Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air kehidupan akan menjadi gersang.
Geographer - Free Researcher - Geography Teacher - Hydrology Interest - Aktivis

Link Media Ku

Kuantitas dan kualitas air Jakarta terus turun. Selain cadangan air tanah makin terkuras. Sebagian air sumur juga tercemar bahan-bahan organik dan anorganik. 
Masalah air di Jakarta kian hari kian gawat. Penduduk makin sulit memperoleh air bersih dan sehat. Selain air tanahnya yang ter­cemar, Jakarta yang dihuni seki­tar 9,5 juta jiwa ini juga punya masalah serius. Yakni, terbatasya keterse­di­aan air tanah di beberapa wila­yah. Sedangkan pelayanan air ber­sih da­ri Perusahaan Daerah Air Mi­num (PDAM) Jaya belum maksimal.
Krisis ketersediaan air tanah ter­jadi karena warga Jakarta me­manfaatkan air tanah secara ber­lebihan. Pada saat bersamaan, jumlah sumur bor yang menyedot air tanah hingga kedalaman pu­luhan meter terus bertambah se­iring dengan tumbuhnya kawasan industri. Kondisi ini diperparah oleh kontrol yang lemah.
Pengambilan air tanah secara besar-besaran akan berdampak pada kekosongan air dalam tanah. Akibatnya, permukaan tanah bisa semakin menurun dan cadangan air tanah menipis.
Pengamat perkotaan Yayat Su­priatna menyatakan, dengan ada­nya lonjakan penduduk, akan ba­nyak permasalahan yang ter­jadi di DKI. Jakarta akan semakin pa­­dat dan terjadi degradasi ling­ku­ngan yang sangat parah.
Yang sangat berbahaya, lan­jut­nya, adalah mengenai kebu­tuhan air minum. Layanan air mi­num di DKI Jakarta baru mencapai sekitar 60 persen. Jadi ada 40 per­sen lagi penduduk DKI yang be­lum terlayani.
Dan dari 60 persen pelayanan air itu, tingkat kebocorannya ham­pir mencapai 50 persen (Jadi, kalau pemenuhan air ber­sih di DKI ini tidak terpenuhi, ke­mung­kinan besar akan terjadi eksploi­tasi pengambilan air tanah yang lebih besar. Hal ini menyebabkan amblesnya per­mukaan tanah di Jakarta.
“Di samping itu, permasalahan klasik di Jakarta seperti banjir dan macet tidak akan terselesaikan. Jadi apapun yang dilakukan, ujung­nya malah menambah ma­salah baru dan tidak menyele­saikan masalah,” ucap Yayat kepa­da Rakyat Merdeka.
Karena itu, lanjut Yayat, perlu langkah tegas untuk keluar dari permasalahan rumit ibukota ini. Pemindahan ibukota harus se­gera direalisasikan karena Ja­karta sa­ngat overloaded.
“Ini kenyataan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ke­luar dari kotak ma­salah. Apakah Jakarta ini masih layak untuk di­pertahankan, pa­da­hal sudah su­dah overloaded? Jakarta sudah iden­tik dengan kota yang ber­masalah,” cetus Yayat.
Pengamat geografi Universitas Indonesia (UI) Ah­mad Munir mengatakan,  kerusa­kan kondisi air tanah di Jakarta sudah sangat parah. Kerusakan yang lebih pa­rah adalah kerusa­kan dari sisi kua­litas. Penurunan kualitas air hampir terjadi di se­tiap daerah aliran sungai (DAS), sebagai dampak perubahan peng­gunaan lahan maupun dampak aktivitas kehidupan manusia.
Aktivitas yang memberikan dam­pak besar pada tingkat pence­maran air adalah Industri. Lim­bah Industri yang dibuang ke ali­ran DAS, pada umumnya masih stan­dar limbah. “Ini karena ku­rang ke­tatnya pengawasan peme­rintah terhadap aktivitas industri. Atau kurang sadarnya para pelaku in­dustri dalam memperhatikan ling­kungan,” tegas Ahmad Munir.
Menurutnya, kesadaran masya­rakat masih rendah. Banyak ma­syarakat melihat air sebagai ba­rang gratis sehingga tidak ada lagi sikap “hormat” terhadap air. Pa­dahal, kondisinya sudah sa­ngat berbeda. Untuk mempro­duksi air bersih, harus dikeluar­kan cost yang sangat mahal. Salah satu­nya, biaya untuk membeli clorin yang didatangkan dari Australia. Minimnya penge­ta­huan menjadi salah satu faktor penyebab kena­pa war­ga tak bisa menghemat air.
“Jika tidak segera diatasi, Ja­karta akan dilanda krisis terbu­ruk kekurangan air bersih untuk wak­tu mendatang. Ancaman ke­keri­ng­an pada masa menda­tang men­jadi ancaman yang nyata ji­ka ti­dak diperhatikan dari seka­rang,” pungkas Ahmad. (RM)

Sumber: http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=4743

MENGATASI BANJIR JAKARTA
KBR68H- Banjir yang melumpuhkan aktivitas warga Jakarta pekan lalu memaksa Pemerintah DKI Jakarta berpikir dan bekerja cepat. Apalagi hingga kemarin beberapa daerah seperti Pluit dan Penjaringan Jakarta Utara masih terendam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat banjir menggenangi 41 km persegi wilayah Jakarta. Banjir juga berdampak kepada 910 RT, 370 RW, 74 kelurahan, 31 kecamatan dengan total 248 ribu jiwa dan 18 ribu diantaranya mengungsi. Sementara untuk korban meninggal berjumlah 15 orang. Gubernur DKI Jakarta terpilih Joko Widodo memperkirakan kerugian akibat banjir pekan ini mencapai 20 triliun. 
 
