Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air kehidupan akan menjadi gersang.
Geographer - Free Researcher - Geography Teacher - Hydrology Interest - Aktivis

Hukum Lingkungan

 
1.1 Pendahuluan
        Kebijakan konversi lahan bermula pada tahun 1980-an saat turunnya SK Menteri Pertanian No. 682/Kpts/Um/1981 tentang pengertian dan tata cara penentuan luas hutan optimal dan hutan produksi yang dapat dikonversi serta hutan produksi tetap, kawasan hutan yang dilepas untuk dirubah peruntukkannya dalam memenuhi kebutuhan perluasan pengembangan wilayah di luar bidang kehutanan seperti transmigrasi, pertanian, perkebunan, industri, pemukiman dan lain-lain adalah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan non kehutanan, khususnya pertanian (Manurung, 2000). Namun pada saat sekarang ini banyak sekali terjadi konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian (perumahan, kawasan industri, kawasan publik). Konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian akan menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan karena lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dampak negatif konversi lahan sawah yang paling sering menjadi sorotan masyarakat adalah terganggunya ketahanan pangan akibat berkurangnya kapasitas produksi pangan, berkurangnya lapangan kerja pertanian, dan terjadinya marjinalisasi sektor pertanian (Irawan, 2008).
Fenomena konversi lahan ini terjadi akibat persaingan dalam pemanfaatan lahan yang muncul akibat keterbatasan sumber daya lahan, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Sumber daya lahan dalam hal ini tanah (land) jumlahnya terbatas dan tetap, sehingga semakin lama nilai tanah ini akan semakin tinggi yang disebabkan oleh keterbatasan tersebut. Meningkatnya kelangkaan lahan akibat pertumbuhan penduduk yang menyebabkan tingginya permintaan akan lahan untuk kegiatan pertanian dan non-pertanian (permukiman) pada akhirnya menjadi awal penyebab konversi lahan ini, yang berefek domino terhadap hilangnya hutan alam.  
Proses konversi lahan yang dimulai dengan konversi hutan untuk lahan pertanian kemudian berlanjut kepada konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang terutama untuk permukiman. Proses konversi lahan ini jika di analisis lebih mendalam maka yang paling besar terkena dampaknya adalah kawasan hutan yang lama kelamaan semakin menyempit. Konversi hutan alam ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan antara lain yaitu hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati hutan hujan tropika, berkurang/hilangnya habitat satwaliar, dan munculnya bencana kebakaran hutan dan lahan akibat pembukaan hutan dengan cara membakar. Masalah lainnya, konversi hutan alam sering menimbulkan konflik sosial yang berawal dari permasalahan konflik lahan, yang merugikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Upaya pengendalian konversi lahan sebenarnya sudah sejak lama dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan berbagai peraturan terkait konversi lahan. Namun upaya ini belum mampu menekan laju konversi lahan yang semakin masif pada waktu belakangan ini. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk merumuskan mengenai perlunya revitalisasi kebijakan konversi lahan dalam rangka meningkatkan efektifitas kebijakan publik.        
 
1.2 Rumusan Masalah (Statement Problem)
        Masalah pokok yang diajukan dalam makalah ini adalah,
1. Konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian berlangsung terus menerus.
2. Instrumen penahan laju konversi lahan tidak efektif dalam upaya mencegah konversi lahan.
3. Diperlukan revitalisasi kebijakan konversi penggunaan lahan.
 
Konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian akan menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan, karena lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dapak negatif konversi lahan sawah yang paling sering menjadi menjadi sorotan masyarakat adalah terganggunya ketahanan pangan akibat berkurangnya kapasitas produksi pangan, berkurangnya lapangan kerja pertanian, dan terjadinya marjinalisasi sektor pertanian. Di samping itu konversi lahan sawah juga dapat menimbulkan masalah lingkungan, misalnya meningkatnya intensitas banjir sebagaimana yang terjadi di kawasan Bogor dan Cianjur.
Meskipun sudah dilakukan upaya pengendalian kegiatan konversi lahan sawah oleh pemerintah, namun upaya yang dilakukan belum mampu menekan laju konversi lahan sawah. Bahkan kegiatan ini sudah merambat ke konversi lahan sawah irigasi, yang sebenarnya merupakan lahan potensial untuk usaha tani padi sawah.
Jurnal ini mengungkapkan perlunya revitalisasi kebijakan konversi lahan dalam rangka meningkatkan efektifitas kebijakan yang sudah ada. Dalam jurnal ini dibahas mengenai tinjauan konversi lahan sawah, pola pemanfaatan, dampaknya terhadap produksi padi. Selain itu substansi faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan dan komponen kebijakan pengendalian konversi lahan yang diterapkan pemerintah, serta kelemahan dalam kebijakan yang memerlukan revitalisasi juga dijelaskan dalam jurnal ini.
Pada tataran nasional, terutama di Pulau Jawa konversi lahan sawah lebih banyak disebabkan oleh kebutuhan lahan untuk pembangunan pemukiman yang diakibatkan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat. Sementara di luar Jawa. Konversi lahan lebih banyak disebabkan oleh kebutuhan lahan untuk pembangunan sarana transportasi dan sarana public lainnya dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah yang terjadi di luar Jawa sebenarnya lebih disebabkanvoleh lemahnya perencanaan pembangnan sarana public di samping kebutuhan lahan untuk pembangunan perumahan.
Konversi lahan sawah dapat menimbulkan masalah berkurangnya kapasitas produksi pangan. Masalah ini bersifat permanen karena lahan sawah yang sudah dikonversi ke penggunaan non-pertanian tidak dapat berubah kembali menjadi lahan sawah. Untuk mengatasi permasalahan ini, dilakukan pencetakan sawah baru, namun jumlah konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian lebih besar dari pada pencetakan sawah baru, sehingga solusi ini tidak dapat menyelesaikan masalah yang diakibatkan berkurangnya produksi pangan.
Selain masalah pangan, konversi lahan sawah juga menimbulkan masalah sosial, terutama bagi petani karena mengurangi lapangan kerja. Dari aspek lingkungan, lahan sawah berfungsi untuk mencegah terjadinya banjir, sebagai pengendali keseimbangan tata air, mencegah terjadinya erosi, mengurangi pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Dengan berkurangnya lahan sawah, semua manfaat lingkungan dari fungsi sawah tersebut juga berkurang, bahkan hilang.
 
