Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air kehidupan akan menjadi gersang.
Geographer - Free Researcher - Geography Teacher - Hydrology Interest - Aktivis

Tulisan Dosenku

 
PENDIDIKAN GEOGRAFI DAN IMPLIKASINYA
DI INDONESIA(*)
Oleh : Djoko Harmantyo (**)
(Dosen Ku di Departemen Geografi UI)
 
Abstrak
 
      Keputusan Mahkamah Internasional tahun 2003 tentang pulau Ligitan dan Sipadan secara sah menjadi milik Malaysia menyusul kemerdekaan negara baru Timor Leste mengejutkan rakyat Indonesia. Akibatnya, dalam waktu kurang dari lima tahun wilayah kedaulatan NKRI menyusut lebih dari 14.000 km2. Terlepas dari persoalan politik, perubahan garis perbatasan antar wilayah dua negara dari sudut pandang para geografi memiliki makna penting karena menyangkut   potensi berbagai “konflik” yang terjadi di wilayah tersebut.
      Persoalan konflik “pulau seribu” antara propinsi DKI Jakarta dan Banten, konflik batas wilayah kehutanan dan pertambangan, konflik batas wilayah pesawahan teknis dan perkembangan kota, konflik batas kawasan lindung atau kawasan “ecotourism” atau batas wilayah konflik antar etnis dan antar agama adalah beberapa contoh yang dapat dikemukakan saat ini. Paling tidak ada dua hal penting yang berkaitan dengan persoalan “territorial boundary” yaitu (1) berhubungan dengan interpretasi makna garis perbatasan dan (2) berhubungan dengan makna wilayah sebagai “region”. Persoalan garis perbatasan, ketimpangan ekonomi dunia, globalisasi dan penyebaran penyakit mematikan merupakan issue global sekaligus merupakan tantangan bagi para geograf untuk memberikan berbagai alternatif pemecahannya (Haggett, 2001, p.510).
      Dalam perspektif akademis timbul pertanyaan, apakah berbagai persoalan di atas ada hubungannya dengan perkembangan pendidikan Geografi selama ini di Indonesia? Sekedar untuk perbandingan, pentingnya pendidikan Geografi di negara maju seperti Inggris dan Amerika ditunjukkan dengan ditetapkannya Geografi sebagai mata pelajaran wajib bagi murid sekolah dasar dan menengah sejak tahun 1980-an (Sutanto, 2000).
     Sehubungan dengan hal tersebut dalam makalah ini akan dicoba ditelaah secara eksploratif komperhensif tentang bagaimana kondisi pendidikan Geografi dan implikasinya di Indonesia dengan memperhatikan sejarah perkembangan ilmu Geografi secara umum, struktur pendidikan Geografi dan permasalahannya, kegiatan pemasyarakatan dan apresiasi terhadap profesi geografi. 
 
 
 
 
 
 
Kata kunci : pendidikan geografi, geopolitik, globalisasi dan pembangunan
 
(*)   Makalah disajikan pada   Pertemuan Ilmiah Tahunan ( PIT ) Ikatan Geograf  
       Indonesia (IGI) tanggal 17-18 Oktober 2003 di Singaraja, Bali.
(**) Staf pengajar pada Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia.
PENDAHULUAN
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“……... tunjukkan peta daerahmu, saya dapat meramal masa depan-mu ….…..”    
 petikan pemikiran mantan guru besar Geografi FMIPA UI (alm) Prof I M Sandy
 
     Salah satu butir dalam 6 butir program kerja kabinet Gotong Royong tahun 2001-2004 adalah “mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia ”(Suprapto,2002). Dalam pengertian lain butir program kerja tersebut dapat diartikan sebagai “mempertahankan wilayah kedaulatan NKRI” atau dalam tataran teknis yaitu “mempertahankan luas wilayah kedaulatan NKRI”. Dengan demikian untuk mempermudah evaluasi pelaksanaan program kerja tersebut perlu ada data tentang luas wilayah kedaulatan NKRI termasuk posisi garis perbatasan, luas daratan dan laut di dalamnya, jumlah pulau dan berbagai data dan informasi geografis lainnya.
     Setelah masuknya Irian Jaya ke wilayah NKRI tahun 1963, integrasi Timor Timur tahun 1975 yang disusul dengan kemerdekaan negara baru Republik Demokrasi Timor Leste (RDTL) tahun 2000 serta lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2003 dari wilayah kedaulatan NKRI menunjukkan adanya fakta “perubahan” luas wilayah kedaulatan NKRI seperti tercantum pada tabel 1.
    
Tabel 1.   Perubahan luas wilayah daratan Indonesia tahun 1945 – 2003
               (diolah dari Sandy, 1996).
 
      Tahun                                                         Luas wilayah daratan (km2)
1945                                                                                                        1.489.573
1963                                                                       1.921.554
1976                                                                       1.926.163
2000                                                                                                         1.921.554(*)
2003                                                                       1.921.454 (**)
 
(*)   akibat keluarnya provinsi Timor Timur menjadi negara baru RDTL
(**) akibat lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan
 
     Data tersebut pada tabel 1 berasal dari salah satu dari beberapa sumber data yang ada. Adinegoro (2002) menyebutkan luas wilayah Indonesia adalah 1.919.440 km2, deBlij (1992) menyatakan bahwa luas Indonesia adalah 1,919.200 km2 dan Clawson (1995) menyebut angka 1,950.000 km2. Sementara itu data tentang jumlah pulau di Indonesia adalah terdiri dari 13.667 buah pulau, 6.044 pulau diantaranya sudah memiliki nama dan 931 pulau sudah ada penduduknya (Sandy, 1995). Sedangkan sumber lain (Hankam) menyebut angka 13 ribu pulau atau Suprapto (2002) menyebut angka 17.598 pulau tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Data tersebut disajikan hanya sebagai contoh untuk menunjukkan fakta bahwa belum ada data yang “unik” untuk menjelaskan berapa luas wilayah NKRI dan garis perbatasan yang sebenarnya.
 
