Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air kehidupan akan menjadi gersang.
Geographer - Free Researcher - Geography Teacher - Hydrology Interest - Aktivis

DAS di Indonesia

Nama            : Iqlima I.Tika
NPM               : 0606071550
Tugas Pengelolaan DAS
 
 
DAS Cidanau
 
Cidanau dengan luas 22.620 hektare merupakan daerah aliran sungai (DAS) yang memiliki andil penting dalam mendukung kontinuitas pembangunan di Provinsi Banten, khususnya di wilayah Serang Barat dan Kota Cilegon.  Selain memiliki sumber daya air yang sangat potensial, DAS Cidanau memiliki situs konservasi yang endemik, yaitu Rawa Danau – kawasan rawa seluas 2.500 hektare dan ditetapkan sebagai cagar alam oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 16 November 1921. Kemudian Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan Perda Kabupaten Serang Nomor 2 Tahun 1994 tentang Pola Dasar Kabupaten Serang yang menetapkan Rawa Danau sebagai kawasan cagar alam. Dalam dua puluh tahun terakhir DAS Cidanau mengalami degradasi lingkungan yang tidak saja mengancam eksistensi cagar alam Rawa Danau, tetapi juga pada keberlanjutan ketersediaan dan kualitas air.
 
Gambaran umum DAS Cidanau
Cidanau dengan luas 22.620 hektare merupakan daerah aliran sungai (DAS) yang memiliki andil penting dalam mendukung kontinuitas pembangunan di Provinsi Banten, khususnya di wilayah Serang Barat dan Kota Cilegon, dengan potensi debit rata-rata 2.000 liter per detik. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau merupakan salah satu DAS penting di wilayah Propinsi Banten, secara geografis DAS Cidanau terletak di antara 06º 07’ 30’’ – 06º 18’ 00’’ LS dan 105º 49’ 00’’ – 106º 04’ 00’’ BT. DAS Cidanau mencakup kawasan seluas 22.620 Ha (Sumber: RTL DAS Cidanau), yang mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang seluas 999,29 Ha dan Kabupaten Serang seluas 21.620,71 Ha. Wilayah DAS Cidanau secara administratif terdiri dari 33 Desa pada 5 wilayah kecamatan di Kabupaten Serang dan 4 desa di kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang.
Tata guna lahan di DAS Cidanau, adalah sebagai berikut:
·         Hutan belukar : 1.539,00 Ha
·         Rawa : 1.935,80 Ha
·         Sawah : 6.786,30 Ha
·         Semak : 5.982,40 Ha
·         Kebun campuran : 3.471,10 Ha
·         Ladang : 1.925,50 Ha
·         Permukiman : 396,80 Ha
Sumber: Master Plan Pengembangan dan Konservasi DAS Cidanau, Bappeda Banten 2002.
 
 
Potensi Air Tanah
Potensi Air Tanah Tinggi : Wilayah sebelah timur DAS Cidanau atau selatan-tenggara Cagar Alam Rawa Danau memiliki sistem akuifer dengan aliran air tanah melalui ruang antar butir dan rekahan. Litologi penyusunannya terdiri atas breksi dan tufa sehingga dapat bertindak sebagai akuifer yang baik
Potensi Air Tanah Sedang : Wilayah ini di sebelah selatan DAS Cidanau kecuali di puncak bukit Gunung Parakasak, Gunung Karang dan lereng bukit Gunung Aseupan. Di samping itu wilayah potensi air tanah sedang menempati sebagian kecil utara Barat laut Rawa Danau.
Potensi Air Tanah Rendah : Wilayah potensi air tanah rendah ini sebelah selatan menempati sekitar Gunung Parakasak dan Gunung Aseupan. Disebelah utara daerah Cagar Alam Rawa Danau dan arah kiri sungai Cidanau.
 
Iklim
Variasi keragaman suhu, keadaan air permukaan dan besaran curah hujan di DAS Cidanau termasuk tipe iklim A (Schmidt dan Fergusson, 1951). Bulan basah mulai September sampai dengan bulan Juni, sedangkan bulan kering hanya pada bulan Juli dan Agustus. Kelembaban nisbi DAS Cidanau antara 77,60 % - 85,00 % dimana kelembaban terendah terjadi pada bula Oktober, sedangkan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Maret.
 
Geologi
Jenis tanah yang ada di DAS Cidanau mencerminkan batuan dasar yang dikandung oleh DAS Cidanau tersebut. Adapun jenis tanah yang dijumpai di DAS Cidanau terdiri dari beberapa jenis yaitu :
• Tanah alluvial
• Jenis Tanah Regosol
• Jenis Tanah Latosol, dan
• Jenis Tanah Glei
Di sebelah selatan, batuan penutupnya berupa breksi yang kurang padu sehingga merupakan daerah imbuhan air tanah yang baik, sedangkan di sebelah utara, barat dan timur tersusun oleh batuan lava dan breksi padu sehingga sulit untuk meluluskan air. Dataran Rawa Danau umumnya tersusun oleh pasir yang merupakan hancuran batu gunung api disekitarnya sehingga pada umumnya daerah tersebut mempunyai air tanah jelek.
Morfologi didominasi oleh Satuan Dataran Danau yang merupakan bentukan kaldera Cidanau yang diakibatkan oleh depresi volcano-tektonik. Morfologi ini memisahkan bagian utara dan selatan daerah penelitian yang terdiri dari kubah-kubah lava. Geologinya didominasi oleh batuan hasil dari kegiatan gunungapi berumur Plio-Kuarter. Batuan-batuan volkanik ini menindih secara tidak selaras batuan sedimen dan volkanik berumur Tersier. Strktur geologi di daerarah penelitian didominasi oleh sesar berarah barat laut – tenggara dan barat-timur. Sesar-sesar ini juga mengontrol kemunculan beberapa air panas didaerah penelitian.
 
Geomorfologi
DAS Cidanauterbentang pada ketinggian antara 100-500 m dpl denganketinggian lereng antara 40-100%. Daerah di sebelah selatan ataupun utara CagarAlam Rawa Danau umumnya mempunyai topografi yang terjal dengan ketinggian 600 m dpl pada sebelah selatan dan 200 m dpl di sebelah utara.
Pembagian morfologi daerah penelitian didominasi oleh Satuan Dataran Danau yang merupakan bentukan kaldera Cidanau yang diakibatkan oleh depresi volkano-tektonik. Kaldera ini berukuran 12 km x 5 km dan berarah timur laut - barat daya. Morfologi ini berada pada ketinggian 90 hingga 100 m. Hutan rawa yang mendominasi dataran ini dahulu kini hanya dapat ditemukan di beberapa titik (Gambar 6). Sebagian besar dataran ini telah dimanfaatkan oleh penduduk, sehingga daerah rawa-rawa kini telah diganti oleh petak-petak sawah. Satuan geomorfologi ini menunjukkan, bahwa daerah ini telah mengalami tingkat erosi yang tinggi dan dapat dikatakan telah memasuki jenjang dewasa.
 
Sosial-ekonomi
Kandungan air yang masih bersih dan alami, infrastruktur memadai serta dekat dengan pasar Jabodetabek, menjadi daya tarik tersendiri DAS Cidanau bagi industri air minum dalam kemasan. DAS Cidanau tidak bisa dilepaskan dari cagar alam Rawa Danau, Kabupaten Serang. Selain manjadi salah satu andalan wisata, cagar alam ini juga menjadi daerah serapan air. Keberadaannya yang ralatif jauh dan lebih tinggi dari kawasan industri menjadikan kandungan air di kawasan ini relatif bebas dari pencemaran.
Sektor industri merupakan salah satu sektor yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekosistem DAS Cidanau karena berkaitan dengan sumberdaya air untuk menghidupi kegiatan industri. Bila terjadi degradasi dan kerusakan ekosistem DAS akan memberikan dampak langsung terhadap keberlanjutan produksi dari berbagai industri yang berkembang di daerah Cilegon beserta dampak social ekonomi yang mengikuti dan menyertainya. Karena itu, upaya konservasi DAS Cidanau di Provinsi Banten merupakan langkah prioritas untuk menyelamatkan berbagai sector yang berkepentingan terhadap kesehatan DAS Cidanau. Karena itu keberlanjutan DAS Cidanau sangat ditentukan oleh berfungsinya faktor pendukung yang meliputi faktor internal berupa organisasi masyarakat (kelompok tani), jaringan dan sarana prasarana irigasi, produksi pangan, ekosistem lahan sawah beririgasi, ritual sosio-religius yang berkaitan dengan budidaya pertanian dan faktor eksternal yaitu kondisi kesehatan DAS mulai dari hulu sampai hilir. Faktor eksternal berupa ekosistem DAS memiliki peran yang cukup signifikan dalam pengelolaan dan keberlanjutan DAS, sedangkan faktor internal lebih banyak sebagai komponen pendukung untuk mengelola dan memanfaatkan jasa lingkungan yang sudah ada.
 
Pengelolaan DAS Cidanau
Selama ini pengelolaan DAS Cidanau dilakukan secara parsial dan individual baik dalam perencanaan maupun tataran implementasinya. Kemudian sejak Banten dijadikan provinsi pemerintah mulai membuka mata terhadap nilai-nilai strategis yang dimiliki DAS Cidanau, setelah muncul konflik kepentingan antara daerah wilayah tangkapan dengan daerah wilayah pemanfaat. Pengelolaan yang maksimal terhadap DAS Cidanau dianggap penting oleh Pemerintah Provinsi Banten untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk mendukung cita-cita ini, Pemprov Banten menilai pengelolaan DAS Cidanau akan berhasil kalau dilakukan secara terintegrasi dengan mengacu pada konsep one river basin, one plan and one management.
Singkatnya pengelolaan DAS Cidanau didasarkan pada prinsip satu kesatuan ekosistem, prinsip ekonomi, dan prinsip balans antara ekonomi dan ekologi. Selain itu strategi pegelolaan kawasan konservasi ini antara lain, mengamankan perairan DAS Cidanau termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya, memantau ekosistem DAS Cidanau yang meliputi kondisi dan dinamika fisik, kimia, bilogi perairan dan pemanfaatan potensinya bagi masyarakat, serta memanfaatkan ekosistem DAS Cidanau secara lestari dan seimbang bagi kepentingan masyarakat. Atas dasar pertimbangan di atas, stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cidanau merancang dan menerapkan program konservasi terpadu.
 
Permasalahan utama di DAS Cidanau, antara lain:
Tingkat erosi yang mencapai 71.034,40 ton/tahun dan nilai sedimentasi yang mencapai 75,68 cm/tahun; Penebangan pohon di kawasan Perhutani (illegal loging) dan di kawasan hutan rakyat di upstream mempengaruhi eksistensi Cagar Alam Rawa Danau yang juga berfungsi sebagai reservoir Sungai Cidanau; Ketersediaan air menunjukkan kecenderungan terus menurun, karena fluktuasi debit minimal dan maksimal sebesar 15 s.d 32 kali; Tumbuh suburnya gulma akibat penggunaan pupuk kimia oleh masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Rawa Danau; Perambahan kawasan Cagar alam Rawa Danau, seluas ± 849 Ha oleh 1.140 kepala keluarga untuk lahan budidaya; Tingkat kejenuhan lahan yang mengakibatkan menurunnya infiltrasi dan meningkatnya run off. Sementara Sungai Cidanau yang berhulu di kawasan Cagar Alam Rawa Danau, merupakan sungai utama DAS Cidanau dan menjadi aliran air serta reservoir sungai – sungai dari kawasan 10 (sepuluh) sub DAS Cidanau. Memiliki debit rata – rata untuk 5 (lima) tahun terakhir antara 8.000 – 10.000 liter/detik, merupakan sumber  air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan industri di Kota Cilegon dengan jumlah ± 120 perusahaan dengan total investasi mencapai US $ 1,936,643,291 (Sumber : Dinas Perdagangan dan Industri Kota Cilegon, 2003), yang diproyeksikan akan mencapai 1.690 liter/detik pada tahun 2006. Akan tetapi akibat berbagai permasalahan yang terjadi di DAS Cidanau, kuantitas dan kualitas air dari Sungai Cidanau terus mengalami penurunan secara kuantitas maupun kualitas, bahkan pada tahun 1997 debit rata – rata Sungai Cidanau hanya sebesar 1.700 liter per detik.
Disamping sumber daya air, didalam kawasan DAS Cidanau terdapat kawasan Cagar Alam Rawa Danau, yang penetapannya didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Jenderal Belanda, Governement Bisluit (GB) Nomor 60 Staatblad 683, tanggal 16 November 1921 dengan luas 2.500 Ha. Suatu kawasan yang memiliki potensi keanekaragaman hayati endemis terutama untuk ekosistem rawa, karena Rawa Danau merupakan kawasan rawa pegunungan satu – satunya yang masih tersisa di Pulau Jawa.
 
