya pak Said banyak ceramah di UI, saya yakin akan lebih banyak mahasiswa UI yang ikut yasinan tiap malam jumat, mengingat yasinan bias menjadi control social yang baik”.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


MEREBUT MASA DEPAN INDONESIA Oleh: Ahmad Munir, Mahasiswa Geografi UI 1. Pendahuluan Sejarah panjang telah mencatat, generasi bangsa ini makin lama makin tidak berkarakter, karena demikian mudah orang berkarakter menjadi mangsa dan tidak berdaya apa-apa ketika berhadapan dengan penguasa. Jika hal ini berlangsung dan dipertahankan dengan pola yang sama, maka masa depan Indonesia masih begitu kelam. Dan tidak ada bayangan serta tanda-tanda kebaikan dalam setiap segmen kehidupan di negeri ini. Kenapa Indonesia harus direbut? Tulisan ini ingin mengajak anda untuk sedikit berpihak pada kebenaran dan tidak berhenti untuk melakupan perbaikan. Uang tidak boleh berkuasa di negeri ini, tetapi karakter dan moral yang seharusnya memimpin negeri ini, agar bangsa ini dapat diarahkan ke arah pembangunan yang berkarakter. 2. Pembahasan Pergulatan panjang tentang masa depan Indonesia terus digagas berbagai kalangan. Dan saat ini kutub-kutub golongan demikian panas. Orang begitu mudah berupaya menyampaikan pandangan keagamaanya, sementara bangsa ini tidak dengan mudah bersatu dalam pandangan kebangsaan. Jika demikian kondisinya relakah jika kita menjadi bagian yang turut memperkeruh keadaan. Gerakan mahasiswa juga begitu mudah ditopang kekuatan-kekuatan makro dalam ruang senioritas. Siapa berkuasa dalam pandangan ini. Dinamika apa yang akan terus dimunculkan ke ruang publik. Membaca arus dan pola yang ada berarti kondisi tidak akan berubah. Maka syarat utama membangun negeri dapat diantitesiskan dengan melemahkan kekuatan pola. Pola yang lama yang telah menjamur harus dirapuhkan dan mengganti dengan pola baru yang lebih berkarakter, terutama karakter membangun dalam perspektif kemajuan peradaban. Arus dan pola gerakan itu dapat diputus pada generasi mahasiswa. Penekanannya adalah pada aspek rasionalitas gerakan. Memperkuat gerakan independen adalah salah-satunya. Pandangan gerakan independen menjadi alternatife dengan azaz kompetisi sehat. Namun kompetisi sehat juga tidak mudah dicapai dengan pandangan yang tidak sehat. Kemajuan gerakan mahasiswa harus mulai mengukur dengan asas profesionalitas. Dengan karakter professional orang dapat memperteguh gerakan dan ideology kebangsaan dengan semangat membangun keberagaman. Dengan demikian, membaca masa depan Indonesia harus dimulai dari konteks gerakan mahasiswa, dengan semangat keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak dan pemerataan keadaan. 3. Membaca Senior Dalam waktu dekat, dua mantan ketua umum gerakan mahasiswa tingkat nasional tersandung korupsi, yakni HMI dan PMII. Hampir tidak ada harapan lagi, ketika mereka yang berbicara idealis pada saat menjadi mahasiswa, telah menjadi bagian dari ruang public yang justru memperkeruh suasana. Artinya, urgensitas kita mengikuti gerakan terus menerus disalah fahami, bahwa gerakan mahasiswa macam apapun ujungnya adalah ketidakmapanan dan memicu korupsi. Pandangan antipasti terhadap gerakan jelas memunculkan dua konsekuensi. Pertama, pandangan antipasti berkembang menjadi tidak peduli. Dan kedua, pandangan antipati melahirkan kesadaran untuk membenahi. Pembenahan jelas bukan pilihan mudah, mengingat sistem begitu kuat mengatur transaksi korupsi di negeri ini. Pemecahannya jelas memperkuat simpul-simpul radikal bebas, dan ruang kesadaran publik untuk berpacu menggantikan peran politisi, yang telah rakus mengambil sebagian hak rakyat. Kesempatan yang besar, untuk menggantikan dengan sistem baru. Anggaran Negara ditentukan dengan mekanisme pembagian tanpa manipulasi. 4. Penutup Sampai saat ini, pola gerakan mahasiswa lama belum memunculkan perbaikan-perbaikan dan pembenahan. Gerakan lama justru menjadi patron kerakusan-kerakusan abad baru. Dalam konteks ini memang tidak ada keteladanan senior yang mapan. Situasi ini perlu diperketat dengan penguasaan sistem dan komunikasi yang baik, yang dengan mudah dapat diciptakan oleh generasi lanjutan.
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free