     Perubahan luas wilayah kedaulatan NKRI seperti ditunjukkan dalam tabel 1 di atas mengakibatkan perubahan posisi garis batas negara terutama di wilayah yang mengalami perubahan status politik baik garis batas darat maupun laut (garis batas ZEE maupun garis batas teritorial internasional). Dengan mengacu pemikiran Haggett (2001) dapat diduga terjadinya pergeseran wilayah dan peningkatan kuantitas potensi konflik di Indonesia terutama pada wilayah yang mengalami perubahan. Keragaman berbagai konflik ditunjukkan antara lain dari hasil penelitian yang disampaikan pada acara Workshop Pembangunan Daerah Perbatasan Indonesia (LIPI, 2002).  
     Perubahan garis batas dengan negara tetangga dilakukan berdasarkan peraturan yang disepakati masyarakat internasional. Di samping Keputusan Mahkamah Internasional yang digunakan untuk melepaskan wilayah Timor Timur atau pulau Sipadan dan Ligitan, menurut Sandy (1996) yang menjadi landasan hukum penetapan batas batas negara Republik Indonesia adalah :
1.    Kesepakatan 1924 antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggris.
2.    Keputusan Pengadilan Tetap Internasional 1928.
3.    Undang Undang Dasar 1945.
4.    Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.
     Berdasarkan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, untuk menghindari berbagai kemungkinan timbulnya permasalahan perbatasan dengan negara negara tetangga, melalui prinsip “bertetangga baik” pemerintah Indonesia membentuk (1) Komisi Bersama antara Indonesia dengan negara tetangga dan (2) Kerjasama Ekonomi Sub Regional (Suprapto, 2002). Sebagai contoh yaitu Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) antara Indonesia dan Filipina mengenai Maritime Boundary Delimitation, Undocumented Indonesians in Southern Philippines (sekitar 7000 orang) dan Joint Border Committee. Komisi Bersama juga dibentuk antara Indonesia dengan Malaysia, Singapura, Brunei dan terakhir dengan Timor Leste, tidak dapat dilepaskan dari persoalan garis perbatasan.
     Informasi mengenai luas dan batas wilayah kedaulatan sebuah negara seperti Indonesia menjadi penting karena menyangkut eksistensi sebuah negara. “Wilayah geografis” sebagai ruang gerak warga bangsa dalam berusaha mencapai cita cita sampai akhir jaman merupakan karakteristik universal negara negara di dunia, kecuali negara Palestina yang sampai saat ini belum jelas wilayah geografisnya. Perubahan data luas wilayah geografis kedaulatan NKRI secara langsung akan mempengaruhi aset sumberdaya alam dengan berbagai potensi strategis lainnya
     Keberhasilan pengelolaan sumberdaya wilayah, antara lain ditentukan oleh mutu sumberdaya manusia atau tingkat peradaban warga bangsanya. Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai mutu sumberdaya manusia adalah dengan mengetahui sejauh mana pelaksanaan program pendidikan terutama pendidikan formal mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai tingkat pendidikan tinggi. Secara umum dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk penguasaan ilmu Geografi, akan semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya wilayah.   
     Perubahan paradigma pembangunan melalui parameter demokratisasi, hak asasi manusia dan penegakan hukum serta adanya kebijakan otonomi daerah saat ini dapat merubah kekuatan sentrifugal dan sentripetal dalam konteks geopolitik (Suradinata, 2002). Oleh karena itu pada gilirannya diperlukan kebijakan baru untuk bagaimana mengelola sumberdaya wilayah secara efektif dan efisien agar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai stake-holder sekaligus berusaha untuk bagaimana menjaga keutuhan wilayah kedaulatan NKRI, dalam persaingan global yang semakin ketat dewasa ini .
     Setiap warga bangsa terutama para manajer pembangunan mulai dari Presiden sampai para bupati, camat atau bahkan lurah, seyogyanya mengetahui dengan tepat dan akurat berapa luas wilayah “kedaulatan” yang harus dibangun dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat, di mana batas batas wilayahnya dan bagaimana karateristik wilayahnya agar dapat digunakan sebagai bahan awal untuk perencanaan pembangunan. Ketersediaan data dan informasi geografis tersebut menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan pembangunan wilayah baik pada tingkat lokal, regional maupun nasional.        
     Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan pada umumnya setiap kabupaten/kota sudah memiliki sarana peta rencana dalam bentuk RUTRW, walaupun tidak semua dihasilkan dari suatu studi yang komperhensif. Fakta lain menunjukkan bahwa ketersediaan sarana peta RUTRW tersebut ternyata belum dilengkapi dengan sistem monitoring untuk memperoleh informasi terjadinya penyimpangan di lapangan secara cepat dan akurat. Hal ini membuktikan bahwa sampai saat ini hal hal yang berkaitan dengan ketersediaan data dan informasi geografis yang tepat, akurat dan terbaru sesungguhnya belum dijadikan perhatian utama dalam pembangunan wilayah.
     Dalam makalah ini akan dicoba diperlihatkan “benang merah” antara berbagai persoalan seperti diuraikan di atas dalam perspektif disiplin ilmu Geografi. Untuk mencapai tujuan tersebut secara komperhensif dilakukan pembahasan terhadap (1) perkembangan disiplin ilmu Geografi secara umum (2) pendidikan Geografi di Indonesia (3) pemasyarakatan dan apresiasi profesi Geografi. Telaah berbagai aspek tersebut diharapkan dapat digunakan bagi pemerintah dan masyarakat pengguna sebagai masukan untuk perencanaan pengembangan pendidikan Geografi di Indonesia.
 
 
PERKEMBANGAN ILMU GEOGRAFI
 
     Disiplin ilmu Geografi berkembang akibat tuntutan kebutuhan manusia. Setiap generasi cenderung memiliki perbedaan kebutuhan sesuai perkembangan masyarakat saat itu (Holt-Jensen, 1980 p. 9). Dalam kehidupannya, setiap individu pada umumnya memiliki kemampuan untuk menjelaskan tentang   situasi dan kondisi tempat tinggalnya serta memberikan penjelasan apa yang terjadi jika menetap di tempat lain yang berbeda. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa setiap manusia pada dasarnya sudah memiliki apa yang disebut “geographical thingking” (pola berpikir geografis).
     Geografi sebagai ilmu mulai menjadi perhatian sejak tahun 300 sebelum masehi yaitu pertama kali digunakan secara ilmiah oleh peserta didik di Mesir. Pengamatan tentang aliran air sungai Nil rata rata tahunan serta penjelasan tentang keragaman nilai pengamatan dilakukan oleh Herodotus merupakan awal pengenalan istilah “geographical setting” yaitu istilah yang berkaitan dengan lokasi obyek baik lokasi absolut maupun lokasi relatif.
     Dalam perkembangannya, Wayne K Davies (dalam Holt-Jensen, 1980 p.2) menjelaskan bahwa pada periode abad 15 sampai abad 19, para geograf dunia aktif dalam kegiatan penemuan benua baru, menyusun peta berikut uraiannya melalui keahlian kartografi yang dikuasainya. Pada abad 19 bermunculan perkumpulan ahli Geografi seperti Societe de Geographie de Paris (1821), Gessellschaft fur Erdkunde zu Berlin (1828), the Royal Geographical Society di London (1830), Meksiko (1833), Frankfurt (1836), Brasil (1838), Rusia (1845) dan the American Geographical Society (1852). Sampai dengan tahun 1885 tercatat hampir 100 organisasi masyarakat geografi dengan jumlah anggota mencapai lebih dari 50.000 orang.      Apabila dibandingkan dengan kondisi di Indonesia, masyarakat Geografi baru mulai menghimpun diri dengan nama Ikatan Geograf Indonesia pada tahun 1980 an dengan jumlah anggota kurang dari 1000 orang. Organisasi IGI bernaung di bawah International Geography Union (IGU) yang berpusat di Jerman (Haggett, 2001).
     Perkembangan ilmu Geografi semakin pesat mulai awal abad XX. Pada tahun 1919 Feneman (Holt-Jensen, 1980 p.5) menjelaskan tentang bagaimana para geograf melakukan sintesa berbagai kajian disiplin ilmu lain, dari sudut pandang keruangan (spatial perspective), terutama menyangkut relasi spasial. Sebagai contoh , hasil kajian yang menyangkut karakteristik batuan (Geologi), karakteristik tumbuhan (Biologi), karakteristik iklim (Klimatologi) dan perilaku masyarakat di suatu wilayah (Sosiologi), dengan menggunakan metode analisis geografis, hasil hasil kajian tersebut   dapat ditelaah agar diperoleh dalil dalil tertentu. Contoh sederhana tersebut selanjutnya dapat dikembangkan pada jenis dan jumlah variabel yang lebih banyak untuk menghasilkan informasi geografis yang lebih lengkap.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Gambar 1. Ruang lingkup ilmu Geografi (Fenneman dalam Holt-Jensen, 1980).
 