Daftar Pustaka
Data-data di unduh pada tanggal 9-11-2009 antara pukul 14.00-16.30 WIB
http://www.fitb.itb.ac.id/kk-geologi_terapan/wp-content/uploads/2007/10/laporan_anyer.pdf

==================================

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI JENEBERANG
KOTA MAKASSAR-SULAWESI SELATAN
 
Oleh : Muhammad Chairul Fahmi, 0606071645
 
 
 
RINGKASAN
 
            Daerah aliran sungai (DAS) dalam perspektif keruangan merupakan bagian dari muka bumi, yang airnya mengalir ke dalam sungai yang bersangkutan apabila hujan jatuh. (Sandy, 1996). Dalam DAS, terdapat karakteristik yang diperoleh dari air hujan yang jatuh terhadap penggunaan tanah. Hal ini dicirikan pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Karakteristik yang paling mencolok tentu saja terhadap lahan pertanian dimana air dibutuhkan dalam aktivitas ini.
            Sungai ini berasal dan mengalir dari bagian timur Gunung Bawakaraeng (2,833 mdpl) dan Gunung Lampobatang (2,876) yang kemudian menuju hilirnya di Selat Makassar. Pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang, terdapat dua daerah penampungan air (reservoir) utama yaitu di Kota Bili-bili dan Jenelata. Keberadaan sungai Jeneberang ini memberikan sumber harapan, kebahagiaan, kebanggaan dan kesenangan bagi Suku Makassar dan Suku Bugis. Kesemuanya ini dapat dilihat dari cerita-cerita dan lagu-lagu rakyat terhadap keberadaan sungai ini dan masih sering dilantunkan oleh anak-anak muda pada suku-suku tersebut.
 
 
PENDAHULUAN
 
            Daerah aliran sungai (DAS)[1] dalam perspektif keruangan merupakan bagian dari muka bumi, yang airnya mengalir ke dalam sungai yang bersangkutan apabila hujan jatuh. (Sandy, 1996)[2]. Menurut hemat saya, Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu tempat dengan pembatas fisik berupa pegunungan dimana air hujan yang jatuh tepat berada pada daerah yang dibatasi oleh pegunungan dan memberi dampak terhadap penggunaan tanah di sekitarnya.
Dalam DAS, terdapat karakteristik yang diperoleh dari air hujan yang jatuh terhadap penggunaan tanah. Hal ini dicirikan pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Karakteristik yang paling mencolok tentu saja terhadap lahan pertanian dimana air dibutuhkan dalam aktivitas ini. Keberadaan
 
 
 
 
 
 
 
 

Gambar 1. Sungai Jeneberang

 
 

 

 
 

sungai ini selain memberikan asupan air bagi masyarakat sekitar, juga dapat dijadikan sebagai prasarana transportasi sekaligus sebagai sumber air bagi pertanian dan kehidupan disekitarnya. Hal ini dikarenakan kondisi geologis dan geomorfologis-nya memungkinkan untuk penyimpanan air dan keberlangsungan aktivitas pertanian.
Tulisan ini akan membahas Daerah Aliran Sungai Jeneberang dari segi letak geografis, kondisi geologis, kondisi fisiografis (iklim) yang selanjutnya dikaitkan dengan keberadaan sosial budaya mayarakatnya secara umum.
 
DAERAH ALIRAN SUNGAI JENEBERANG (1) : FAKTA WILAYAH DAN PENGGUNAAN TANAH
 
            Sungai Jeneberang merupakan sungai besar yang terletak pada bagian barat dalam wilayah administrasi Kotamadya Makassar (Ujung Pandang), ibukota dari Provinsi Sulawesi Selatan. Sungai ini berasal dan mengalir dari bagian timur Gunung Bawakaraeng (2,833 mdpl) dan Gunung Lampobatang (2,876) yang kemudian menuju hilirnya di Selat Makassar. Pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang, terdapat dua daerah penampungan air (reservoir) utama yaitu di Kota Bili-bili dan Jenelata.
 
 
 
 
 
Tabel 1. Fakta Wilayah Daerah Aliran Sungai Jeneberang, Kotamadya Makassar,     Sulawesi Selatan
 
   Sumber : flood.dpri.kyoto-u.ac.jp.
 
            Secara geografis Daerah Aliran Sungai Jeneberang terletak pada 119° 23' 50" BT - 119° 56' 10" BT dan 05° 10' 00" LS - 05° 26' 00" LS dengan panjang sungai utamanya 78.75  kilometer. Daerah Aliran Sungai Jeneberang dialiri oleh satu sungai pendukungnya (anak sungai) yaitu Sungai Jenelata (220 km2). Kota-kota besar yang diliputi Daerah Aliran Sungai ini selain Makassar (Ujung Pandang) yaitu Kota Malino, Kota Bili-bili, dan Kota Sungguminasa.
 
Tabel 2. Sungai Utama dan Anak Sungai yang melewati Daerah Aliran                            Sungai Jeneberang.
 
Sumber : flood.dpri.kyoto-u.ac.jp
                                                             
            Berdasarkan sungai utama dan anak sungainya yang memiliki hulu di Gunung Bawakaraeng dan Gunung Lampobatang, maka didapatkan gambaran umum Daerah Aliran Sungai Jeneberang secara keruangan, yaitu:
 
Gambar 2. Fakta Wilayah Daerah Aliran Sungai Jeneberang
 
            Wilayah penggunaan tanah atau tutupan lahan yang diliputi oleh Daerah Aliran Sungai ini sebesar 727 kilometer persegi dengan ketentuan luas (dalam persen) sebagai berikut :
Tabel 3. Luas dan Persentase Penggunaan Tanah yang ada pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang.
 
Penggunaan Tanah
Luas (Km2)
Persentase (%)
Hutan
501.63
69
Sawah Padi
36.35
5
Pertanian
87.24
12
Perkotaan
101.78
14
Jumlah
727
100
Sumber : diolah dari table of basic data Kyoto University (1993).
 
Gambar 3. Penggunaan Tanah Daerah Aliran Sungai Jeneberang
                                                             
            Lahan perkotaan yang meliputi luas 101.78 kilometer persegi dengan persentase sebesar 14 persen terlihat berada pada bagian barat mendekati hilir dari Daerah Aliran Sungai Jeneberang yaitu Selat Makassar.
             Sebagai sebuah ekosistem Daerah Aliran Sungai, Sungai Jeneberang sebenarnya masih mampu bertahan dari kondisi yang kritis sebagai sebuah DAS dimana penggunaan tanah hutan masih diatas 50% (parameter sebagai DAS kritis ialah jika kondisi hutan sudah dibawah 50%)[3] yaitu sebesar 501.63 kilometer persegi atau 69 persen dari luas penggunaan tanah dalam satu Daerah Aliran Sungai Jeneberang ini.
FISIOGRAFIS DAERAH ALIRAN SUNGAI JENEBERANG
 
a. Geologi.
                                                             
            Pada peta Geologi Daerah Aliran Sungai Jeneberang dapat ditemukan bahwa di bagian barat atau bagian hilir terdapat deposit dari aluvial. Hal ini di karenakan merupakan daerah hulu sungai dengan ketinggian sekitar 0-3 meter dari permukaan air laut. Deposit aluvial ini merupakan jenis batuan yang dominan berada pada hilir Daerah Aliran Sungai Jeneberang. Jika dianalisis dengan peta penggunaan tanah, terlihat bahwa pertanian padi berada pada bagian geologi deposit aluvial.
            Bagian hulu dari Daerah Aliran Sungai Jeneberang ini didominasi oleh geologi jenis latosol yang berasal dari era tersier. Dimana keberadaan jenis geologi ini berkorelasi dengan munculnya penggunaan tanah pertanian jika dianalisis berdasarkan peta pengunaan tanah.
            Bagian timur Daerah Aliran Sungai Jeneberang merupakan batuan vulkanik yang berasal dari zaman holosen. Dimana penggunaan lahan pada daerah tengah ini merupakan hutan yang berfungsi sebagai penahan longsor untuk wilayah-wilayah di bagian hilir dari Daerah Aliran Sungai Jeneberang ini.
 
Gambar 4. Geologi Daerah Aliran Sungai Jeneberang
 
 
b. Geomorfologi.
           
            Pulau Sulawesi terdiri dari sebuah masif dengan banyak patahan-patahan. Batuan yang terdapat dimana umumnya batu gamping dengan permukaan kasar dan sulit diusahakan untuk pertanian. Sebagai contoh, pegunungan kapur Maros, Bone, dan juga Tana Toraja memperlihatkan bentuk-bentuk yang khas dengan ujungnya runcing-runcing.
            Pada lokasi dimana Daerah Aliran Sungai Jeneberang berada, secara fisik merupakan wilayah pegunungan Malino (Gunung Lampobatang), wilayah lipatan tersier selatan Combi  dan wilayah dataran rendah aluvial selatan Makassar (Ujung Pandang) yang berakhir di Selat Makassar.
 
c. Suhu dan Curah Hujan.
 
            Di Sulawesi Selatan iklim merupakan bagian dari peralihan antara rezim hujan Indonesia Barat dengan rezim hujan Indonesia Timur. Garis peralihan itu terletak pada 1200 BT atau di Lintang Bantaeng di Sulawesi Selatan. Makassar (Ujung Pandang) dan Takalar memperoleh hujan maksimum pada bulan Januari. Sedangkan Watampone dan Sinjai memperoleh hujan terbanyak pada bulan Mei dan Juni. Punggung pegunungan yang sempit mengakibatkan banyak tempat memperoleh hujan yang sangat sedikit karena sedikitnya angin yang membawa bakal hujan.
             Suhu dan curah hujan memberikan pengaruh penting terhadap suatu wilayah, khususnya pada wilayah-wilayah ekuatorial seperti Indonesia. Dalam sebuah Daerah Aliran Sungai, keberadaan suhu dan curah hujan dapat digunakan sebagai parameter perubahan luasnya penggunaan tanah selain faktor aktivitas manusia.
            Pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang, suhu dan curah hujan di wakili oleh stasiun suhu dan curah hujan Kota Makassar dimana variasi suhu dan curah hujan-nya tidak terlalu mencolok perbedaannya. Suhu tertinggi berada pada bulan Oktober yaitu sebesar  27.4°C. sedangkan suhu terendah berada pada bulan Desember, Januari, dan Februari yaitu sebesar 25.9 °C.
            Curah hujan tertinggi berada pada bulan Januari yaitu sebesar 670 mm dan terendah pada bulan Agustus yaitu sebesar 35.3 mm. Kebervariasian ini sangat mencolok dikarenakan letak Kota Makassar yang hanya 0- 3 meter dari permukaan laut serta adanya pengaruh arah angin dari pantai baratnya. Sehingga keberadaanya mempengaruhi hilir dari Daerah Aliran Sungai Jeneberang.
              
Tabel 4. Suhu dan Curah Hujan Rata-Rata Di Kota Makassar (Ujung Pandang)/Hasan, Sulawesi Selatan.
 
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
 
mm
670
551.2
417.8
209.1
147.8
80
 
°C
25.9
25.9
26.2
26.6
26.9
26.5
 
 
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Tahun
 
59.4
35.3
37.4
126.3
297.4
571.1
3203.4
 
26
26.6
27.1
27.4
26.8
25.9
26.5
          Sumber : World Climate
 
Gambar 5. Grafik Hubungan Suhu dan Curah Hujan.
 
DAERAH ALIRAN SUNGAI JENEBERANG (2) : KONDISI SOSIAL BUDAYA MAYARAKAT
 
                Daerah Aliran Sungai Jeneberang di Sulawesi Selatan melintasi salah satu kota besar yaitu Kota Makassar. Keberadaan sungai Jeneberang ini memberikan sumber harapan, kebahagiaan, kebanggaan dan kesenangan bagi Suku Makassar dan Suku Bugis. Kesemuanya ini dapat dilihat dari cerita-cerita dan lagu-lagu rakyat terhadap keberadaan sungai ini dan masih sering dilantunkan oleh anak-anak muda pada suku-suku tersebut.
            Lagu-lagu rakyat yang terkenal yaitu “Maranno-ranno ri binange Jeneberang” yang berarti mengadakan kesenangan bersama-sama setiap hari di Sungai Jeneberang. Ada beberapa pengertian mengenai asal usul kata Jeneberang, yang dalam terminology Makassar dan Bugis dibagi menjadi “Jene” yang berarti air dan “Binanga” yang berarti hubungan antara suku-suku tersebut dengan daerah aliran sungai ini.
            Sampai akhirnya ketika dibangun dam di Bili-bili dan Jenelata pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang, hal ini berdampak pada bertambahnya harapan, kebanggaan, kesenangan, dan kebahagiaan bagi suku-suku di daerah aliran sungai Jeneberang ini.
 
