Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air kehidupan akan menjadi gersang.
Geographer - Free Researcher - Geography Teacher - Hydrology Interest - Aktivis

Warga NU dan Modernitas

WARGA NU DAN MODERNITAS
Oleh: Ahmad Munir
Istilah tradisional dan modern sebenarnya bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan pemaknaan yang relatif. Sama halnya dengan istilah yang sering dipakai untuk menyebut “Islam Modernis” dan “Islam Tradisional”, faktanya tidak bisa dibedakan satu dengan yang lain menurut batasan yang mutlak.
Islam sebagai sebuah agama, tidak jarang disempitkan maknanya dengan kategorisasi modernis dan tradisional. Keduanya menjadi jurang pemisah atas klaim berbagai ormas. Misalnya NU lebih dimaknai Islam Tradisionalis dan Muhammadiyah lebih disebut Islam Modernis.
Lepas dari penting tidaknya pengkategorisasian itu, substansinya jebakan dikotomi itu melekat pada bagian penting dari relasi antar umat Islam di Indonesia. Jika Islam tapi lekat dengan tradisi lokal, kecenderunganya lebih memilih NU, juga sebaliknya. Namun yang menjadi penting, apakah warga NU dan modernitas itu bisa dipadupadankan? Apakah tradisionalisme juga bermakna kemunduran?
Pembahasan
Modernitas dapat dimaknai dengan perangkat baru sebagai bagian dari gejala dalam kehidupan, yang ditandai dengan kekinian dalam pemanfaatan berbagai perangkat teknologi, serta meningkatnya pemanfaatan energi dalam mendukung kehidupan. Jika dihadapkan pada konteks ini, NU lebih tertinggal jelas disbanding komunitas lain.
Tradisionalisme biasanya memuat ciri antara lain; mempercayai mitos, struktur sosial yang hirarkis, sehingga muncul dominasi peran, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang rendah dan lainnya. Dari sebutan ciri diatas, yang paling potensial diklaim tradisional adalah NU.
Dalam soal kepercayaan fikrah, harakah dan amaliah, NU lebih banyak menampilkan simbolisasi islam yang syarat dengan irrasional. Tentu hal ini tidak serta merta dapat dikatakan negative dalam perspektif tertentu. Negatif dari sudut rasionalitas, kadang menjadi penuntun bagi tindakan rasional, yang jauh lebih kuat sehingga menghasilkan tatanan tatanan yang lebih inovatif.
Tantangan Modernitas
Modernitas yang identik dengan pandangan kuantitatif, pada dasarnya menjebak sebagian dari kita kehilangan identitas, yang cenderung kualitatif. Misalnya saja, modernitas ditandai dengan retail sampai ke tingkat desa, tentu saja retail yang berkembang retail jenis kuantitatif, yang hanya menerima pelanggang yang bawa uang, dan tidak mungkin menerima pelanggang yang tidak bawa uang, atas garansi apapun. Padahal bisa saja ada masyarakat sekitar, yang sedang sangat membutuhkan, dan sudah memiliki gaji hanya belum dibayarkan. Transaksi semacam ini menjadi contoh, pada saat modernitas menjamur, yang menjadi pudar adalah identitas lokalnya. Jadi local minded tidak banyak berlaku dalam era modern ini.
Sungguh, kondisi semacam ini menjadi tantangan NU, dengan basis masyarakat perdesaan, mayoritas petani dan nelayan. Semangat yang digunakan dalam menyelami tantangan zaman dengan moral dan ahlak, dan kadang abai dalam mengkuantifikasi masalah yang dihadapi warganya. NU sudah seharusnya memasukkan untuk kuantitatif, sebagai ciri modernitas, sebagai adaptasi lokal, namun tetap memperhatikan tradisi yang lama jika dianggap masih baik dan sesuai dengan kehidupan bermasyarakat. Yakinlah, modernitas bisa berjalan beriringan dengan warga NU yang insyallah adaptif menghadapi tantangan zaman.


This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free