     Saat ini berbagai model dan metode analisis kuantitatif, di samping metode kualitatif deskriptif, sudah dimanfaatkan secara meluas dalam penelitian geografi. Laju pemanfaatan model model kuantitatif semakin meningkat seiring dengan tersedianya berbagai fasilitas analisis dalam bentuk perangkat lunak teknologi Sistem Informasi Geografi dan perangkat keras teknologi Komputer dan Telekomunikasi serta kemudahan dalam penggunaanya (Worboys, 1998). Proses pengolahan data dan analisis dapat dilakukan dengan lebih cepat dalam satuan menit, tidak lagi dalam satuan jam atau hari sebagaimana sistem lama. Dalam kondisi ideal, informasi geografis yang dibutuhkan akan dapat dengan cepat diperoleh pemakai (user). Dalam era persaingan yang semakin ketat dewasa ini kecepatan memperoleh informasi merupakan salah satu faktor kritis penentu keberhasilan (csf) usaha. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari perubahan paradigma masyarakat sejak masyarakat nomaden (nomadic society) sampai dengan masyarakat informasi (knowledge society) sebagaimana pendapat Boar (1997.p 5).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Gambar 2. Perkembangan paradigma masyarakat.
 
     Perkembangan paradigma seperti dalam gambar 2 di atas dapat menjelaskan adanya perbedaan pola kehidupan masyarakat, cara bekerja dan tingkat kesejahteraannya. Perbedaan karakteristik pasar (marketplace) dalam bentuk individu per individu (person to person) pada masyarakat nomaden, pasar tradisionil pedesaan pada masyarakat agraris, pasar grosir pada masyarakat perdagangan, pusat perbelanjaan (shopping malls) pada masyarakat industri dan karakteristik adanya transaksi berbasis internet seperti online-shopping pada masyarakat informasi. Dalam masyarakat informasi, setiap individu tidak perlu melakukan perjalanan untuk memenuhi kebutuhannya karena barang yang dibutuhkan akan diterima di tempat setelah melakukan transaksi melalui internet. Perubahan perilaku masyarakat tersebut secara siknifikan akan mengurangi kepadatan lalulintas baik darat, laut maupun lalulintas udara, di mana pada gilirannya pemakaian ruang fisik geografis akan semakin efisien.
     Hal menarik dari masyarakat informasi adalah adanya akibat dari dampak perkembangan teknologi informasi yang tidak memandang lagi batas geografis (borderless) sehingga muncul pendapat yang menyatakan bahwa era informasi saat ini adalah era matinya ilmu Geografi (death of geography). Perkembangan teknologi informasi dipandang sebagai peubah determinan terhadap laju perkembangan ilmu Geografi. Sebagai contoh, perkembangan teknologi tersebut akan mempercepat terjadinya perubahan perilaku masyarakat dalam berproses mengikuti perkembangan globalisasi yang melanda seluruh dunia. Struktur marketplace berubah menjadi marketspace.     
     Perubahan mendasar paradigma pembangunan yang sedang berkembang saat ini mendorong masyarakat geografi untuk memenuhi tuntutan perubahan paradigma dan substansi pendidikan Geografi di Indonesia. Perumusan kompetensi lulusan, penyempurnaan bahan ajar (kurikulum), pembinaan staf pengajar, kegiatan pemasyarakatan peran Geografi dan peningkatan apresiasi profesi geograf perlu segera dilakukan. Demikian pula kegiatan penelitian yang berkaitan dengan hambatan pengembangan disiplin ilmu Geografi di Indonesia, dari berbagai sudut pandang, perlu dilaksanakan secara intensif .
 
 
                            PENDIDIKAN GEOGRAFI DI INDONESIA
 
     Perkembangan disiplin ilmu Geografi, secara umum, ditentukan paling tidak oleh 3 (tiga) hal pokok yaitu (1) sistem pendidikan antara lain materi pelajaran Geografi di tingkat SD, SLTP dan SLTA serta kurikulum program studi di perguruan tinggi, (2) kegiatan memasyarakatkan peranan Geografi dan (3) apresiasi pihak pemakai (masyarakat) terhadap profesi dan hasil karya Geografi. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa keluaran dari sistem pendidikan yang tepat akan dapat meningkatkan hasil pemasyarakatan peran Geografi dan pada akhirnya hal tersebut dapat meningkatkan apresiasi berbagai pihak terhadap profesi geografi. Proses demikian selanjutnya menghasilkan umpan balik terhadap perkembangan ilmu Geografi di Indonesia.
     Berdasarkan struktur pendidikan formal di Indonesia, secara umum dapat dikelompokan dalam dua tahap yaitu (1) pembelajaran pengetahuan Geografi di tingkat SD, SLTP dan SLTA dan (2) pembelajaran ilmu Geografi di Perguruan Tinggi. Untuk selanjutnya, ke dua tahap pembelajaran tersebut akan ditelaah secara singkat dalam tulisan ini.
  
1. Tahap pembelajaran pengetahuan Geografi
 
1. a. Sekolah Dasar
 
     Berdasarkan buku Ilmu Pengetahuan Sosial (Pakpahan, 2003) dapat diketahui bahwa pelajaran Geografi di sekolah dasar mulai diberikan kepada siswa kelas 3 dan menjadi bagian pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Materi pelajaran diawali dengan pengenalan berbagai jenis obyek yang terdapat di lingkungan rumah, sekolah dan tempat lain di sekitarnya. Pengenalan obyek yang dapat dijumpai sehari hari oleh siswa sekolah dasar   serta lokasi obyeknya dapat memberi bekal awal pengetahuan Geografi tentang “apa” dan “di mana”. Ketrampilan menyampaikan pengetahuan secara sederhana diberikan dalam bentuk kemampuan menggambar denah tentang berbagai obyek.
     Siswa kelas 4, 5 dan 6 diberi pelajaran dengan obyek yang lebih luas mulai dari tingkat kelurahan sampai wilayah Indonesia serta pengenalan nama nama dan letak negara tetangga. Pengenalan bentang alam seperti pantai, gunung, sungai dan pengenalan jenis aktifitas manusia di muka bumi seperti bertani sawah, kebun, hutan, perumahan dan jaringan jalan dapat memberikan bekal pengetahuan awal tentang adanya persamaan dan perbedaan ruang muka bumi, tentunya secara sangat sederhana. Bekal pengetahuan Geografi bagi lulusan sekolah dasar yang telah memperoleh tahap pengenalan atlas dan kemampuan menerangkan letak atau posisi obyek terbatas pada skala nasional merupakan prasyarat minimal untuk proses pembelajaran Geografi pada tingkat sekolah lanjutan. Paling tidak, materi pengetahuan Geografi yang diberikan pada tingkat dasar dapat memicu ketertarikan lulusan sekolah dasar mengembangkan “pola pikir geografi” dalam pelajaran Geografi pada tingkat sekolah lanjutan.
      Namun demikian, oleh karena masuk sebagai bagian pelajaran IPS, sejak awal sekolah formal para anak didik telah diberi pemahaman yang kurang tepat tentang substansi ilmu Geografi, seolah olah Geografi adalah ilmu ilmu sosial. Pada tataran pohon keilmuan, Geografi juga mempelajari obyek fisik yang bersifat eksakta seperti klimatologi, geomorfologi dan geologi serta mempelajari teknologi pengolahan data geografis dan berbagai model analisis spasial. Persepsi masyarakat akan semakin bias dengan adanya berbagai informasi tentang latar belakang para guru yang memberikan pengetahuan Geografi bukan lulusan dari pendidikan Geografi.   
     Keluaran dari proses pembelajaran pada tingkat sekolah dasar seperti yang telah diuraikan memberikan kontribusi terhadap rendahnya mutu pendidikan dasar sehingga menempatkan Indonesia pada ranking 112 dari 145 negara atas Indeks Pembangunan Manusia Indonesia pada tahun 2002, di mana pada tahun 2001 Indonesia menempati ranking 110. Posisi tersebut jauh di bawah Vietnam (109), Philipina (85), Thailand (74), Brunei (31), Singapura (28), Hongkong (26), Jepang (9) dan Amerika Serikat (7). Indeks tersebut diukur berdasarkan nilai dari lima variabel, di samping variabel di atas juga digunakan variabel jumlah penduduk miskin, jumlah kasus kekurangan gizi, jumlah kematian ibu melahirkan dan tingkat pelayanan sosial dasar anak & perempuan seperti imunisasi, persalinan dan sanitasi.  
 