KESIMPULAN  
 
·         Keberadaan Daerah Aliran Sungai Jeneberang dengan Kota Bili-bili dan Jenelata sebagai ‘penampung’ air hujan sementara sebelum dialirkan dapat dipandang sebagai daerah resapan air untuk Kota Makassar dan sekitarnya.
·         Kondisi geologi yang utuh pada setiap bagian wilayah Daerah Aliran Sungai Jeneberang memberikan ciri terhadap keberadaan penggunaan tanahnya. Sedangkan perbedaan yang mencolok terhadap suhu dan curah hujan yang terjadi akan berdampak secara tidak langsung terhadap perubahan penggunaan tanah.
·         Sosial-budaya masyarakat pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang masih memegang teguh budaya turunan nenek moyangnya seperti lagu dan cerita rakyat seperti “Maranno-ranno ri binange Jeneberang”, khususnya pada acara-acara isidental seperti panen dan semacamnya.
 
DAFTAR BACAAN
 
·      Buku.
 
Sandy, I Made. 1996. Republik Indonesia Geografi Regional. Edisi Ketiga. Jakarta: Jurusan Geografi FMIPA-UI-PT Indograph Bakti. Hal. 89, 90, dan 270.
·      Internet.
 


[1] Istilah lainnya adalah Drainage Area atau River Basin. Tetapi akhir-akhir Drainage Area disebut juga Watershed. Meskipun pada awalnya istilah watershed itu berarti hanya rangkaian punggung gunung, atau bagian-bagian tertinggi saja dari drainage area itu. (Sandy, 1996 hal.90)  
[2] Sandy juga berpendapat bahwa sebuah pulau akan terbagi habis ke dalam Daerah-Daerah Aliran Sungai. (Geografi Regional Indonesia, 1996 hal. 89).
[3] Dr. Tarsoen Waryono, MSc pernah mengatakan ini pada saat kuliah Pengelolaan DAS untuk Mahasiswa Program Sarjana Reguler Departemen Geografi FMIPA-UI ATA 2009/2010.

============================================

Daerah Aliran Sungai Asahan

Oleh

Anggi Kusumawardani, 0606071185

 

 

Pendahuluan

                Daerah aliran sungai (DAS) merupakan wilayah yang dibatasi oleh topografi dimana air yang berada di wilayah tersebut akan mengalir ke outlet sungai utama hingga ke hilir. Sandy (1996) mendefinisikan DAS sebagai bagian dari muka bumi yang yang airnya mengalir ke dalam sungai yang bersangkutan apabila hujan jatuh. Selain itu menurutnya, sebuah pulau selamanya akan terbagi habis ke dalam daerah-daerah aliran sungai. Komponen yang terdapat dalam DAS terdiri dari komponen fisik, kimia, dan biologi. Komponen fisik mencakup kondisi fisik geografis DAS yang bersangkutan sedangkan kondisi kimia lebih menitikberatkan kepada kondisi dari air sungai. Komponen biologi dilihat dari keragaman makhluk hidup termasuk manusia yang ada dalam DAS yang memiliki andil terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem DAS.

                DAS memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan. Karena dalam DAS terdapat suatu sistem yang berjalan dan terdiri dari berbagai komponen. DAS dapat dibagi menjadi tiga bagian menurut pengelolaannya. Yaitu DAS bagian hulu, tengah, dan hilir. DAS di bagian hulu amat penting sebagai penyimpan air, penyedia air untuk industri, potensi pembangkit listrik, dan yang tak kalah penting sebagai penyeimbang ekologis di dalam sistem DAS. DAS bagian tengah merupakan wilayah dimana adanya permukiman serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Di DAS bagian hilir biasanya merupakan daerah endapan yang subur sehingga padat akan permukiman penduduk. Selain itu lokasi-lokasi industri juga banyak yang terdapat di DAS bagian hilir. Penggunaan tanah sebagai pencerminan aktivitas penduduk akan memengaruhi kondisi di suatu DAS sehingga bisa berpengaruh terhadap kualitas serta kuantitas air sungai yang ada.

                Sungai asahan merupakan sungai yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Sungai ini merupakan sungai yang berhulu di Danau Toba dan mengalirkan sungainya hingga ke Selat Malaka. DAS Asahan menjadi banyak diperbincangkan media ketika pemerintah melaksanakan pembangunan PLTA serta pabrik aluminium dalam skala yang besar. Keberadaan DAS Asahan sebagai bagian dari sistem hidrologi menjadi suatu hal yang penting untuk dijaga keberadaannya.

DAS Asahan

Sumber : Jayawerdana, et. al (eds), 1997

 

Gambaran Umum DAS Asahan

            DAS Asahan terletak di Provinsi Sumatera Utara. DAS Asahan mencakup Danau Toba yang menjadi hulunya berikut Sungai Asahan sebagai outlet sungai utamanya. Panjang sungai Asahan 147 km dengan enam buah anak sungai utamanya. Luas dari DAS Asahan ini mencapai 3.741 km2 dimana hulunya berasal dari Danau Toba dan mengalirkan sungai hingga ke Selat Malaka. Rata-rata curah hujan yang ada di DAS Asahan yaitu berkisar 2.112 mm per tahun. Kota utama yang dilingkupi oleh DAS Asahan diantaranya Parapat, Porsea, Balige, Kisaran, dan Tanjung Balai. Titik ketinggian tertinggi di DAS Asahan yaitu Gunung Dolok Sibutan dengan tinggi 2.457 mdpl sedangkan yang terendah terdapat di Tanjung Jumpul dengan ketinggian 0 mdpl. Di bagian hilir sungai, kejadian banjir kerap kali terjadi karena meluapnya air Sungai Asahan.

Keadaan Umum Sungai Asahan

Sumber : Jayawerdana, et. al (eds), 1997

 

 Karakteristik Sungai Asahan dan anak sungainya

Sumber : Jayawerdana, et. al (eds), 1997

 

 

KONDISI FISIK

Jenis Batuan di DAS Asahan

            Jenis batuan yang teridentifikasi di DAS Asahan diantaranya tuf Toba, formasi Samosir, baik yang terbentuk di lapisan mudanya atau yang lebih tua umur batuannya. Di sekitar Danau Toba terdapat batuan intrusif yang terbentuk sejak zaman tersier. Wilayah jenis batuan ini meliputi lingkar luar Danau Toba serta pada wilayah bagian timur Sumatera Utara yang rendah. Pada kondisi batuan yang demikian, banyak ditemukan beberapa tempat penghasil emas untuk dieksplorasi lebih lanjut. Adapun jenis batuan yang terdapat di Pulau Samosir terdiri dari batuan sedimen yang terbentuk sejak zaman kuarter.

                Batuan yang terdapat di sekitar Danau Toba termasuk di DAS Asahan terbentuk akibat muntahan Gunung Toba pada lebih dari 70.000 tahun yang lalu. Di sekeliling Toba banyak ditemukan abu vulkanik (tuf) hasil dari muntahan Toba. Cirinya yaitu berstruktur pasir dan mudah lepas. Tak heran jika di sekeliling Toba merupakan lahan yang subur dan banyak ditumbuhi oleh tumbuhan. Pulau Samosir yang terletak di tengah Danau Toba merupakan batuan sedimen yang bertekstur pasir yang terkonsolidasi dan terdapat batu kerikil.

 

Sumber : Jayawerdana, et. al (eds), 1997

 

Penggunaan Tanah di DAS Asahan

                Penggunaan tanah di DAS Asahan dapat dilihat pada peta penggunaan tanah di bawah. Pada peta terlihat bahwa mayoritas penggunaan tanah di DAS Asahan terdiri dari badan air (Danau Toba), perkebunan (forest plantation), dan lahan pertanian sawah. Secara geografis, badan air yang berupa Danau Toba berada di hulu DAS Asahan yang sekaligus menjadi sumber air Sungai Asahan. Di tengah badan air terdapat Pulau Samosir yang menjadi pusat permukiman serta dimanfaatkan untuk perkebunan dan pertanian tanah kering. Di bagian tengah penggunaan tanah berupa sebagian hutan dan juga perkebunan. Di bagian hilir, karena merupakan daerah datar dimanfaatkan untuk lahan pertanian sawah.  

 

                Sumber : Jayawerdana, et. al (eds), 1997

 

 

KEADAAN SOSIAL EKONOMI

Kepadatan Pendududk

           

            Sumber : Sanudin dan Antoko, 2007

 

Kepadatan penduduk  dalam suatu kajian pengelolaan DAS dapat digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh dari kepadatan penduduk terhadap penggunaan tanah yang ada di DAS Asahan. Dari Tabel 1 diketahui bahwa rata-rata kepadatan penduduk di DAS Asahan adalah 732,25 orang/km2, dimana nilai ini menurut kriteria FAO (1985) termasuk kategori padat karena > 250 orang/km2. Kabupaten yang mempunyai kepadatan penduduk tertinggi adalah Tanjung Balai dengan jumlah penduduk 149.238 orang dalam luas wilayah 60,52 km2. ArtinyaTanjung Balai mempunyai kepadatan penduduk 2.466 orang dalam setiap km2. Sedangkan kepadatan penduduk terendah berada di Kabupaten Toba Samosir dengan jumlah 68 jiwa /km2.

 

Struktur Ekonomi

Sumber : Sanudin dan Antoko, 2007

               

Tabel di atas menggambarkan PDRB (pendapatan Daerah Regional Bruto) yang terdapat di DAS Asahan menurut lapangan usahanya. Dari tabel tersebut terlihat kecenderungan kegiatan ekonomi yang dominan di DAS Asahan. Sektor yang dilihat yaitu sektor pertanian dan industri. Untuk sektor pertanian PDRB tertinggi berada di Kabupaten Toba Samosir dan Simalungun sedangkan untuk sektor industri didominasi oleh Kabupaten Asahan dan Tanjung Balai. Dari gambaran PDRB keempat kabupaten tersebut di atas maka kegiatan dominan ekonomi di hulu dan hilir DAS Asahan dapat dibedakan. Kabupaten yang terdapat di daerah hulu DAS Asahan yaitu Kabupaten Toba Samosir dan Simalungun sedangkan yang berada di bagian hilir yaitu Kabupaten Asahan dan Tanjung Balai.

Biasanya kegiatan utama ekonomi di hulu yaitu dominasinya di kegiatan pertanian sedangkan di bagian hilirnya adalah kegiatan industri. Namun, di DAS Asahan ini cukup menarik dimana Kabupaten Toba Samosir yang berada di hulu sektor dominannya yaitu kegiatan industri. Bahkan dengan nilai yang besar yaitu 4.468.664. Dominannya kegiatan industri di Kabupaten Toba Samosir ini bisa dikarenakan terdapatnya industri kertas PT Toba Pulp Lestari yang memiliki jangkauan pasar nasional hingga internasional. keberadaan industri kertas ini akan menyerap lapangan pekerjaan yang besar sehingga kegiatan ekonomi dominan di kabupaten ini adalah kegiatan industri. Kabupaten lainnya yang berada di daerah hulu yaitu Kabupaten Simalungun. Berbeda dengan Kabupaten Toba Samosir yang memiliki sektor dominan industri, kabupaten Simalungun sektor dominannya yaitu sektor pertanian. Hal ini bisa dilihat dari PDRB nya yang mencapai 2.928.657.

Di bagian hilir, sektor dominannya terbagi menajdi dua yaitu sektor dominan industri di Kabupaten Asahan dan sektor dominan pertanian di Kabupaten Tanjung Balai. Kabupaten Asahan memiliki sektor dominan industri. Hal ini dikarenakan banyaknya kontribusi dari sektor industri yang berada di Kabupaten Asahan. Di Kabupaten Tanjung Balai memiliki sektor dominan pertanian. Menurut Sanudin dan Antoko (2007) dominannya sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Balai ini dikarenakan kegiatan perikanan yang cukup dominan. Hal ini masuk dalam kategori pertanian, sehingga memberikan nilai yang cukup tinggi pada PDRB sektor pertaniannya.

 

Pendapatan Masyarakat

Sumber : Sanudin dan Antoko, 2007

 

            Pendapatan masyarakat dapat dijadikan sebagai indikatopr dalam perencanaan pembangunan. Tabel di atas memperlihatkan pendapatan masyarakat yang ada di DAS Asahan menurut kabupatennya. Rata-rata pendapatan per tahunnya berada di Kabupaetn Asahan dengan jumlah Rp. 14.341.044 per tahun sedangkan yang terendah terdapat di Kabupaten Simalungun dengan nilai Rp. 6.888.854 per tahun. Nilai rata-rata pendapatan masyarakat tersebut bergantung dari PDRB yang dihasilkan serta jumlah penduduk yang ada di kabupaten masing-masing.