Bencana banjir sebenarnya sudah melanda Jakarta sejak jaman Belanda. Namun menurut Alwi Shihab penulis sejarah Jakarta, Belanda mampu mengatasi datangnya banjir. Berbagai upaya dilakukan Belanda saat itu. Misalkan dengan membangun sejumlah kanal , memelihara sejumlah situ di Jakarta dan sekitarnya dan melestarikan hutan Mangrove. Namun sayangnya, saat ini jumlah situ dan hutan Mangrove tidak sebanyak dulu. Beberapa diantaranya tergerus alih fungsi lahan dan rusak karena tidak terawat.  Belum lagi kalau kita sungai Ciliwung, 50 persen diantaranya rusak akibat tangan manusia. 
 
Beberapa usulan untuk mengatasi banjirpun kemudian dilontarkan dari berbagai kalangan. Mulai dari penambahan ruang terbuka hijau, pembersihan pemukiman pinggir sungai, revitalisasi saluran air dan pembangunan waduk. Serta edukasi pengelolahan sampah di masyarakat. Sementara itu pemprov DKI mengklaim akan mengambil  beberapa langkah prioritas. Diantaranya melakukan pengerukan sungai, kali dan normalisasi gorong-gorong untuk mencegah banjir. 
 
Langkah Perbaikan Pemerintah
 
Ke depan Pemerintah DKI akan menargetkan beberapa langkah untuk mengatasi banjir. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Ery Basworo mengatakan target jangka pendek saat ini hanyalah memperbaiki pompa-pompa yang rusak. Sementara untuk jangka panjangnya, pemerintah akan melakukan pelebaran sungai-sungai. Dari 13 sungai besar yang masuk Jakarta, tiga diantaranya sudah mulai dikerjakan, yakni sungai Pesanggrahan, Angke dan Sunter.  Dengan pembagian tugas Pemprov DKI membebaskan lahan di sekitar sungai, sementara pemerintah pusat melebarkan konstruksinya. Target berikutnya adalah kali Ciliwung.  Menurutnya sungai-sungai hulu di  Puncak seharusnya mampu menahan air terlebih dahulu sebelum mengalir ke Jakarta. 
 
“Indikatornya mudah yaitu kecepatan mengalir. Kecepatan air dahulu mengalir membutuhkan sekian belas jam sampai ke Jakarta. Kalau sekarang dari Katulampa sekarang lebih cepat. Dalam hitungan jam saja. Ini buktinya tidak ada resapan,”jelas Ery Basworo
 
Namun demikian, saat ini menurutnya sudah ada kesepahaman antara Pemprov DKI dengan Kemen PU untuk membangun beberapa waduk di bagian hulu. Diantaranya di wilayah Ciawi dan Cimanggis sebagai fungsi penampung air.  Sebagai pelaksanannya sudah ada beberapa lahan yang dibebaskan oleh Pemda DKI Jakarta. Waduk yang sepanjang kali sunter atau krukut tersebut ditengarahi memiliki akan mampu menahan air dan sekaligus sebagai pengendali banjir.
 
Pendekatan Ekologis
 
Sementara itu Pengamat Hidrologi UI Ahmad Munir mengkritik Pemerintah agar tidak terus menggunakan pendekatan tehnik dalam menanggulangi banjir. Menurutnya pengerukan, pelebaran sungai dan pembuatan sodetan kanal banjir timur hanya mampu meminimalisir banjir sementara. Tetapi untuk mengatasi banjir yang terus terjadi sepanjang tahun, pemerintah diharapkan menggunakan pendekatan ekologis. Bagaimana melakukan penghijauan di semua daerah aliran sungai. 
 
“Kita harus mengembalikan banjir ke dalam sistem ekologi. Bagaimana pemerintah harus memperhatikan jangka panjang dengan memperhatikan sempadan sungai, badan sungai dinormalisasi tapi tidak hanya menggunakan pendekatan tehnik saja. Kita harus normalisasi daerah floodplain (endapan kanan kiri sungai), kita hijaukan kembali sempadan sungai. Saya pikir itu lebih baik daripada membuat sodetan dan pengerukan,”jelas Ahmad Munir.
 
Selain itu diperlukan kebijakan terpadu Pemerintah pusat dalam menata bagian hulu. Bagaimana caranya Mempertahankan atau kalau bisa memperbaiki daerah tangkapan hujan. Karena menurut catatan Ahmad Munir, 0,1 persen saja perubahan alih lahan  akan berakibat penambahan luas banjir sebesar 0,02 persen. Kemudian yang tidak kalah penting adaya upaya edukasi yang intensif ke masyarakat sebagai subyek dari sistem ekologi.

Sumber: 
www.portalkbr.com/berita/perbincangan/2440828_4215.html


This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free