1.b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
 
     Berdasarkan kurikulum pendidikan lanjutan tingkat pertama materi pelajaran Geografi diberikan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri seperti pelajaran Matematika atau Biologi. Materi pelajaran Geografi diberikan mulai kelas I sampai kelas III. Berdasarkan pengkajian terhadap buku Geografi karangan Tim Abdi Guru (2003) yang digunakan oleh para guru, lulusan sekolah lanjutan pertama memperoleh pengetahuan Geografi meliputi :
 
 
Kelas I :
 
a.    peserta didik dapat menjelaskan pengertian peta, atlas dan globe serta dapat mengetahui cara menggunakannya.
b.    peserta didik dapat menjelaskan keadaan wilayah Indonesia ditinjau dari beberapa aspek geografi seperti luas dan letak, morfologi dan iklim.
c.    peserta didik dapat menjelaskan keadaan sumberdaya manusia dan permasalahannya.
d.    peserta didik dapat menjelaskan tata kehidupan sosial dan budaya.
e.    peserta didik dapat menjelaskan keadaan geografi negara tetangga dan hubungannya dengan Indonesia.
 
Kelas II :
 
a.    peserta didik dapat menjelaskan sumberdaya alam Indonesia dan pemanfaatannya serta upaya pelestariannya.
b.    peserta didik dapat menjelaskan berbagai kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan hasil hasilnya.
c.    peserta didik dapat menjelaskan kegiatan ekonomi penduduk seperti perindustrian, perdagangan dan perhubungan.
 
Kelas III :
 
a.     peserta didik dapat menjelaskan pembagian muka bumi atas beberapa benua dan daratan.
b.     peserta didik dapat menjelaskan beberapa ciri khas dari berbagai benua
      dan beberapa negara di kawasannya.
c.     peserta didik dapat menjelaskan potensi alam dan penduduk dunia.
d.     Peserta didik dapat menjelaskan manfaat kerja sama internasional.
 
 Materi pelajaran Geografi seperti diuraikan di atas dapat bermanfaat bagi
peserta didik untuk mulai secara sistematis memahami prinsip prinsip dasar ilmu Geografi, terutama pada konsep ruang muka bumi yang terdiri dari pengetahuan geomorfologi, iklim dan cara menyajikan ke dalam peta, secara sederhana. Para peserta didik mulai memahami batas ruang muka bumi, bukan hanya pada skala lokal, tapi juga skala regional dan global.
     Proses pembelajaran pengetahuan Geografi tahap ini dapat disempurnakan terutama pada aspek latar belakang guru yang memberi pelajaran. Para guru dengan latar belakang pendidikan Geografi akan mampu memberikan materi pelajaran lebih baik sehingga dapat mempermudah proses pembelajaran pada tingkat selanjutnya.
 
1.c. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
 
     Materi pelajaran Geografi pada sekolah lanjutan tingkat atas hanya diberikan pada siswa kelas I dan kelas II. Salah satu faktor yang dapat menghambat kelancaran proses pengembangan ilmu Geografi di Indonesia saat ini adalah tidak adanya materi pelajaran Geografi di kelas III sehingga siswa lulusan SLTA yang ingin melanjutkan studi di perguruan tinggi tidak memiliki bekal informasi bidang ilmu Geografi secara memadai.
     Secara ringkas muatan pelajaran Geografi pada tingkat lanjutan atas dapat disederhanakan seperti uraian di bawah ini (Wardiyatmoko dkk, 2003):
Kelas I :
 
-          pendalaman materi pelajaran Geografi tingkat dasar dan lanjutan pertama
     seperti tentang permukaan bumi, perairan darat dan laut, cuaca dan iklim,
     flora dan fauna, kependudukan dan tentang peta.  
-    pengenalan tentang   teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi
          geografi (remote sensing dan geographical information system).
-   beberapa pengertian yang perlu disempurnakan dalam tahap ini adalah
    antara lain menyangkut definisi geografi karena obyek ruang angkasa tidak
    termasuk lingkup geografi, atau geografi regional, geologi, hidrologi adalah
    bukan cabang geografi.
 
Kelas II :
 
-          mengenal istilah dan pengertian pemukiman pedesaan dan perkotaan,
interaksi kota, pusat pertumbuhan, wilayah industri, relokasi industri
-          mengenal istilah dan pengertian AFTA 2003
-          mengenal istilah kawasan, daerah, wilayah formal
-          memperoleh pengetahuan umum tentang berbagai negara di dunia melalui deskripsi geografis secara lebih lengkap
 
     Secara umum materi pelajaran Geografi di sekolah lanjutan seperti diuraikan di atas cukup memadai terutama jika diberikan oleh guru Geografi. Dalam rangka menyempurnakan proses pembelajaran tahap selanjutnya dipandang perlu untuk memberikan pelajaran Geografi bagi siswa kelas III dengan materi mengetahui lebih banyak mengenai “apa saja yang mampu dilakukan oleh Geograf” di berbagai kegiatan pembangunan. Artinya, bagi para lulusan SLTA paling tidak sudah mengetahui dengan baik mengenai bidang pekerjaan yang bagaimana yang dapat ditangani oleh sarjana Geografi.
      Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa di samping berkaitan dengan materi pelajaran, faktor latar belakang pendidikan para guru yang mengajar dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Walaupun belum pernah dilakukan penelitian namun dapat diperkirakan bahwa tidak sedikit dijumpai guru yang mengajar Geografi berasal dari disiplin ilmu non Geografi.  
     Permasalahan yang terjadi pada tahap ini merupakan salah satu hambatan nyata dalam proses pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi antara lain berpengaruh dalam hal jumlah penerimaan dan mutu mahasiswa baru. Dua hal yang perlu segera diatasi adalah (1) pemberian materi pelajaran Geografi bagi siswa kelas 3 dengan materi lebih banyak diarahkan pada “apa yang dapat dikerjakan para geograf” dan (2) meningkatkan jumlah guru Geografi dengan latar belakang pendidikan Geografi.
    Telaah materi dan proses pembelajaran mata pelajaran Geografi mulai dari SD sampai SLTA di Indonesia menunjukkan adanya beberapa kelemahan sehingga perlu adanya perbaikan yaitu (1) mata pelajaran Geografi di tingkat SD diberikan tersendiri seperti di tingkat SLTP dan SLTA, (2) penyempurnaan materi kelas I SLTA, (3) pembukaan mata pelajaran Geografi bagi siswa kelas III SLTA dan (4) pelajaran Geografi diasuh oleh guru dengan latar belakang pendidikan Geografi. Pada saat ini terdapat 148.516 SD, 20842 SLTP dan 7785 SLTA (BPS, 2002) dan apabila diasumsikan satu sekolah membutuhkan satu orang guru Geografi maka paling tidak dibutuhkan sebanyak 177143 orang guru Geografi.
     