 

 

DAFTAR BACAAN

 

 

Jayawardena, A. W,  K. Takeuchi, dan B. Machbub (eds). River Catalogue.  Volume II, December 1997, sumber : http://flood.dpri.kyoto-u.ac.jp/ihp_rsc/riverCatalogue/Vol_02/index.html, akses : 20 November 2009 pukul 10.00 WIB.

 

Sandy, I Made. 1996. Geografi Regional Republik Indonesia. Cetakan 3. Jakarta : PT Indograph Bakti.

 

Sanudin dan B. S. Antoko. 2007. Kajian Sosial Ekonomi Masyarakat di DAS Asahan, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 4 No. 4 Desember 2007, Hal. 355 – 367.

 

http://www.bakosurtanal.go.id/?m=30&p=10&view=367

 

 

============================

 

KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) SERAYU PROVINSI JAWA TENGAH BERDASARKAN KONDISI FISIK, SOSIAL SERTA EKONOMI

 

Dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Dosen : Dr. Ir. Tarsoen Waryono, M. Sc

Mahasiswa: Ahmad Munir, 0706265150

 

DEPARTEMEN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA

TAHUN 2009

DEPOK


DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) SUNGAI SERAYU

PROVINSI JAWA TENGAH

 

A.    GAMBARAN UMUM

Sungai Serayu merupakan salah satu sungai terbesar di Pulau Jawa terletak di bagian tengah pulau. Sungai Serayu melintasi beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang melalui Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap. Sungai Serayu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada wilayah Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap. Daerah Aliran Sungai Serayu pada saat ini telah mengalami kerusakan dan pencemaran lingkungan  yang mengakibatkan menurunnya kualitas Air Sungai Serayu.

Daerah tangkapan sungai tersebut sebesar 4375 km2 dan sungai utama memiliki panjang 180 km dengan 11 anak sungainya. Sungai  berasal dari lereng barat laut Gunung Prahu dan mengalir keluar ke Samudera Hindia. Sedangkan kompleks Gunung Slamet terletak di tengah-tengah daearh aliran sungai. Beberapa pegunungan, termasuk Sumbing dan Sundoro di sebelah timur, Walirang di utara, dan serangkaian perbukitan rendah di sepanjang bagian selatan mengelilingi  daerah aliran sungai serayu yang merupakan rangkaian pegunungan selatan.

Iklim monsun tropis dominan atas daerah aliran sungai dan lebih dicirikan oleh berbeda musim basah dan kering. Rata-rata curah hujan tahunan di dalam DAS mencapai sekitar 4 000 mm dan rata-rata tahunan di Daerah Tangkapan Banjarnegara (704 km2) adalah 57,16 m3/s pada tahun 1995. Penduduk lembah Sungai Serayu adalah 3,5 juta pada tahun 1995. Para Sungai Serayu digunakan untuk irigasi, air minum, industri, listrik tenaga air, dan lain-lain. Beberapa bendungan,seperti Pangsar Sudirman Bendungan yang dibangun pada tahun 1983 (kapasitas 141 juta m3), Irrigáis Banjar Cahyana(mengairi 6
550 ha), Irigasi Tajum (mengairi 3 200 ha) dan Irigasi Pesanggrahan (mengairi 4 000 ha) telah dibangun.

Terletak di kaki bukit Pegunungan Serayu di tengah pulau Java, Wonosobo dikenal sebagai pintu gerbang ke Dataran Tinggi Dieng tempat tertua di Jawa Terletak kuil Hindu. Wonosobo adalah pohon kepala daerah aliran sungai utama di Propinsi Jawa Tengah: Serayu, Bogowonto dan Luk Ulo.

B.     KONDISI GEOGRAFIS DAS SERAYU

a.      Kondisi Umum Fisik Wilayah DAS

Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah membagi Sungai Serayu dalam 16 (enambelas) segmen sungai, yang terdiri dari:

1.      Segmen I adalah badan air Sungai Serayu dimulai dari daerah hulu pada km 181, yaitu Mata Air Tuk Bima Lukar Desa Dieng Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo pada koordinat 7o12’16” LS dan 109o54’47,4” BT sampai dengan km 168, yaitu Telaga Menjer, Desa Tlogo Kecamatan Garung Kabupaten Wonosobo pada koordinat 7o16’21,9” LS dan 109o55’29,9” BT;

2.      Segmen II adalah badan air Sungai Serayu yang dimulai dari km 168, yaitu Telaga Menjer, Desa Tlogo Kecamatan Garung Kabupaten Wonosobo pada koordinat 7o16’21,9” LS dan 109o55’29,9” BT sampai dengan km 149, yaitu Desa Pekuncen Kecamatan Selomerto Kabupaten Wonosobo pada koordinat 7o16’21,9” LS dan 109o55’29,9” BT;

3.      Segmen III adalah badan air Sungai Serayu, dimulai dari km 149, yaitu dari Desa Pekuncen Kecamatan Selomerto Kabupaten Wonosobo pada koordinat 7o16’21,9” LS dan 109o55’29,9” BT sampai dengan km 144, yaitu Desa Sojokerto Kecamatan Leksono Kabupaten Wonosobo pada koordinat 7o24’14” LS dan 109o52’49,4” BT;

4.      Segmen IV adalah badan air Sungai Serayu yang dimulai km 144, yaitu Desa Sojokerto Kecamatan Leksono Kabupaten Wonosobo pada koordinat 7o24’14” LS dan 109o52’49,4” BT sampai dengan km 137, yaitu Desa Bojanegara Kecamatan Sigaluh Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o24’49,9” LS dan 109o48’36” BT;


 

5.      Segmen V, adalah badan air Sungai Serayu yang dimulai dari km 137, yaitu Desa Bojanegara Kecamatan Sigaluh Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o24’49,9” LS dan 109o48’36” BT sampai dengan km 122, yaitu Desa Rejasa  Kecamatan Madukoro Kabupaten Banjarnegara pada  koordinat 7o23’16,9” LS dan 109o41’38,1” BT  ;

6.      Segmen VI, adalah badan air Sungai Serayu, dimulai dari km 122 yaitu Desa Rejasa Kecamatan Madukoro Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o23’16,9” LS dan 109o41’38,1” BT  sampai dengan km 177, yaitu  Desa Pucang Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o23’28,3” LS dan 109o40’2,2” BT ;

7.      Segmen VII, adalah badan air Sungai Serayu, dimulai dari km 117 yaitu Desa Pucang Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o23’28,3” LS dan 109o40’2,2” BT sampai dengan km 107 , yaitu  Desa Tapen Kecamatan Wanadadi Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o24’4,9” LS dan 109o35’51,1” BT ;

8.      Segmen VIII adalah badan air Sungai Serayu, dimulai dari km 107, yaitu Desa Tapen Kecamatan Wanadadi Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o24’4,9” LS dan 109o35’51,1” BT sampai dengan km 98, yaitu  Desa Purwonegoro Kecamatan Purwanegara Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o28’48,1” LS dan 109o33’26,7” BT ;

9.      Segmen IX, adalah badan air Sungai Serayu yang dimulai dari km 98, yaitu Desa Purwonegoro Kecamatan Purwonegoro Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o28’48,1” LS dan 109o33’26,7” BT  sampai dengan km 91, yaitu Desa Gelang Kecamatan Rakit Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o26’48,4” LS dan 109o31’23,2” BT ;

10.  Segmen X, adalah badan air Sungai Serayu dimulai dari km 91, yaitu Desa Gelang Kecamatan Rakit Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o26’48,4” LS dan 109o31’23,2” BT sampai dengan km 73, yaitu  Desa Purwareja Kecamatan Purworejo Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o27’51” LS dan 109o25’11” BT ;

11.  Segmen XI, adalah badan air Sungai Serayu yang dimulai dari km 73, yaitu Desa Purwareja Kecamatan Purworejo Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o27’51” LS dan 109o25’11” BT sampai dengan km 60, yaitu Desa Kemranggon Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o28’38,8” LS dan 109o23’13,6” BT ;

12.  Segmen XII, adalah badan air Sungai Serayu dimulai dari km 60, yaitu Desa Kemranggon Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara pada koordinat 7o28’38,8” LS dan 109o23’13,6” BT sampai dengan km 42, yaitu Desa Wlahar Kulon Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas pada koordinat 7o30’31,1” LS dan 109o17’47,3” BT ;

13.  Segmen XIII, adalah badan air Sungai Serayu dimulai dari km 42, yaitu Desa Wlahar Kulon Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas pada koordinat 7o30’31,1” LS dan 109o17’47,3” BT sampai dengan km 37 Desa Mandirancan Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas pada koordinat 7o29’28,3” LS dan 109o13’27,3” BT ;

14.  Segmen XIV, adalah badan air Sungai Serayu dimulai dari km 37, yaitu Desa Mandirancan Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas pada koordinat 7o29’28,3” LS dan 109o13’27,3” BT sampai dengan km 27, yaitu  Desa Rawalo Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas pada koordinat 7o32’51” LS dan 109o10’09” BT ;

15.  Segmen XV, adalah badan air Sungai Serayu dimulai dari km 27, yaitu Desa Rawalo Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas pada koordinat 7o32’51” LS dan 109o10’09” BT sampai dengan  km 19 Desa Losari Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas pada koordinat 7o34’42,5” LS dan 109o8’53,4” BT ;

16.  Segmen XVI, adalah badan air Sungai Serayu dimulai dari km 19, yaitu Desa Losari Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas pada koordinat 7o34’42,5” LS dan 109o8’53,4” BT sampai dengan km 0, yaitu  muara Sungai Serayu Kec. Adipala, Kab. Cilacap pada koordinat 7o40’45,2” LS dan 109o6’49,5” BT.

 

 

 

Tabel Kondisi Fisik Das Sungai serayu

DAS

Luas Drainase KM2

Lithologi dalam %

Penggunaan Tanah dalam %

Ton/Km2

Deposit volcanic dan fluvial muda

Vulkanik tua

Formasi merawu

Hutan

Pengolahan Lahan Kering

Sawah

Th. 1907

1907

1974

Serayu di Sojokerto

331

87

13

-

>30

18

<52

18

5700 (M)

Serayu di Jenggawur

712

13

82.5

4.5

23

8

73

4

8000 (M)

Merawu

198

56

22

21

39

22

55

6

14100 (M)

13900 (S)

Pekacangan di Liangan

134

28

49

33

53

37

33

14

24600 (M)

Pekacangan di Penaruban

229

51

49

20

30

22

56

14

6100 (M)

Serayu di Mrica

940

-

-

-

-

-

-

-

6800 (S)

Tadjum

260

48

-

52

-

-

-

-

750-1000 (R

M; Mohr

 

b.      Kondisi Geologi

Kondisi geologi yang dijumpai pada jalur Pegunungan Serayu Utara, yaitu pada lereng bagian selatan dari Gunung Api Rogojembangan, Dieng dan Gunung Sundoro, serta terletak pada bagian utara dari aliran Sungai Serayu yang mengalir dari Timur ke arah Barat. Tidak semua formasi batuan Tersier yang tersingkap di daerah penyelidikan, sehingga akan mempunyai kenampakan dan ciri khusus mengenai morfologi, stratigrafi dan keadaan struktur di daeah tersebut.

Formasi batuan tertua yang tersingkap di daerah penyelidikan adalah Formasi Totogan, berumur Oligosen, yang diendapkan selaras di atas endapan batugamping terumbu. Batuan dari Formasi Totogan terdiri dari : Breksi, batulempung, napal, batupasir, konglomerat dan tufa. Bagian bawah satuan ini terdiri dari perselingan tak teratur dari breksi aneka bahan, batulempung dan konglomerat berkomponen basal yang terpilah buruk. Tebal satuan ini diperkirakan sekitar 150 meter dan menipis ke arah Selatan, yang diendapkan dalam lingkungan batial atas dan merupakan endapan olistostrom.

Formasi Rambatan, berumur Miosen Awal sampai Tengah, diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Totogan, terdiri dari satuan batuan serpih, napal dan batupasir gampingan mengandung foraminifera kecil, tebal formasi ini diperkirakan lebih dari 370 meter dan diendapkan dalam lingkungan laut terbuka. Pada Formasi Rambatan terdapat Anggota Sigugur yang berupa endapan batugamping terumbu, mengandung foraminifera besar dan mempunyai ketebalan beberapa ratus meter. Di atas formasi ini diendapkan secara selaras satuan batuan dari Formasi Halang dan Formasi Kumbang.

Formasi Halang, berumur Miosen Tengah sampai Pliosen Awal, terdiri dari satuan batupasir tufaan, konglomerat, napal dan batulempung yang mengandung fosil Globigerina dan foraminifera kecil, bagian bawah berupa batuan breksi andesit. Tebal formasi ini bervariasi dari 200 meter sampai 500 meter dan menipis ke arah Timur. Formasi ini diendapkan sebagai endapan turbidit dalam lingkungan batial atas dan diendapkan menjemari dengan satuan batuan Formsi Kumbang.

Formasi Kumbang, berumur Miosen Tengah sampai Pliosen Awal, terdiri dari dari satuan batuan lava andesit yang mengaca, basal, breksi, tufa dan sisipan napal yang

 

mengandung fosil Globigerina, diendapkan dalam lingkungan laut dan diendapkan menjemari dengan satuan batuan Formasi Halang. Ketebalan formasi ini sekitar 2000 meter yang menipis ke arah Timur. Di atas formasi ini diendapkan Formasi Tapak.

Formasi Tapak, berumur Pliosen, diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Kumbang dan menjemari dengan Formasi Kalibiuk, terdiri dari satuan batupasir gampingan dan napal berwarna hijau mengandung pecahan molusca. Pada formasi ini terdapat Anggota Batugamping dari batugamping terumbu yang mengandung koral dan foraminifera besar, napal dan batupasir yang mengandung molusca. Selain itu terdapat juga Anggota Breksi yang terdiri dari breksi gunung api yang bersusunan andesit dan batupasir tufaan yang sebagian mengandung sisa tumbuhan. Ketebalan formasi ini sekitar 500 meter, yang diendapkan dalam lingkungan peralihan sampai laut.

Formasi Kalibiuk, berumur Pliosen, diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Kumbang dan menjemari dengan Anggota Breksi Formasi Tapak, terdiri dari satuan batuan napal dan batulempung, bersisipan tipis tufa pasiran. Napal dan batulempung berwarna abu-abu kebiruan, kaya fosil molusca. Tebal Formasi Kalibiuk diperkirakan sampai 3000 meter yang diendapkan dalam lingkungan pasang surut. Di atas formasi ini diendapkan satuan batuan dari Formasi Ligung.

Anggota Breksi Formasi Ligung, berumur Plistosen, diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Kalibiuk, terdiri dari satuan batuan breksi gunung api (aglomerat) yang bersusunan andesit, lava andesit hornblenda dan tufa. Di atas Formasi Ligung diendapkan endapan undak sungai berupa pasir, lanau, tufa, konglomerat dan breksi tufaan yang tersebar di sepanjang lembah Sungai Serayu.

Batuan Gunung api Jembangan, berumur Plistosen, diendapkan bersamaan dengan endapan undak sungai, terdiri dari satuan batuan lava andesit hiperstein-augit, klastika gunung api, lahar dan aluvium. Batuan Gunung api Dieng, berumur Plistosen, diendapkan di atas Batuan Gunung api Jembangan, terdiri dari satuan batuan lava andesit dan andesit-kuarsa serta batuan klastika gunung api, yang kemudian diatasnya diendapkan endapan aluvial. Endapan aluvial, berumur Holosen, berupa endapan pasir, kerikil, lanau, lempung serta endapan sungai dan rawa, yang diendapkan tidak selaras di atas satuan batuan yang berada di bawahnya.

Di kawasan DAS, selain endapan batuan sedimen, terdapat juga batuan terobosan yang berkomposisi diorit, yang terjadi pada Kala Miosen dan Pliosen serta menembus sebaran endapan dari Formasi Rambatan dan Formasi Tapak.

Berdasarkan geologi tektonik DAS Serayu terletak diantara jalur pegunungan Serayu Utara dan Serayu Selatan, yaitu pada Zona intramontain, yang mana terdapat sekitar empat buah patahan naik dan beberapa patahan normal yang membuat adanya block faulting di daerah tersebut, diperkirakan terjadi adanya kegiatan tektonik sekitar Mio-Pliosen yang dibarengi dengan munculnya batuan intrusi, sehingga banyak dijumpai kemiringan lapisan batuan hingga 700. Patahan naik dan patahan normal tersebut memotong di tengah DAS Serayu yang berarah Tenggara-Baratlaut, yaitu berkisar dari N 2850 E Sampai N 3150 E. Selain itu terdapat juga patahan geser atau mendatar yang berarah hampir arah Utara-Selatan, umumnya banyak terdapat pada bagian Tenggara dan bagian Baratlaut daerah penyelidikan, yang mengakibatkan adanya pergeseran dari sebaran Formasi Rambatan, Tapak dan Formasi Ligung. Selain itu juga mengakibatkan adanya pergeseran dan overlaping dari patahan-patahan naik dan patahan normal, yang diperkirakan terjadi akibat kegiatan tektonik disekitar Plio-Pleistosen. Struktur lipatan tidak dijumpai di daerah tersebut, umumnya banyak dijumpai lapisan batuan yang homoklin, miring ke arah Timurlaut.

Pada umumnya lapisan batubara terdapat dalam endapan batuan serpih, dan berasosiasi dengan endapan batugamping terumbu dalam lingkungan laut dangkal atau lagoon. Mengingat bahwasanya pada Formasi Rambatan yang tersebar cukup luas di daerah penyelidikan, yang terdiri dari endapan batuan serpih dan batupasir gampingan, serta di beberapa tempat terdapat endapan batugamping yang diendapkan dalam lingkungan laut terbuka, maka di harapkan dapat ditemukan adanya batubara yang terkandung di dalam batuan serpih tersebut.

Di daerah Wangon, Kabupaten Banyumas, terdapat rembasan minyak pada lapisan batupasir Formasi Halang, yang diperkirakan batuan sumber (source rock) yang mengandung minyak tersebut berasal dari formasi batuan yang berada di bagian bawahnya, sedangkan posisi Formasi Rambatan persis berada dibawah Formasi Halang, maka diharapkan Formasi Rambatan tersebut mengandung batubara.

c.       Kondisi Geomorfologi

Satuan morfologi dataran, umumnya terdapat pada bagian selatan, yang menempati sekitar 15% daerah penyelidikan, menyebar memanjang hampir berarah Timur-Barat, yaitu disekitar bantaran aliran Sungai Serayu, yang tediri dari endapan aluvial dan undak sungai, umumnya merupakan lahan persawahan dan tempat pemukiman penduduk. Mempunyai rata-rata ketinggian sekitar 100 sampai 500 meter dari permukaan laut.

Satuan morfologi perbukitan bergelombang sedang, umumnya terdapat pada bagian tengah yang menyebar memanjang hampir berarah Timur-Barat, menempati sekitar 40% daerah penyelidikan, terletak di sekitar tekuk lereng kaki gunung, terdiri dari endapan batuan sedimen dan sebagian endapan batuan gunung api, umumnya berupa lahan perkebunan dan sedikit persawahan serta pemukiman penduduk. Mempunyai rata-rata ketinggian sekitar 500 sampai 1000 meter dari permukaan laut.

Satuan morfologi perbukitan terjal, umumnya terdapat pada bagian utara dan tengah yang menyebar tidak merata, menempati sekitar 45% daerah penyelidikan, terletak di sekitar lereng gunung, terdiri dari batuan gunung api, batuan terobosan dan endapan batugamping serta batupasir, umumnya berupa hutan, baik hutan industri, hutan lindung dan hutan konservasi, tidak ditempati penduduk, mempunai rata-rata ketinggian diatas 1000 meter dari permukaan laut.

Berdasarkan bentuk bentang alam dan penyebaran geografis, wilayah ini dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

Kondisi Geomorfologi Daerah Aliran Sungai di Bagian Hulu

1.      Bagian Utara

Merupakan daerah pegunungan dengan relief bergelombang dan curam, bagian ini meliputi kecamatan, yaitu: Kalibening, Pandanarum, Wanayasa, Karangkobar, Pagentan, Pejawaran, Batur, Madukara dan Banjarmangu. Lebih dari 30% dari daerah ini pada kemiringan 40 derajat atau lebih, dengan ketinggian antara 270-3,250 masl dan hujan 2,000-3,000 mm per tahun. Dengan lereng-lereng curam tanah ini terkunci kabupaten Wonosobo dapat dianggap sebagai lingkungan area kritis untuk erosi dan tanah longsor.

2.      Bagian Tengah

Merupakan daerah yang relative datar, merupakan lembah sungai Serayu yang subur, bagian wilayah ini meliputi kecamatan: Banjarnegara (sebagian), Madukara, Bawang, Purwanegara, Mandiraja, Purwareja Klampok, sebagian Kecamatan Susukan, Rakit, Wanadadi dan Banjarmangu.

3.      Bagian Selatan

Merupakan daerah pegunungan yang berrelif curam, bagian ini meliputi kecamatan: Sigaluh, sebagian Kecamatan Banjarnegara, Pagedongan, Bawang, Mandiraja dan sebagian Kecamatan Susukan. ada sekitar 20.000 ha lahan kering dikelol dikelola SE sebagai hutan masyarakat lokal.


LAMPIRAN DATA KLIMATOLOGIS

d.      Rata-rata suhu di wilayah DAS Serayu

e.       Curah Hujan

f.       Peta Persebaran Station Pengamatan

g.      Perbedaan Ketinggian dan jarak


C.    KONDISI HIDROLOGIS

Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu di bagian tengah merupakan daerah yang relative datar, merupakan lembah yang subur, bagian wilayah ini meliputi kecamatan: Banjarnegara (sebagian), Madukara, Bawang, Purwanegara, Mandiraja, Purwareja Klampok, sebagian Kecamatan Susukan, Rakit, Wanadadi dan Banjarmangu.


D.    SOSIAL & EKONOMI

a.      Kondisi Sosial Kependudukan

Penduduk telah berkembang dengan pesat (733.000 jiwa pada tahun 2001) mewakili 3% dari Jawa Tengah Provinsi.

b.      Kondisi Ekonomi Kawasan Daerah Aliran Sungai

Komoditas unggulan wilayah DAS Sungai Serayu di daerah Banjarnegara ada beberapa komoditas yang selama ini telah berkembang yang pantas menjadi komoditas unggulan, meliputi:

o       Pertanian : kentang, salak dan teh

o       Industri : keramik,

o       Pariwisata: obyek wisata Dataran Tingi Dieng.

 

Disamping itu juga terhadap komoditas andalan meliputi :

·         Komoditas tanaman pangan :padi,palawija (jagung dan ketela pohon), buah-buahan (durian)

·         Komoditas Perkebunan :kelapa, kayu (albasia), tanaman rempah-rempah.

·         Komoditas Perikanan :ikan gurami dan lele

·         Komoditas Peternakan :sapi dan kambing.Debit Air Serayu digunakan untuk mengoperasikan PLTA Mrica

 

c.       Fungsi Ekologi dan Pertanian

Hutan negara Wonosobo mencakup lebih dari 19,2% dari total lahan. Ada dua hutan unit manajemen Perhutani (Kehutanan milik negara Perusahaan) yaitu Kedu Selatan dan Kedu Utara. UPH Kedu Selatan meliputi 8,934.72 ha, terbuat dari Agathis pinus dan perkebunan. Utara Kedu UPH meliputi wilayah 9,961.7 ha, ditutup dengan perkebunan pinus. Meskipun lansekap berbukit-bukit, sebagian besar merupakan kawasan hutan negara sebagai hutan produksi (67,96%), dengan hanya 31,59% melestarikan hutan, 0.27% konservasi hutan, dan 0,11% rekreasi hutan.

Erosi yang terjadi di hulu DAS Serayu di kecamatan kejajar kabupaten Wonosobo sangat parah. Kebanyakan bagian di kawasan Kejajar mengalami erosi lebih dari 500 ton / ha / tahun, bahkan mengalami erosi lokasi tertentu dengan volume mencapai 3.000-6.000 ton / ha / tahun. Kondisi ini disebabkan oleh orang-orang yang memotong pohon di kawasan hutan untuk mendapatkan tanah lebih subur untuk menanam sayuran. Mereka melakukannya tanpa izin pemerintah dan manajemen yang baik. (lihat gambar)

Gambar: Tingkat erosi yang tinggi di Hulu DAS Serayu, Tahun 2005


E.     DAFTAR PUSTAKA

A.J.Pannekoek, Outline of the Geomorphology offava. Leiden, 1949

H.Jenny, Factors of Soil Formation: A System of Quantitative Pedology., 1941

J.Gerrald, Soil Geomorphology: An Integration of Pedology and Geomorphology., 1992

J.Sartohadi, Prosiding Simposium Nasional Pencegahan Bencana Alum: Daerah Rawan Bencana Longsor dan Erosi di Daerah Istimewa Yogyakarta - Tinjauan Geomorfologi-Tanah., 2002

K.Mangunsukardjo, Inventarisasi Sumberdaya Lahan di Daerah Aliran Sungai Serayu dengan Tinjauan Secara Geomorfologi., 1984

M.Djuri, H. Samodra, T.C. Amin, S. Gafoer, Peta Geologi Lenzbar Purwokerto dan Tegal, Jawa., 1996

P.W.Birkeland, Soils and Geomorphology, 1984

S.Asikin, A. Handoyo, H. Busono, S. Gafoer, Peta Geologi Lembar Kebumen Jawa, 1992

S.W.Buol, F.D. Hole, R.J. McCracken, R.J. Southard, Soil Genesis and Classifiea lion., 1997

Tim Fakultas Geografi UGM, Penyusunan Rencana Induk (Grand Design) Pengelolaan Lingkungan Hidup DAS Serayu Propinsi Jawa Tengah, 2003

http://www.blh.jawatengah.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=44&Itemid=49

http://www.trisanita.org/asespaper2008/ases03v3n1y2008.pdf

http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment/clips/2006-08-02-004-0004-005-06-0923.pdf

 

F.     LAMPIRAN

Tabel Informasi tentang situs stasiun mengukur digunakan dalam studi hidrologi.