Permasalahan
 
     Kondisi pendidikan Geografi di SD,SLTP dan SLTA seperti diuraikan secara hipotetis mengakibatkan lambatnya proses pembelajaran pengetahuan Geografi di Indonesia. Hal tersebut menyebabkan relatif belum berkembangnya “pola pikir geografis” (geographical thinking) yang pada gilirannya berakibat pada rendahnya apresiasi terhadap pentingnya peranan Geografi. Fenomena tersebut terjadi hampir pada semua lapisan masyarakat termasuk para penentu kebijakan dalam pembangunan wilayah tingkat nasional maupun para pengambil keputusan tingkat lokal.
     Berdasarkan hal tersebut secara sederhana dapat dikemukakan bahwa terdapat indikasi adanya hubungan antara rendahnya tingkat perkembangan proses pembelajaran pengetahuan Geografi dan adanya berbagai persoalan seperti diuraikan pada bagian awal. Permasalahan pada tahap pembelajaran pengetahuan Geografi selama ini memberikan kontribusi penting dalam proses pendidikan disiplin ilmu Geografi pada tingkat perguruan tinggi.
 
2. Pembelajaran Geografi di Perguruan Tinggi
 
     Pengkajian bahan ajar atau kurikulum Geografi di perguruan tinggi dibatasi pada program studi strata 1 yang menghasilkan lulusan pendidikan Geografi. Pada saat ini pola pendidikan strata 1 Geografi terdiri atas (1) program pendidikan yang menghasilkan Sarjana Geografi atau yang bersifat keilmuan dan (2) program pendidikan yang menghasilkan Sarjana Kependidikan Geografi atau yang bersifat ilmu kependidikan. Ke dua jenis pendidikan tersebut memiliki tujuan yang berbeda. Dalam makalah ini telaah dilakukan terhadap kurikulum ke dua program studi tersebut.
 
2.1. Program studi Ilmu Geografi
 
     Pada saat ini di Indonesia terdapat 6(enam) perguruan tinggi penyelenggara pendidikan program studi Geografi yaitu 2(dua) PTN yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada, dan 4(empat) PTS yaitu Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Muslim Nusantara Medan, STKIP Abdi Pendidikan dan STKIP PGRI Sumatra Barat (Dikti Depdiknas, 2002). Sementara itu data jumlah mahasiswa aktif tahun 2002 adalah 264 orang (UI) dan 1186 orang (UGM) atau total 1450 orang. Rata rata jumlah mahasiswa yang diterima setiap tahun dari ke dua perguruan tinggi tersebut diperkirakan sebanyak 250 orang dan rata rata jumlah lulusannya sebanyak 150 orang. Dalam tulisan ini data jumlah mahasiswa dan lulusan dari keempat PTS program studi Geografi belum dapat disajikan.
     Berdasarkan data tersebut di atas dapat diketahui bahwa jumlah perguruan tinggi penyelenggara program studi Geografi di Indonesia masih relatif sangat sedikit dengan daya tampung sangat terbatas. Dengan asumsi jumlah mahasiswa Geografi dari PTS sama dengan PTN dan jumlah total mahasiswa di Indonesia diperkirakan tidak melebihi angka dua juta , maka jumlah mahasiswa Geografi diperkirakan kurang dari 0.5% dari jumlah mahasiswa di Indonesia. Dari segi lokasi, jumlah provinsi yang memiliki perguruan tinggi penyelenggara program studi Geografi sebanyak kurang dari 20% dari total jumlah provinsi di Indonesia. Fakta tersebut dapat dipandang sebagai salah satu indikator yang dapat menunjukkan masih rendahnya perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap pendidikan Geografi di Indonesia.
      Di samping faktor jumlah dan sebaran lokasi PT penyelenggara, faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan ilmu Geografi adalah belum jelasnya kualifikasi lulusan bagi masyarakat pengguna. Salah satu faktor yang dapat menentukan kualifikasi lulusan adalah tingkat kompetensi dan materi kurikulum program studi. Penyempurnaan kurikulum program studi Geografi, kurikulum inti dan kurikulum nasional, perlu diberi perhatian serius dalam rangka memajukan    pendidikan Geografi di Indonesia.
     Keberadaan kurikulum baku program studi Geografi antara lain diperlukan oleh BAN PT untuk melakukan evaluasi dan akreditasi secara nasional. Hasil evaluasi BAN PT dapat digunakan oleh setiap penyelenggara program untuk meningkatkan proses belajar mengajar dalam mencapai visi dan misi yang ditetapkan. Selanjutnya akan dilakukan telaah singkat terhadap kurikulum nasional program studi Geografi.
 
a. Kurikulum nasional
 
     Penyelengaraan pendidikan program studi Geografi di perguruan tinggi pada saat ini masih menggunakan acuan kurnas 1994, walaupun akhir akhir ini proses penyempurnaan kurnas sedang dilaksanakan dan sudah sampai tahap final. Kurikulum inti sebagai komponen terpenting dalam kurnas merupakan acuan pokok bagi setiap program studi penyelenggara pendidikan Geografi sekaligus merupakan salah satu komponen evaluasi dalam pelaksanaan akreditasi BAN PT. Oleh karena itu kurikulum inti dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui tingkat kompetensi lulusan yang diharapkan atau dengan perkataan lain mutu sarjana Geografi yang bagaimana yang diharapkan saat ini.  
         
 
 
b. Kurikulum inti
 
     Diskusi panjang telah dan akan dilakukan secara terus menerus oleh para geograf Indonesia untuk merumuskan mata kuliah muatan kurikulum inti. Forum diskusi formal melalui pertemuan antar program studi dan atau forum organisasi profesi di bawah Ikatan Geograf Indonesia (IGI) melalui ajang seminar nasional, pekan ilmiah tahunan (PIT) atau kongres berusaha menemukan kesepakatan bersama tentang kurikulum inti program studi Geografi. Adanya keragaman dari sudut pandang terhadap konsepsi geografi dan konsep pengembangannya dalam berbagai ajang diskusi diharapkan melahirkan suatu kurikulum inti yang ideal dan layak operasional terutama bagi perguruan tinggi di luar UI dan UGM mengingat keterbatasan SDM dan teknologi yang dimiliki. Dengan demikian akan sekaligus mempermudah pihak BAN-PT dalam menggunakan produk kurikulum inti tersebut untuk melaksanakan evaluasi melalui kegiatan akreditasi secara nasional.
     Dalam tulisan ini tidak disajikan materi kurikulum program studi Geografi dari berbagai perguruan tinggi yang ada. Beberapa acuan menyangkut pengertian dan definisi Geografi berbagai literatur dapat dijadikan dasar untuk menyusun konsep kurikulum inti seperti harapan yang telah dijelaskan di atas.
Agar dapat diperoleh “benang merah” konsep pemikiran tentang berbagai definisi Geografi pada setiap jamannya, Haggett (2001) mencoba menyajikan kutipan dari beberapa pengarang sebagai berikut :
 
-Geography is concerned to provide an accurate, orderly and, relational       description of the variable character of the earth’s surface (R. Hartshorne, “Perspectives on the Nature of Geography”, Murray, London, 1959, p.21).
-Its goal is nothing less than an understanding of the vast, interacting system comprising all humanity and its natural environment on yhe surface of the earth (E.A.Ackerman, “Annals of the Association of American Geographers,53”,1963, p.435).
-Geography seeks to explain how the subsystems of the physical environment are organized on the earth’s surface, and how man distributes himself over the earth in relation to physical features and to other men (Ad Hoc Committee on Geography, “The Science of Geography” – Academy of Sciences, Washington, D.C, 1965. p.1).
-Geography … a science concerned with the rational development and testing of theories that explain and predict the spatial distribution and location of various characteristics on the surface of the earth (M.Yeates, “Introduction to Quantitative Analysis in Economic Geography”, Prentice Hall, Engelwood Cliffs, N.J, 1968,p.1)
-Geography is the science of place. Its vision is grand, its view panoramic. It sweeps the surface of the Earth, charting the physical, organic, and cultural terrains…(Science, “Review of Harm deBlij’s Geography Book”, John Wiley, New York, 1995).
-Geography is an integrative discipline that brings together the physical and human dimensions of the world in the study of people, places, and environments (American Geographical Society et all, “Geography for Life”, National Geographic Society, Washington, D.C, 1994).
 