===========================


makara1.JPGYuniar Kurnia Putri
0606071935
Tugas Pengelolaan DAS
 
DAERAH ALIRAN SUNGAI GRINDULU (Pacitan, Jawa Timur)
 
 
1.     Gambaran Umum
 
Das Grindulu terdapat di 3 Kabupaten, dengan daerah dominan berada di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Berikkut adalah batas-batas Das Grindulu, di sebelah Barat dibatasi oleh Kabupaten Ponorogo, di sebelah Timur dibatasi Kabupaten Trenggalek dan di sebelah Selatan dibatasi oleh lautan Indonesia.
Tabel
 
Kondisi lahan sebagian besar berbukit dan bergunung dengan kemiringan sangat curam (>65%), di daerah atas (hulu) sebagian besar terdiri dari batuan metamorf dengan tanah Entisol, sedangkan di daerah hilir sebagian berbatuan sedimen kapur dengan bentuk lahan didominasi oleh dataran dan deposit Alluvial-Colluvial. Di daerah tengah memiliki batuaan beku yang terdiri dari claystone sampai sandstone, dengan tanah Inceptisol dan Ultisols dengan bentuk lahan yang didominasi bentuk Alluvial dan piedmont plan. Kondisi bangunan konservasi tabah sampai kemiringan lebih dari 45% masih dibangun oleh teras bangku dan gulud dengan tingkat kualitas sedang, sehingga bidang olah sangat sempit. Jenis tanah yang dapat ditemui di DAS Grindulu mempunyai kemasaman tanah antara 6 (agak masam) sampai mendekati 7 (netral).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.       Pola Drainase DAS Grindulu
 
Gambar 
Gambar 
Tabel tersebut menyajikan bahwa kondisi kelas drainase di DAS Grindulu sebagian besar lambat (35,1%) atau seluas 22.990 ha, sebaliknya pada kelas kategori nilai rendah hanya sedikit yaitu 0,2% atau seluas 110 ha. Keadaan drainase tanah yang mayoritas masuk dalam kategori sedang sampai tinggi, menyebabkan lahan di Das Grindulu berpotensi terjadinya erosi.
 
3.       Lereng
 
 
Gambar 
 
            Tabel tersebut menunjukkan distribusi sebaran kelas kemiringan lereng di dominasi kelas tinggi (36%) dan rendah (34,9%). Pada lahan dengan kelas kemiringan yang lebih dari 45% di DAS Grindulu seluas 23.610 ha, ini berpotensi terjadinya erosi berat. Terlebih lagi jika tidak ada tanaman penutup lahan yang memadai atau tindakan konservasi lainnya, maka akan mudah terjadinya erosi.
 
4.     Tekstur Tanah
 
Gambar 
 
Tabel menunjukkan bahwa dari kelas tekstur tanah terdapat keterkaitan dengan kerawanan terhadap erosi. Dominasi yang terdapat pada DAS Grindulu adalah kelas sedang (35,1%) atau seluas 22.9990 ha. Selanjutnya pada kategori rendah dan agak rendah seimbang dengan kelas agak tinggi dan tinggi, sehingga tidak mengherankan jika di DAS Grindulu beberapa daerah terjadi erosi berat (longsor, landslide dan erosi jurang).
 
5.       Penutupan Lahan
 
Gambar 
 
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa prosentase tertinggi pada lahan pekarangan dan semak belukar (37,6%) atau seluas 24.160 ha, sehingga secara keseluruhan kondisi DAS Grindulu relatif tertutup dan pada tingkat resiko erosi pada kelas kategori nilai sedang. Kondisi kelas penutupan lahan yang banyak di dominasi kelas rendah, agak rendah dan sedang mengindikasikan bahwa dari segi penutupan lahan maka DAS Grindulu rtelatif aman dari pengaruh erosi yang berat.
 
====================


Tugas Pengelolaan DAS
Nama : Chintia Dewi
NPM : 0606071273
 
Wilayah Aliran Kali Brantas
 
Gambaran Umum
Wilayah Sungai Brantas merupakan wilayah sungai strategis nasional dan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat berdasarkan Permen PU No. 11A Tahun 2006. Luas WS Kali Brantas adalah 14.103 km2 melintasi 15 Kab/Kota, terdiri dari 4 DAS yaitu:
1. DAS Kali Brantas seluas 11.988 km2, terdiri dari 6 Sub DAS, 32 Basin Block;
2. DAS Tengah seluas 596 km2, terdiri dari Kali Ngampo, Kali Tengah, danKali Tumpak Nongko;
3. DAS Ringin Bandulan seluas 595 km2, terdiri dari Kali Klathak, Kali Kedungbanteng, Kali Ngrejo, dan Kali Sidorejo;
4. DAS Kondang Merak seluas 924 km2, terdiri dari Kali Glidik dan Kali
 
Berikut adalah daftar bendungan besar di WS Brantas
Bendungan Wonorejo
Bendungan Wlingi
Bendungan Selore
Bendungan Karangkates/Sutami
 
Kali Brantas
Kali Brantas (sekitar 320 km) adalah sebuah sungai di Jawa Timur yang merupakan sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo. DAS Kali Brantas seluas 11.988 km2, terdiri dari 6 Sub DAS, 32 Basin Block.
Kali Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas (Kota Batu), lalu mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto. Di Kabupaten Mojokerto sungai ini bercabang dua manjadi Kali Mas (ke arah Surabaya) dan Kali Porong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo). Sungai ini yang diduga kuat disebut sebagai Ci Ronabaya dalam naskah Bujangga Manik.
Kali Brantas memiliki fungsi yang sangat penting bagi Jawa Timur mengingat 60% produksi padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran sungai ini. Akibat pendangkalan dan debit air yang terus menurun sungai ini tidak bisa dilayari lagi. Fungsinya kini beralih sebagai irigasi dan bahan baku air minum bagi sejumlah kota disepanjang alirannya. Adanya beberapa gunung berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini. Hal ini menyebabkan tingkat sedimentasi bendungan-bendungan yang ada di aliran sungai ini sangat tinggi.
a. Topografi
Wilayah aliran Kali Brantas berada di 0-500m yang meliputi hampir 83% dari luas wilayah Jawa Timur. Curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun dengan total potensi air permukaan sebesar 373,64 m3/detik atau 11.783,2 juta m3/tahun.
b. Geologi
Jenis batuan yang tersebar di wilayah aliran Kali Brantas adalah batuan alluvium. Batuan ini sekitar 44,5% dari luas wilayah darat. Hal ini mengakibatkan wilayah ini menjadi wilayah yang subur.
c. Sosial Ekonomi
Permasalahan
1. Penurunan dasar sungai Kali Brantas mulai dari Ploso sampai Mojokerto serta di Kali Porong yang disebabkan penggalian pasir secara liar.
2. Kerusakan prasarana pengairan yang disebabkan antara lain oleh penggalian pasir secara liar.
3. Sedimentasi waduk yang diakibatkan kerusakan pada daerah tangkapan hujan oleh perambahan hutan, penebangan lindungan dan pola pertanian yang tidak sesuai.
4. Pencemaran air akibat pembuangan limbah yang melampaui daya dukung.
5. Pemukiman penduduk di daerah sempadan
Batas administrasi WS Kali Brantas meliputi 9 Kabupaten dan 6 Kota atau sebesar 26,5% dari wilayah Prop. Jatim
 
Jumlah penduduk
WS Kali Brantas tahun 2005 adalah sebesar 15.884.000 jiwa (43% Jawa Timur), dengan pertumbuhan rata-rata 0,99 % dan kepadatan 1.272 jiwa/km2

Potensi Sumber Daya Air di Hutan Lindung Hulu DAS Brantas
Hutan lindung di wilayah KPH Malang ini berada pada ketinggian 1100 dpl, saat ini sebagian kawasan hutan lindung berubah fungsi menjadi kawasan Tahura R Soeryo yang merupakan salah satu hulu DAS Brantas. Hasil wawancara dengan tokoh
masyarakat desa Tulung Rejo yang sudah cukup lama bermukim bahwa sumber mata air yang ada di kawasan hutan lindung sebanyak 69 titik dimana 43 titik belum dimanfaatkan dan ada 16 titik berada pada petak-petak yang berbeda dan dibawah pengawasan RPH Punten, volume air setiap titik berbeda-beda dengan kisaran antara 6 sampai 85 liter / detik. Setiap bulan tokoh tersebut memperoleh insentif dari perusahaan pemakai air antara lain usaha peternakan dan perkebunan sebesar Rp 450 000 sebagai imbalan jasa telah menemukan titik sumber mata air. Lokasi sumber mata air yang terdekat berjarak 2,5 km yaitu Sumber Rejeki / Watu Pecah dan yang terjauh ± 30 km adalah Sumber Singo dari pintu gerbang tempat persemaian RPH Punten. Pemanfaatan sumber mata air di kawasan ini meliputi 3 Kecamatan yaitu Kec Bumi Aji, Kec. Singosari dan Kec. Karang Ploso. dan 9 Desa yaitu Tulung Rejo, Sumber Gondo, Bulu Kerto, Punten, Supiturang, Burograyang, Giri runo, Gandon dan Morodadi. Awalnya pada tahun 1983 pemanfaatan air dari kawasan hutan untuk masyarakat dilakukan secara swadaya yang dikoordinir oleh tokoh masyarakat kemudian disalurkan dengan menggunakan bambu ke rumah-rumah penduduk secara bergotong royong. Selanjutnya pada awal tahun 1990 pemanfaatan air berkembang dengan sistim penyaluran air menggunakan pipa paralon 2- 5 inch, dimana untuk biaya pemasangan pipa setiap warga dipungut biaya Rp 50 000 bagi warga yang memelihara ternak dan Rp35 000 untuk warga biasa. Setiap bulan dipungut biaya untuk pemeliharaan saluran air (jika ada yang bocor ) sebesar Rp 3 500 / KK sedang untuk yang mempunyai ternak Rp 4000 termasuk untuk kas desa. Disamping swadaya ada juga masyarakat yang memanfaatkan air dari HL dengan membuat saluran air sendiri langsung dari sumbermata air dengan menggunakan bambu terutama bagi mereka yang mempunyai sebidanglahan perkebunan di sekitar pekarangan misalnya sayuran, apel.
Pengelolaan Sumber Daya Air DAS Brantas
 
            Pemanfaatan air permukaan bagi masyarakat umum dan lainnya (terutama yang berada di wilayah hilir) baik yang bersumber langsung dari HL maupun dari Kali Brantas dilakukan melalui prosedur dan proses perijinan berupa Surat Ijin Pemanfaatan Mata Air ( SIPMA ). Surat ijin diterbitkan melalui Keputusan Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi Jawa Timur Nomor 1 tahun 2003. Surat ijin pengambilan, pemanfaatan, pengambilan dan pemanfaatan air permukaan diterbitkan oleh Dinas PU dan Pengairan setelah ada Rekomendasi Teknis (Rekomtek) dari Kepala Balai Pengelolan Sumberdaya air Wilayah Sungai (BPSDAWS) setempat apabila sumbersumber air berada di bawah kewenangan Pemerintah Propinsi, dan Rekomendasi Teknis dari PERUM Jasa Tirta I apabila sumber air berada di wilayah kerja Perusahaan Umum Jasa Tirta.
Aturan lain yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya air adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No : 67/ PRT/ 1993 tentang Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I yang mengatur pembinaan tentang pemilikan, penguasaan, pengelolaan ,penggunaan, pengusahaan dan pengawasan atas air beserta sumbersumbernya termasuk kekayaan alam di dalamnya. Selanjutnya aturan ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No 59 tahun 1994 tentang Pembentukan Panitia Tata Pengaturan Air Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Tugas dan fungsi pokok dari Dinas Pekerjaan Umum dan Pengairan dituangkan dalam Perda Propinsi Jawa Timur No 23 tahun 2000. Pengelolaan sumber daya air melibatkan beberapa instansi dimana masing-masing mempunyai tugas pokok dan fungsi yang berbeda. Manajemen pengelolaan SDA dapat berjalan dengan baik apabila masing-masing instansi terkait melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun dalam monitoring dan evaluasi serta ada koordinasi yang baik diantara para stakeholder Tugas pokok dari masing-masing instansi yang terkait dalam pemanfaatan dan pengambilan air permukaan.
 
 

 

 

 

====================


Tugas : Pengelolaan DAS
Nama : Aulia Azhar Abdurachman
NPM   : 0606071222
______________________________________________________________________________
BAB I
PENDAHULUAN
Sungai Ciliwung, adalah sebuah sungai besar di Pulau Jawa. Wilayah yang dilintasi Ci Liwung adalah Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Jakarta.
Hulu sungai ini berada di dataran tinggi yang terletak di perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di Gunung Gede, Gunung Pangrango dan daerah Puncak. Setelah melewati bagian timur Kota Bogor, sungai ini mengalir ke utara, di sisi barat Jalan Raya Jakarta-Bogor, sisi timur Depok, dan memasuki wilayah Jakarta sebagai batas alami wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Di daerah Manggarai aliran Ci Liwung banyak dimanipulasi untuk mengendalikan banjir. Jalur aslinya mengalir melalui daerah Cikini, Gondangdia, hingga Gambir, namun setelah Pintu Air Istiqlal jalur lama tidak ditemukan lagi karena dibuat kanal-kanal, seperti di sisi barat Jalan Gunung Sahari dan Kanal Molenvliet di antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Veteran. Di Manggarai, dibuat Banjir Kanal Barat yang mengarah ke barat, lalu membelok ke utara melewati Tanah Abang, Tomang, Jembatan Lima, hingga ke Pluit.
Ci Liwung memiliki dampak yang paling luas ketika musim hujan karena ia mengalir melalui tengah kota Jakarta dan melintasi banyak perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman-pemukiman kumuh. Sungai ini juga dianggap sungai yang paling parah mengalami perusakan dibandingkan sungai-sungai lain yang mengalir di Jakarta. Selain karena daerah aliran sungai (DAS) di bagian hulu di Puncak dan Bogor yang rusak, DAS di Jakarta juga banyak mengalami penyempitan dan pendangkalan yang mengakibatkan potensi penyebab banjir di Jakarta menjadi besar .
 
BAB II
ISI MAKALAH
 
2.1 Kondisi Fisik Wilayah Ciliwung Bagian Hulu
Penentuan batas Wilayah Ciliwung Bagian Hulu didasarkan pada bentang alam dan administrasi seperti dijelaskan pada uraian berikut:
Luas DAS Ciliwung Bagian Hulu
Luas DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah 14.876 Ha terbagi kedalam 4 (empat) Sub DAS yaitu :
1. Sub DAS Ciesek seluas 2.452,78 Ha
2.
Sub DAS Hulu Ciliwung seluas 4.593,03 Ha
3. Sub DAS Cibogo Cisarua seluas 4.110,34 Ha
4. Sub DAS Ciseuseupan Cisukabirus seluas 3.719,85 Ha
Lihat Peta (DAS Ciliwung Bagian Hulu)
Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa DAS Ciliwung Bagian Hulu mempunyai curah hujan rata-rata sebesar 2929 – 4956 mm/ tahun. Perbedaan bulan basah dan kering sangat menyolok yaitu 10,9 Bulan basah per tahun dan hanya 0,6 Bulan kering per tahun. Tipe iklim DAS Ciliwung Bagian Hulu menurut ystem klasifikasi Smith dan Ferguson ( 1951) yang didasarkan pada besarnya curah hujan, yaitu Bulan Basah (> 200 mm ) dan Bulan Kering (< 100 mm ) adalah termasuk kedalam Type A.
2.1.1  Topografi dan Bentuk Wilayah
Berdasarkan bentuk topografinya, wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu bervariasi antara bentuk datar, landai, agak curam, curam sampai dengan sangat curam. Pembagian wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu berdasarkan topografi dan bentuk wilayah diklasifikasikan kedalam bentuk kelas lereng seperti dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Dengan melihat bahwa wilayah dengan kelerengan diatas 15 % dan 40 % (40,12%) sangat menyebar luas dan mendominasi wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu, maka kondisi tersebut mempunyai potensi erosi yang sangat besar sehingga dalam perlakuannya perlu memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah, baik vegetatif maupn teknik sipil.
2.1.1.A  Penggunaan Lahan
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa :
Penutupan lahan terbesar pada areal DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah berupa hutan seluas 5.075,49 Ha atau sekitar 34,13 % dari keseluruhan luas wilayah DAS.
Bentuk penutupan lahan lainnya di wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu berdasarkan hasil penafsiran dan survai lapangan seperti pada tabel dibawah ini.
Pada wilayah hutan lindung, penyebaran vegetasinya tidak merata, sehingga terdapat daerah gundul yang perlu segera direhabilitasi. Sekitar 30 % kawasan Hutan di DAS Ciliwung Bagian Hulu merupakan Hutan Produksi yang didominasi oleh jenis Pinus. Yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Selain hal tersebut dapat dijelaskan bahwa perubahan fungsi lahan yang terjadi terutama pada lahan budidaya pertanian dan budidaya non pertanian (berupa permukiman pedesaan) dengan hak kepemilikan perseorangan yang kemudian beralih fungsi menjadi lahan budidaya non pertanian berupa permukiman perkotaan atau lahan untuk pariwisata.
2.1.2 Geologi dan Geomorfologi
Jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Sub DAS Ciliwung Bagian Hulu meliputi jenis komplek Aluvial Kelabu, Andosol Coklat dan Regosol Coklat, Andosol Coklat, Latosol Coklat, Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat. Hal ini didasarkan atas Peta Tanah Tinjau untuk Kabupaten Bogor dan Kota Bogor skala 1 : 250.000 dari Pusat Penelitian Tanah Bogor. Dari jenis-jenis tanah diatas, jenis tanah yang tersebar luas di DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat sebesar 32,89 % dari total luas areal DAS Ciliwung Bagian Hulu. Jenis tanah Latosol dan asosiasinya memiliki sifat tanah yang baik yaitu tekstur liat berdebu hingga lempung berliat, struktur granular dan remah, kedalaman efektif umumnya > 90 dan agak tahan terhadap erosi serta sifat kimia tanah pada dasarnya tergolong baik dengan PH tanah agak netral serta kandungan bahan organik biasanya rendah atau sedang.
DAS Ciliwung Bagian Hulu dibangun oleh formasi geologi vulkanik yaitu komplek utama Gunung Salak dan komplek Gunung Pangrango. Deskripsi Litologi Kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah tufa glas lhitnik kristal, tufa fumice dan batu pasiran tufa, sedangkan kondisi fisiografi daerah kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu merupakan daerah pegunungan dan berbukit. Elevasi umumnya diatas 150 m dpl dan terdiri atas daerah lungur volkan tua dan muda. Bahan induk tanah yang terdapat di DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah berupa tufa volkanik dan derivatifnya merupakan bahan dasar pembentuk tanah jenis tanah Latosol Coklat Kemerahan adalah jenis tanah yang dominan. Adanya pencampuran bahan vulkanik tua dan yang lebih muda memungkinkan terbentuknya jenis-jenis tanah lain yang berasosiasi dengan Latosol antara lain adalah tanah Andosol dan Regosol.
Berdasarkan keadaan geomorfologinya, DAS Ciliwung Bagian Hulu didominasi oleh dataran vulkanik tua dengan bentuk wilayah bergunung seluas 3767,76 Ha dan sebagian kecil merupakan alluvial sungai seluas 255,33 Ha.
2.1.3  Keadaan social ekonomi
·         Kependudukan
Kependudukan di wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu meliputi beberapa aspek penjabaran menyangkut jumlah, sex ratio, ukuran keluarga, kelas umur dan beban tanggungan kerja produktif, mata pencaharian.
·         Jumlah dan Perkembangan Penduduk
Secara keseluruhan jumlah penduduk di DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah sebanyak 219.395 jiwa yang terdiri dari 110.688 jiwa laki-laki dan 108.702 jiwa perempuan dengan jumlah keluarga sebanyak 48.159 Kepala Keluarga. Berdasarkan kondisi jumlah laki-laki dan perempuan seperti itu, maka sex ratio yang terjadi adalah 1,02.
Berdasarkan kelas umur penduduk, jumlah penduduk terdiri atas kelas umur 0 – 15 tahun sebanyak 78.571 jiwa, kelas umur 16 – 55 tahun sebanyak 118.431 jiwa dan kelas umur Lansia (>56 tahun) adalah sebanyak 22.388 jiwa. Keadaan penduduk demikian menunjukkan bahwa jumlah penduduk tidak produktif lebih kecil sebanyak 100.959 jiwa dari penduduk produktif 118.431. Hal ini mengakibatkan beban tanggungan tenaga produktif yang cukup besar yaitu sebesar 85 %.
·         Keadaan Tenaga Kerja, Tekanan Penduduk & Laju Pertumbuhan Penduduk
Tingkat tenaga kerja di wilayah DAS Ciliwung Hulu adalah 1.369,06 jiwa/km2 untuk kepadatan geografis dan 43,54 jiwa/km2 untuk kepadatan agraris. Kepadatan tenaga kerja yang terbesar yaitu di Kota Bogor (Desa Katulampa, Sindangrasa, Sindangsari dan Tajur) yaitu sebesar 4.242,06 jiwa/km2 untuk kepadatan geografis dan 129,30 jiwa/km2 untuk kepadatan agraris. Luas kepemilikan lahan pertanian di wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah seluas 5.039,221 ha dengan jumlah penduduk sekitar 219.395 jiwa.
·         Mata Pencaharian
Dengan jumlah penduduk 219.395 jiwa di seluruh wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu, berbagai macam mata pencaharian penduduk sangat beragam dan yang paling besar adalah mata pencaharian sebagai petani sejumlah 15.321 jiwa , buruh tani sejumlah 12.107 jiwa dan pedagang sejumlah 11.766 jiwa dan yang lainnya sebagai pedagang, Pegawai Negeri Sipil dan ABRI, Buruh Industri Kecil, sopir angkutan, peternak dan lain-lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan penduduk akan sumber daya alam berupa tanah /lahan demikian besar dimana penghidupan penduduk didominasi oleh pemanfaatan sumber daya alam berupa pertanian. Agar dominasi mata pencaharian dibidang pertanian tidak mengganggu kelestarian alam dan agar produktifitas penduduk dan lahan tetap terjaga diperlukan adanya upaya-upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah secara baik dan berkesinambungan.
·         Pendidikan
Pendidikan merupakan modal di dalam berkehidupan dan bermasyarakat. dengan pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh anggota masyarakat suatu daerah akan kelihatan tumbuh dan berkembang melalui pembangunan di berbagai sektor. Pendidikan dan pengetahuan dapat dimiliki baik secara formal dan non formal dan untuk itu diperlukan srana pendidikan.
Keadaan sarana pendidikan di wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu pada umumnya terdiri dari pendidikan TK/RA 20 buah, SD 91 buah, SMP/MTS 15 buah. SMA/Aliyah 5 buah , Pesantren 93 Buah dan Madrasah 60 buah dan Perguruan Tinggi 2 buah. Berdasarkan jumlah penduduk yang ada , jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan formal 129.116 jiwa atau 58,85 % dari jumlah seluruh penduduk sedangkan non formal sebanyak 17.609 jiwa atau sebesar 8 %.
2.2 Kondisi Fisik Wilayah Ciliwung Bagian Tengah
Wilayah DAS Ciliwung Bagian Tengah meliputi :
·         Kota Depok
·         Sebagian Kota Bogor
·         Sebagian Kab. Bogor
Kabupaten Bogor bagian Utara dan Kota Depok yang berbatasan dengan DKI Jakarta berada pada zona yang mempunyai curah hujan < 2.500 mm/tahun. Wilayah Bogor bagian Utara ini memiliki curah hujan rata-rata 197,3 mm/bulan, dengan curah hujan maksimum 449,0 pada bulan Nopember dan curah hujan minimum 32,0 pada aaabulan Juli . Selain hal tersebut juga dapat dijelaskan bahwa Kota Bogor merupakan dataran tinggi dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26 C dengan kelembaban udara + 70 % dan suhu udara terndah adalah 21 C serta suhu udara tertinggi 30 C. Banyaknya curah hujan setiap tahunnya rata-rata 3.500 mm sampai 4.000 mm dan curah hujan terbesar adalah pada bulan April.
Wilayah Depok termasuk daerah beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim Munson. Musim kemarau berada antara bulan April s/d September dan musim hujan antara bulan Oktober s/d Maret. Kondisi iklim di daerah Depok relatif sama, yang ditandai oleh perbedaan curah hujan yang cukup kecil. Berdasarkan data pemeriksaan hujan tahun 1998 di Stasiun Depok, Pancoran Mas, banyaknya curah hujan antara 1 – 591 mm, dan banyaknya hari hujan antara 10 s/d 23 hari , yang terjadi pada bulan Oktober dan Desember . Curah hujan rata-rata sekitar 327 mm.
Berdasarkan data Klimatologi Kabupaten Bogor Stasiun Klimatologi Klas I Darmaga, Stasiun Pemeriksaan Pondok Betung , Tahun 1998, keadaan klimatologi Kota Depok diuraikan sebagai berikut :
·         Temperatur rata-rata : 24,3 C – 33 C
·         Kelembaban udara rata-rata : 82 %
·         Penguapan rata-rata : 3,9 mm/th.
·         Kecepatan angin rata-rata : 3,3 knot
·         Penyinaran matahari rata-rata : 49,8 %
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan BPS Kab. Bogor curah hujan antara tahun 1991 s/d tahun 2000 diketahui rata-rata curah hujan selama setahun sebesar 3.201,8 mm dengan jumlah hari hujan 149,5 hari. Bulan basah terjadi pada bulan Januari sebesar 347,2 mm dan Nopember sebesar 367,15 mm lama hari hujan 15,85 hari, sedangkan bulan kering terjadi pada bulan Juni s/d September.
Arah mata angin banyak dipengaruhi oleh angin Muson Timur pada bulan Mei sampai bulan Oktober, sedangkan bulan Nopember sampai dengan April dipengaruhi oleh angin Muson Barat.
 