     Walaupun belum dapat memberikan informasi secara lengkap paling tidak definisi definisi di atas memperlihatkan adanya perbedaan kebutuhan manusia pada setiap periode definisi geografi. Perhatian geograf dimulai dengan analisis ruang muka bumi sebagai lingkungan tempat hidup manusia, aspek lingkungan sebagai faktor yang mempengaruhi manusia dalam mengorganisasi dirinya, dilanjutkan dengan bagaimana mengorganisasi ruang muka bumi melalui pendekatan hubungan ekologis terhadap lingkungan manusia, dan pada akhirnya para geograf tertarik mengembangkan konsep keragaman ruang muka bumi dan telaah potensi kekayaannya sesuai karakteristik wilayah masing masing. Oleh karena itu dalam menetapkan kebijakan pembangunan wilayah  seyogyanya perlu memperhatikan faktor karakteristik wilayah, sebagai salah satu contoh kritik para geograf saat ini, agar dapat mengurangi persoalan konflik yang menyangkut “tanah” dalam konteks “ruang”.
     Dalam rangka menyusun kurikulum inti, pemikiran Haggett (2001 p.764) tentang struktur internal ilmu Geografi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan agar aspek keragaman (diversity) dapat mencerminkan bahwa geografi adalah satu (unity). Pendekatan integratif tersebut terdiri atas (1) spatial analysis yaitu (a) theoretical (spatial interaction theory, diffusion theory, others) dan (b) applied (watershed development, urban problems, others), (2) ecological analysis yaitu (a) theoretical (environmental structures, ecosystems, others) dan (b) applied (natural resources geography, hazard appraisal, others), (3) regional complex analysis yaitu (a) theoretical (regional growth theory, interregional flow theory, others), dan (b) applied (regional forecasting, regional planning, others).
     Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa konsep pembidangan (geografi fisik dan geografi manusia) sudah tidak relevan saat ini. Oleh karena itu perumusan kurikulum inti seyogyanya mengikuti perkembangan paradigma yang berlaku secara universal agar para geograf Indonesia mampu memberikan kontribusi nyata terhadap perkembangan disiplin ilmu Geografi. Kerangka umum pemikiran Haggett di atas mampu mengakomodasi berbagai persoalan geografis di Indonesia saat ini dan di masa depan sebagai obyek penelitian para geograf seperti contoh persoalan yang dikemukakan pada awal tulisan ini.
     Apabila disederhanakan, kurikulum inti paling tidak mencerminkan 3(tiga) ciri utama yaitu (1) core keilmuan (2) kultur masyarakat (3) penguasaan teknologi.
Mata kuliah Meteorologi/Klimatologi, Geologi/Geomorfologi, Kartografi, Konsep dan Metodologi Penelitian Geografi merupakan ciri pertama. Geografi penduduk dan Penggunaan tanah (land use) mengakomodasi ciri ke dua. Mata kuliah SIG dan Penginderaan Jauh mengakomodasi ciri ke tiga. Walaupun masih terbuka ruang untuk didiskusikan lebih lanjut, penguasaan kelompok mata kuliah diatas minimal mampu membentuk ciri seorang “geograf”. Kemampuan merumuskan persoalan yang dihadapi baik oleh pemerintah, swasta atau masyarakat umum akan dapat memberikan nilai tambah bermakna bagi lulusan sekaligus merupakan mata rantai dalam kerangka pengembangan ilmu Geografi.         
 
c. Mata Kuliah Lokal
 
     Materi kurikulum inti yang seragam bagi semua penyelenggara program studi Geografi di Indonesia merupakan sarana untuk menghasilkan sarjana Geografi dengan kompetensi yang tidak berbeda, baik lulusan dari perguruan tinggi negeri maupu n swasta. Artinya, setiap lulusan memiliki core-competence sama. Oleh karena jumlah sks yang dipersyaratkan untuk meraih kesarjanaan melebihi jumlah sks kurikulum inti (144 sks) maka akan terdapat keragaman kurikulum pendidikan pada berbagai program studi Geografi terutama pada mata kuliah muatan lokal (mata kuliah lokal).
     Apabila jumlah sks mata kuliah kurikulum inti telah ditetapkan maka jumlah mata kuliah lokal dan jumlah sksnya dapat ditentukan dengan catatan jumlah sks total sebanyak 144 sks. Salah satu alternatif penetapan mata kuliah lokal untuk mencerminkan ciri khusus perguruan tinggi penyelenggara adalah dengan memperhatikan 3 (tiga) hal penting yaitu (1) jumlah dan mutu staf pengajar (2) sarana dan prasarana pendidikan dan (3) kebutuhan pasar. Bertitik tolak dari analisis optimalisasi ke tiga komponen tersebut dapat ditetapkan ciri khusus sarjana Geografi dari masing masing perguruan tinggi. Pada tahap selanjutnya, tingkat kompetensi dan ciri lulusan yang diharapkan tersebut dapat digunakan untuk merumuskan visi dan misi program studi sebagai cermin keinginan di masa depan.
 
Permasalahan
     
     Pembahasan tentang kurikulum program studi Geografi seperti disampaikan di atas dilakukan dengan tujuan untuk tercapainya kesepakatan adanya kesamaan kualifikasi sarjana Geografi di Indonesia. Kejelasan kualifikasi tenaga sarjana Geografi diperlukan untuk memudahkan para pengguna dalam memanfaatkan profesi Geografi. Faktor tidak jelasnya kualifikasi tersebut selama ini dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam memasyarakatkan peran Geografi di Indonesia. Beberapa persoalan yang dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, secara hipotetis dapat dijadikan salah satu bukti adanya jalinan sebab-akibat.    
     Pada saat ini, kecuali tiga PTS yang tidak ada datanya, tiga perguruan tinggi penyelenggara program studi Geografi yaitu Departemen Geografi FMIPA UI membuka satu program studi, sedangkan Fakultas Geografi UGM dan Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta membuka lebih dari satu program studi Geografi, dengan nama yang berbeda. Oleh karena ada perbedaan nama program studi maka akan ada perbedaan kompetensi lulusan dan perbedaan kurikulum untuk menghasilkan kompetensi tersebut. Hal inilah yang barangkali selama ini menjadi faktor kesulitan dalam merumuskan core curriculum program studi Geografi di Indonesia. Hal ini akan berbeda jika nama program studi lain kecuali program studi “Geografi” merupakan program pengkhususan atau peminatan.
    Keragaman program studi Geografi, baik nama program maupun muatan kurikulumnya menjadi salah satu hambatan dalam pelaksanaan kegiatan akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Salah satu faktor yang menghambat teknis pelaksanaan evaluasi adalah kode program studi dan nama program studi yang ditetapkan Ditjendikti. Program studi bidang Geografi diberi nama program studi Geografi Manusia dan program studi Geografi Fisik dan Lingkungan (BAN-PT, 2003), sedangkan yang digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan sejak awal adalah Surat Keputusan Menteri Pendidikan dengan nama program studi Geografi.
     Persoalan inilah yang barangkali dapat dianggap sebagai titik awal untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh terhadap sistem pendidikan program studi Geografi di Indonesia. Untuk itu kepada seluruh geograf yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pendidikan Geografi di Indonesia perlu menyatukan visi dan menyusun rencana aksi untuk melahirkan rumusan kompetensi dan struktur kurikulum baku program studi Geografi, dalam waktu yang tidak terlampau lama, untuk meningkatkan peran serta dalam memberikan kontribusi solusi berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa dan negara saat ini dan di masa depan.     
 