 
2.2.1.. Topografi dan bentuk wilayah
Kemiringan lereng Kabupaten Bogor bagian Utara mulai dari dari 0 – 3 % dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian dari permukaan laut antara 15 – 100 m, sedangkan untuk Kota Bogor merupakan wilayah yang bergelombang dengan perbedaan ketinggian cukup besar. Ketinggian kurang dari 200 m dari permukaan laut meliputi 2 % dari laus wilayah, ketinggian 200 – 260 m dari permukaan laut meliputi 72 % dari luas wilayah dan ketinggian 260 – 300 m dari permukaan laut meliputi 21 % serta ketinggian diatas 300 m meliputi 5 % dari luas wilayah Kota Bogor. Kemiringan lereng Kota Bogor antara 3– 5 %.
Untuk Kota Depok secara topografi dikatagorikan datar dan dengan ketinggian berkisar antara + 70 m – 90 m dari permukaan laut. Keadaan topografinya sangat menguntungkan bagi pembangunan kota karena adanya sungai-sungai yang mengalir ke arah Utara kota, sehingga Kota Depok dapat terhindar dari bahaya banjir. Kota Depok berada pada kemiringan lereng antara 0 – 15 %.
2.2.1. A Penggunaan Lahan
Jika dilihat dari sebaran penggunaan lahan yang ada di Kota Depok dapat dikenali kawasan perumahan terkonsentrasi di bagian Utara yang berdekatan dengan Jakarta yaitu Kecamatan Limo, Beji dan Sukmajaya.
Kemudian dibagian Tengah diapit oleh jalan Margonda Raya, Sungai Ciliwung dan Jalan Tole Iskandar. Untuk penggunaan pertanian tersebar di Kecamatan Sawangan, Pancoran Mas bagian Selatan dan sebagian Kecamatan Cimanggis.
Penggunaan lahan yang cenderung intensif seperti industri yang tersebar dijalan Raya Bogor (Kec. Cimanggis), perdagangan dan jasa, pendidikan dan perkantoran, yang tersebar di sepanjang jalan Raya Margonda dan jalan Akses UI. Berdasarkan sumber data dari Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Depok, penggunaan lahan di Kota Depok yang termasuk dalam DAS Ciliwung Bagian Tengah .
 
2.2.2. Geologi dan Geomorfologi
Secara umum sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Bogor berada pada geomorfologi satuan daerah pedataran kipas alluvial. Satuan ini terutama dibentuk oleh lempung tufcan, pasir dan kerikil. Aliran sungainya berpola sejajar dengan lembah sungai utama. Sedangkan wilayah Kota Depok berada pada satuan pedataran alluvium sungai. Daerah ini merupakan ujung dan bagian tengah dari kipas alluvial Bogor yang terbentuk dari produk gunung api dengan relief permukaan sedang dan halus. Pola pengaliran sungai menunjukkan pola “meander”. Satuan ini terbentang dari barat ke timur dan terletak pada elevasi kurang dari 100 m di atas permukaan laut dan relatif datar, namun kemiringan lereng pada lembah sungai lebih terjal. Sungai-sungai yang mengalir “berpola dendrtik” dengan lembah sungai berbentuk huruf “U”. Batuan penyusunnya terdiri dari endapan sedimen berupa Tufa Greksi, lempung lanauan dan batu pasir tufcan.
Berdasarkan Peta Hidrogeologi Indonesia Skala 1 : 250.000, oleh Direktorat.Geologi dan Tata Lingkungan 1986, wilayah Sungai Ciliwung Bagian Tengah berada pada Kelompok terdapatnya Air Tanah dan Produktivitas Akuifier. Menurut potongan melintang dapat diketahui bahwa :
Ø      Pada kedalaman 0 – 250 m, akuifer dengan aliran melalui antar butir, merupakan akuifer dengan produktivitassedang dan sebarannya luas. Debit air tanah < 5 ltr/detik.
Ø      Pada kedalaman > 250 m, akuifer ( bercelah atau bersarang ) produktif kecil, daerah air tanah langka dan merupakan akuifer dengan produktivitas kecil serta setempat. Debit air tanah < 1 Ltr/ detik.
2.2.3. Kondisi Sosial Ekonomi
2.2.3.A Jumlah , Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) , jumlah penduduk Kota Depok pada Tahun 1998 sebesar 903.934 jiwa . Jumlah ini meningkat cukup pesat bila dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 1994 sebesar 812.003 jiwa. Dengan demikian laju pertumbuhan penduduk Kota Depok sebesar 2,73 % pada rentang waktu 1994 hingga 1998. Laju pertumbuhan penduduk Kota Depok lebih tinggi daripada laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat sebesar 1,99 %. Hal ini dipengaruhi oleh semakin banyaknya masyarakat yang bekerja di Jakarta dan memilih tinggal di Kota Depok akibat adanya pusat-pusat pendidikan seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gunadarma
2.2.3.B Sebaran Banjir dan Genangan
Dalam konteks hulu – hilir (upstream – down stream) wilayah Kota Depok termasuk pada katagori wilayah tengah (middle stream). Dalam kaitannya dengan banjir, wilayah tengah ini hanya menjadi wilayah yang dilewati sebelum air sampai di daerah hilir Jakarta dan sekitarnya). Namun demikian karena karakteristik fisik lahan maupun akibat penggunaan lahan di Kota Depok terdapat dibeberapa kawasan yang menjadi kawasan rawan genangan (banjir setempat). Penyebab lain banjir ini adalah karena tingginya curah hujan, kurangnya kemampuan saluran air untuk mengalirkan air, penyempitan saluran, lokasi genangan berelevasi rendah serta adanya hambatan pada badan sungai.
2.3 Kondisi Fisik Wilayah Ciliwung Bagian Hilir
            Di daerah hilir yang umumnya berada di Jakarta dan Tangerang batas antara musim kemarau dan musim penghujan tampak jelas. Musim penghujan mulai jatuh pada bulan Desember dan berakhir pada bulan Maret. Secara umum hujan di bagian hilir ini paling kering dibandingkan dengan hujan di bagian tengah dan hulu DAS.
2.3.1.. Topografi dan bentuk wilayah
            Bagian hilir sampai stasiun pengamatan Kebon Baru/Manggarai mmencakup areal seluas 82 km2 merupakan dataran rendah bertopografi landai dengan elevasi antara 0 m sampai 100 m dpl. Bagian hilir didominasi area dengan kemiringan lereng 0-2 %, dengan arus sungai yang tenang. Bagian lebih hilir dari Manggarai dicirikan oleh jaringan drainase, yang sudah dilengkapi dengan Kanal Barat sebagai penangkal banjir.
 
 
2.3.1.A Penggunaan Lahan
            Penggunaan lahan di bagian hilir didominasi oleh lahan hunian (build up areas), jaringan jalan, badan sungai dan saluran drainase lainnya, sedikit lahan hijau dalam bentuk taman.Kondisi penggunaan lahan, dalam hal ini tingkat penutupan lahan (land cover)-merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan DAS. Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan serta pengendalian erosi saat musim penghujan dan mencegah kekeringan saat musim kemarau.
2.3.2        Geologi dan Geomorfologi
            Bagian hilir yang merupakan dataran aluvial yang sudah jenuh air maka terjadilah banjir di beberapa tempat di bagian hilir.
2.3.3        Keadaan Sosial Ekonomi
2.3.3.A. Pendidikan
Kebijakan Pendidikan menyangkut tiga aspek penting yaitu Peningkatan mutu, pemerataan dan relevansi. Peningkatan mutu pendidikan terlihat dari kualitas input (sarana dan prasarana, tenaga kependidikan, serta sarana penunjang pendidikan lainnya), proses (kegiatan belajar mengajar) dan output. Output pendidikan antara lain terlihat dari kualitas para lulusannya termasuk peningkatan tingkat jenjang pendidikan yang ditamatkan. Persentase penduduk yang tamat S1 ke atas, meningkat dari 6,68 persen pada tahun 2002 menjadi 7,58 persen pada tahun 2006. Sesuai dengan tuntutan perkembangan kualitas pendidikan di DKI Jakarta harus berstandar internasional maknanya adalah mutu pendidikan harus setara dengan mutu pendidikan di kotakota besar lainnya di dunia terutama di asia tenggara. Sekolah yang bertaraf internasional diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta.
Berkenaan dengan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan DKI Jakarta cukup menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah, tahun 2006 anak usia 7-12 tahun (SD) mencapai 98,46 persen. Pada kelompok usia 13-15 tahun (SLTP), 90,16 persen dan kelompok usia 16-18 tahun (SLTA) sebesar 60,26 persen.
 
2.3.3.B.  Kesehatan
            Selama lima tahun terakhir angka harapan hidupdi hilir  meningkat dari 72,79 tahun 2002 menjadi 74,13 tahun 2006. Pada periode yang sama AKB di DKI Jakarta turun dari 19,00 kematian pada tahun 2002 menjadi 13,70 pada tahun 2006. Keberhasilan ini tidak terlepas dari kondisi gizi masyarakat DKI Jakarta yang makin membaik. Hal ini ditunjukan oleh menurunnya persentase balita yang bergizi buruk. Pada tahun 2002 presentase balita yang bergizi buruk mencapai 8,14 persen menurun menjadi 7,30 persen pada tahun 2005. Selain itu, pelayanan kesehatan selama lima tahun terakhir ini semakin meningkat yang dapat mendukung terciptanya kondisi kesehatan yang relatif lebih baik.
2.3.3.C Kondisi ekonominya
            Ciliwung hilir memiliki unggulan potensi ekonomi berupa letaknya yang strategis dan menjadi potret mininya Indonesia. Di samping itu juga memiliki sarana penunjang ekonomi yang
memadai sehingga memungkinkan perekonomian Jakarta dapat bergerak optimal. Unggulan potensi ekonomi tersebut telah membuahkan selama lima tahun terakhir (2002-2007) telah memberi kontribusi terhadap PDB sebesar 16-17 persen.
            Dari sisi pertumbuhan, selama lima tahun terakhir perekonomian Ciliwung hilir tumbuh rata-rata 6 persen. Namun meskipun angka ini dibawah angka pertumbuhan sebelum krisis, paling tidak memberikan sinyal untuk menuju kondisi lebih baik di masa mendatang. Perekonomian Ciliwung bagian hilir tahun 2002-2006 menunjukkan prestasi yang cukup menggembirakan.
 
 
 
 
 
 
 
Daftar Pustaka
 
Ø      Ubaidilillah, R. Maryanto, I. et all. 2003. Manajemen Bioregional Jabotabek:
      Tantangan dan Harapan. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
      Indonesia. Bogor. Januari 2003.
Ø      Peningkatan Kapasitas Pengelolaan DAS Ciliwung Untuk Pengendalian
      Banjir di Ibukota Jakarta. Makalah Sintesa untuk Lokakarya Pengelolaan DAS
      Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam
      Pengendalian Banjir DKI Jakarta, 8 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh LP-IPB
      dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting. Jakarta

 
 
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free