B. Program studi Pendidikan Geografi
 
     Dalam bagian ini tidak dimaksudkan untuk melakukan telaah rinci tentang hal hal yang berkaitan dengan kompetensi dan kurikulum program studi akan tetapi pembahasannya lebih difokuskan pada bagaimana pola sebaran perguruan tinggi penyelenggara sebagai “produsen” guru Geografi dan bagaimana pola se baran SD, SLTP dan SLTA dan yang sederajat sebagai “konsumen” di seluruh Indonesia. Melalui kajian ini diharapkan dapat diketahui di wilayah mana saja peluang terjadinya hambatan proses pembelajaran pengetahuan Geografi dan bagaimana alternatif pemecahannya.
     Akibat perubahan kebijakan pengembangan perguruan tinggi di Indonesia terjadi perubahan nama institusi pendidikan program studi bidang Pendidikan Geografi dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) menjadi Fakultas Pendidikan di bawah institusi Universitas Negeri. Sebagai contoh IKIP Jakarta menjadi Universitas Negeri Jakarta.
     Pada saat ini di seluruh Indonesia terdapat 16 PTN dan 9 (sembilan) PTS penyelenggara program studi Pendidikan Geografi dan tersebar tidak merata di seluruh propinsi dan terkonsentrasi sebagian besar di Jawa seperti terlihat pada peta 2 (Dikti Depdiknas, 2002). Apabila dikaitkan dengan sebaran SD, SLTP dan SLTA sebagai “konsumen” (peta 3) dapat diketahui bahwa beberapa wilayah di Indonesia seperti Kalimantan dan sebagian Sumatra terindikasi potensial kekurangan guru Geografi. Akibat selanjutnya dapat diduga bahwa di daerah daerah tersebut mengalami hambatan dalam proses pembelajaran Geografi dan pada akhirnya secara hipotetis dapat dikatakan bahwa tingkat perkembangan ilmu Geografi di wilayah tersebut relatif lebih rendah dibanding daerah lain.
     Sebagaimana telah diuraikan di atas, kurikulum merupakan salah satu faktor penentu proses pengembangan disiplin ilmu Geografi. Melalui pengamatan terhadap salah satu sampel kurikulum program studi Pendidikan Geografi dapat diketahui bahwa beban studi untuk menjadi sarjana adalah sebanyak 152 sks termasuk skripsi, sekitar 20 % diantaranya adalah muatan mata kuliah pendidikan, sedangkan 80% sisanya adalah mata kuliah Geografi. Apabila diperhatikan, dalam struktur kurikulum terdapat mata kuliah inti bidang Geografi seperti Pengantar / Filsafat Geografi, Geologi / Geomorfologi, Meteorologi / Klimatologi dan terdapat mata kuliah SIG dan Penginderaan Jauh. Berdasarkan materi mata kuliah tersebut dan keragaman mata kuliah sistematik dan regional yang diperoleh selama studi, dapat disimpulkan bahwa lulusan program studi pendidikan Geografi di Indonesia dinilai mampu menjalankan profesi sebagai guru Geografi, baik di SD, SLTP maupun SLTA dan bahkan sebagai dosen di perguruan tinggi sejenis.
     Paling tidak ada dua persoalan mendasar dalam hubungannya dengan tulisan ini yaitu (1) bagaimana agar jumlah kebutuhan guru Geografi dapat dipenuhi oleh lulusan PT yang ada?, (2) bagaimana agar tidak terjadi ketimpangan persebaran lokasi “produsen” dengan persebaran lokasi sekolah yang membutuhkan?.
     Berdasarkan data jumlah total mahasiswa kependidikan Geografi sebanyak 4133 orang dan jumlah lulusan tahun 2001/2002 sebanyak 691 orang (Dikti Depdiknas, 2002) dan jika diasumsikan seluruh PT di Indonesia hanya mampu menghasilkan lulusan sebanyak 2000 orang setiap tahun, selama 30 tahun terakhir diperkirakan menghasilkan 60000 orang sarjana Pendidikan Geografi, jumlah sekolah dan variabel lain dianggap tetap, maka dibutuhkan waktu paling tidak 50 tahun lagi agar setiap sekolah di Indonesia memiliki seorang guru Geografi.
     Apabila dikaitkan dengan kebutuhan guru Geografi di SLTP dan SLTA maka diperkirakan masih diperlukan waktu lebih dari 10 tahun agar dapat memenuhi seluruh SLTP dan SLTA di Indonesia. Angka perkiraan tersebut diungkapkan untuk memberikan informasi awal tentang adanya kekurangan guru Geografi yang selama ini terjadi di Indonesia. 
 
                            PEMASYARAKATAN PERAN GEOGRAFI
 
     Kegiatan pemasyarakatan peran Geografi dapat dilakukan melalui berbagai cara sesuai kondisi dan dinamika masyarakat, baik jalur formal seperti melalui kegiatan seminar hasil penelitian ilmiah dan penelitian terapan, kegiatan praktis    pembangunan wilayah dalam berbagai skala atau jalur non formal antara lain melalui kegiatan lembaga swadaya masyarakat atau individu. Diseminasi hasil penelitian dan pemikiran Geografi melalui berbagai jurnal ilmiah merupakan salah satu cara efektif pemasyarakatan peran Geografi. Organisasi profesi seperti IGI dan IGEGAMA dapat melakukan fungsi sebagai interface untuk memasyarakatkan produk pemikiran akademis Geografi ke dalam lingkungan pemerintah dan swasta.
     Keragaman jenis hasil penelitian baik dari segi jumlah dan mutunya serta intensitas komunikasi melalui jaringan masyarakat geografi dapat meningkatkan apresiasi pengguna terhadap peranan Geografi di Indonesia. Di samping itu informasi tentang lapangan kerja dan konsentrasi sebaran lulusan Geografi pada setiap bidang pekerjaan dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana peran Geografi di Indonesia.
     Secara umum lapangan kerja bagi lulusan Geografi dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu :
                (1) bidang kerja untuk menjaga keberlanjutan eksistensi ilmu Geografi
(2)   bidang kerja untuk mendukung pengembangan ilmu Geografi
(3)   bidang kerja untuk melaksanakan terapan ilmu Geografi
Di samping itu usaha pengelompokan dapat dilakukan menurut lingkup pekerjaannya seperti pengelolaan lingkungan, pendidikan, SIG dan PJ, kartografi dan perencana, atau menurut institusi kerja seperti perusahaan bisnis atau industri swasta, lembaga pemerintah pusat dan daerah (lokal) , BUMN dan lembaga pendidikan.
     Menurut Haggett (2001, p.768) lulusan program studi Geografi di Amerika Serikat paling banyak bekerja pada bidang pengelolaan lingkungan (13%) dan paling sedikit bekerja sebagai perencana (7%) sedangkan berdasarkan institusi kerjanya paling banyak bekerja di perusahaan bisnis/industri swasta (40%) dan paling sedikit bekerja di lembaga pemerintah lokal (10%). Fakta tersebut menunjukkan bahwa sektor swasta di Amerika Serikat memiliki apresiasi paling besar terhadap profesi geograf dibanding sektor lainnya.   
     Walaupun belum ada penelitian secara lengkap tentang sebaran sarjana Geografi di Indonesia, namun dapat diperkirakan bahwa sekitar 5000 orang lulusan Geografi UI dan UGM tersebar pada semua bidang pekerjaan seperti diuraikan di atas. Secara kualitatif dapat dikemukakan bahwa sebagian besar bekerja pada lembaga pemerintah dan lembaga pendidikan sedangkan paling sedikit bekerja pada lembaga bisnis swasta. Di Samping faktor budaya, faktor lain yang diduga mempengaruhi hal tersebut adalah belum jelasnya selling-point profesi Geografi selama ini.
      Berdasarkan data proyek penelitian yang dilaksanakan Pusat Penelitian Geografi Terapan (PPGT) Departemen Geografi FMIPA UI dan informasi tempat bekerja para lulusan Geografi akhir akhir ini ada indikasi semakin besarnya apresiasi masyarakat swasta terhadap profesi dan keahlian Geografi. Hal ini kemungkinan disebabkan antara lain oleh faktor keahlian teknis SIG dan PJ yang dikuasai lulusan Geografi saat ini. Oleh karena itu faktor yang menjadi “selling-point” tersebut dapat secara efektif dimanfaatkan dalam setiap kegiatan pemasyarakatan peranan Geografi di berbagai lingkungan masyarakat.
     Upaya pemasyarakatan peran Geografi perlu dilakukan secara intensif karena adanya kecenderungan penurunan perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap keberadaan pendidikan Geografi di Indonesia. Wacana tentang akan dihapuskannya pelajaran Geografi di sekolah adalah sekedar contoh, walaupun pada akhirnya pemerintah menolak pemikiran tersebut. Contoh lain adalah belum adanya kemauan politik pemerintah untuk menetapkan profesi Geografi sebagai profesi penting sejajar dengan ekonomi, hukum atau teknik.
    
 
 
 
                                                         PENUTUP
      
      Persoalan geografis dalam lingkup nasional dan lokal maupun regional dan sektoral seperti yang telah dikemukakan dikaitkan dengan uraian tentang esensi disiplin ilmu Geografi, pendidikan Geografi, pemasyarakatan dan apresiasi terhadap peranan Geografi di Indonesia menghasilkan beberapa temuan penting sebagai berikut :
 
1. Pelajaran Geografi belum ditetapkan menjadi mata pelajaran wajib di SD dan
     diberikan bersama dengan pelajaran sosial lain (di bawah pelajaran IPS).
2. Pelajaran Geografi tidak diberikan kepada siswa kelas III SLTA.
3. Materi pelajaran Geografi di SD, SLTP dan SLTA belum disusun secara berke  
     sinambungan menurut kompetensi masing masing.
4. Pelajaran Geografi lebih banyak diberikan oleh guru yang tidak memiliki latar         
     pendidikan   sarjana Geografi   karena jumlah sarjana pendidikan Geografi 
     lulusan PT masih belum dapat memenuhi kebutuhan guru Geografi.
5. Beberapa provinsi di Indonesia seperti semua provinsi di Kalimantan, Jambi di 
    Sumatra dan Sulawesi Tengah menghadapi permasalahan kekurangan guru   
    Geografi karena tidak adanya perguruan tinggi penyelenggara Geografi.
6. Berdasarkan data yang diperoleh dibutuhkan waktu tidak kurang dari 30 tahun 
    untuk memenuhi kebutuhan guru Geografi setiap sekolah di seluruh Indonesia
7. Jumlah penyelenggara program studi ilmu Geografi baru ada enam perguruan
    tinggi, dua PTN dan empat PTS dan seluruhnya tersebar di lima provinsi atau   
    baru mencakup sekitar 15% dari seluruh provinsi di Indonesia.
8. Jumlah mahasiswa Geografi di Indonesia diperkirakan baru mencapai kurang
    dari 0.5% dari total mahasiswa seluruh perguruan tinggi dan baru meluluskan
    sekitar 5000 sarjana Geografi yang telah bekerja di berbagai lembaga baik
    pemerintah maupun swasta.
   
    Berdasarkan temuan di atas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan umum sebagai berikut :
 
1. Perkembangan pendidikan Geografi di Indonesia masih dalam tahap awal untuk menemukan jatidiri. Setelah dapat menetapkan kompetensi setiap jenjang pendidikan dari SD hingga PT dengan menetapkan materi ajar atau kurikulum baku maka pada saat itulah baru mulai dilakukan evaluasi untuk menentukan tingkat perkembangan ilmu Geografi di Indonesia.
2.   Kondisi pendidikan Geografi yang berlangsung selama ini secara hipotetis 
mengakibatkan masih rendahnya apresiasi terhadap peran Geografi baik dalam
lingkup pengambilan keputusan tingkat nasional, regional maupun lokal sehingga
membuka peluang terjadinya berbagai permasalahan seperti dikemukakan dalam awal tulisan ini.
3. Berbagai persoalan terutama yang berkaitan dengan ketiadaan data dan informasi geografis secara lengkap, tepat dan terbaru mengakibatkan inefisiensi baik dari segi tenaga, dana dan waktu dalam kegiatan pembangunan wilayah.
4. Usaha dan komitmen para geograf terutama yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan pendidikan yang dipandang kurang fokus terhadap substansi permasalahannya merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi signifikan terhadap kondisi perkembangan pendidikan Geografi saat ini.    
 
    Sebagai bagian akhir tulisan disampaikan sebuah harapan pada kesempatan PIT IGI saat ini dapat dilahirkan minimal sebuah draft final kurikulum inti dan kurikulum nasional program studi Geografi dan kesepakatan untuk melahirkan kurikulum pendidikan Geografi sekaligus dengan usaha mengembangkan materi ajar Geografi di sekolah mulai dari SD hingga SLTA, tanpa mengabaikan arti penting berbagai karya ilmiah yang berkaitan dengan tema “ecotourism” seperti ditetapkan panitia PIT IGI 2003.  
 
                                             DAFTAR BACAAN
 
Anonimous, 2002,   ”Direktori Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia”, Ditjendikti,    
                            Depdiknas.
……………, 2002, ”Direktori Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia” Ditjendikti,
                            Depdiknas.
……………, 2002, “Statistik Indonesia”, Biro Pusat Statistik.
……………, 2003, “Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi” Dikti Diknas.
Boar, B.H,1997, ”Strategic Thinking For Information Technology”, John Willey &
                            Sons, Inc, New York.
DeBlij, H.J, Peter O. Muller, 1992, ” Gepgraphy. Regions and Concepts ”. John  
                            Willey & Sons, Inc, NY.
Dodds, K and David Atkinson, 2000, ‘Geopolitical traditions”, Routledge Taylor &
                            Francis Group, London.
Haggett, P, 2001,”Geography. A Global Synthesis”. Prentice Hall, NY.
Holt-Jensen, A, 1980,   “Geography. Its History and Concepts”, Harper & Row,
                            Publiser, London.
Johnston, R.J , at all, 2002,   “Geographies Of Global Change. Remapping the
                            World”. Second Edition, Blackwell Publising Co, USA.
 
Pakpahan, R, 2003, “Ilmu Pengetahuan Sosial”. Grasindo, Jakarta.
Sandy, IM, 1996,     “Republik Indonesia. Geografi regional”,    Jurusan Geografi
                            FMIPA UI, Jakarta.
Sandy, IM, 1995, “Atlas Republik Indonesia” Jurusan Geografi FMIPA UI,Jakarta
Soeprapto, H, 2002,    “Arah dan strategi politik luar negeri Indonesia dalam
                             menangani masalah perbatasan RI dan negara asing”makalah
                             workshop , LIPI, Jakarta.
Tim Abdi Guru, 2003, “Geografi SLTP”, Penerbit Erlangga, Jakarta
Wardiyatmoko, K, 2003,”Geografi SMU” Penerbit Erlangga, Jakarta. 
 
 
 
    
 
 
 
 
 
 
 
 
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free