Konversi lahan pertanian terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Hal ini muncul akibat tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu keterbatasan sumber daya lahan, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi.
Karena pertumbuhan penduduk semakin meningkat, maka permintaan akan kebutuhan lahan terutama untuk dijadikan pemukiman akan semakin meningkat, sementara lahan yang tersedia tidak bertambah luas, hal ini pada akhirnya mengakibatkan kelangkaan lahan. Sementara pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian dengan laju lebih tinggi disbanding permintaan lahan untuk kegiatan pertanian, karena permintaan produk non-pertanian lebih elastis terhadap pendapatan. Karena isu-isu tersebut, pada akhirnya menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian.
Di sisi lain, terjadi dorongan peningkatan penawaran lahan pertanian oleh petani. Hal ini dirangsang oleh beberapa faktor, di antaranya, luas pemilikan lahan petani yang relatif sempit akibat kepadatan penduduk yang tinggi, sistem pewarisan lahan peah-bagi yang mengarah pada pemilikan lahan yang semakin sempit, kelangkaan lahan, dan pemilikan lahan guntai yang kurang produktif. Dorongan permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian juga semakin bertambah, karena pertumbuhan jumlah penduduk mengakibatkan pertumbuhan permintaan kebutuhan sehingga membutuhkan peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan penduduk.
Kedua perilaku penawaran dan permintaan ini seharusnya dikendalikan dengan kebijakan dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan pengembangan wilayah. Kelemahan dan ketidaktegasan kebijakan dapat menjadi celah bagi penyalahgunaan konversi lahan sawah, dan kebijakan sosial yang tidak mampu menekan laju pertumbuhan penduduk dapat merangsang konversi lahan akibat meningkatkan kelangkaan lahan dan naiknya kebutuhan lahan untuk perumahan penduduk.
Kebijakan pengendalian konversi lahan dapat berupa kebijakan RTRW, izin lokasi, dan larangan konversi lahan. Konversi lahan di lapangan dipengaruhi oleh luas lahan, lokasi lahan, dan jenis lahan. Berbagai peraturan pemerintah berupaya mengendalikan konversi lahan sawah. Peraturan ini mengatur dari ketentuan pembangunan kawasan industri, izin pembebasan tanah, lokasi pembangunan, RTRW, sampai pelarangan perubahan status lahan sawah menjadi lahan kering yang menutup saluran irigasi, mengeringkan lahan sawah, dan menimbun ladang.
Secara substantive terdapat tiga instrument utama yang digunakan dalam menerapkan kebijakan konversi lahan, yaitu penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) di setiap lapisan pemerintahan, pemberian izin lokasi untuk mengarahkan lokasi kegiatan dan mengendalikan besarnya setiap jenis kegiatan pembangunan yang disesuaikan dengan RTRW, dan berbagai peraturan tentang konversi lahan. Ketiga instrument ini sudah memadai untuk mengendalikan konversi lahan karena memiliki arahan yang jelas tentang sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan non-pertanian. Selain itu juga memiliki instrument pengendalian yang jelas untuk mengarahkan lokasi kegiatan pertanian dan non-pertanian dan memiliki acuan yang jelas tentangjenis lahan pertanian yang dapat dikonversi ke penggunaan non-pertanian. Namun kenyataannya, ketiga instrument kebijakan tersebut belum dapat mengendalikan konversi lahan pertanian yang terjadi terlihat dari luas lahan sawah yang terus mengalami penurunan akibat dikonversi ke penggunaan non-pertanian.
 
Dalam jurnal ini dikemukakan pandangan Edwards (1980), bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi efektifitas kebijakan public, yaitu: rumusan dan komunikasi kebijakan, ketersediaan sumber daya, perilaku pelaksana kebijakan dan struktur birokrasi organisasi pelaksana kebijakan.
Rumusan kebijakan harus realistis dan dengan jelas menyebutkan obyek kebijakan serta kewajiban yang harus dilaksanakan dan sanksi yang berlaku. Jika setiap pihak konsisten dalam mengimplementasikannya, kebijakan dapat dijalankan dengan efektif, dan pengendalian konversi lahan sawah dapat benar-benar dikendalikan. Untuk itu diperlukan pemahaman yang baik dari rumusan kebijakan oleh setiap pihak baik pemangku kepentingan, penegak hukum, dan pemerintah setempat. Keseragaman dalam instruksi yang diteruskan sangat penting agar arah kebijakan jelas, akurat, dan konsisten. Jika tidak didukung oleh faktor-faktor tersebut, implementasi suatu kebijakan tidak dapat berlangsung dengan efektif. Dengan demikian, sikap pelaksana kebijakan merupakan salah satu faktor kritis yang sangat mempengaruhi implementasi suatu kebijakan publik. Kemudian diperlukan juga struktur birokrasi pelaksana kebijakan yang efisien untuk menerapkan kebijakan yang telah dirumuskan secara konsisten, dan melakukan pemantauan setelah kebijakan tersebut dijalankan.
Di luar faktor-faktor yang sudah disebutkan, faktor lingkungan juga berpengaruh besar dalam keberhasilan penerapan suatu kebijakan. Misalnya dukungan publik yang lemah terhadap suatu kebijakan, ketidakpedulian masyarakat, dan sistem hukum dan peradilan yang lemah dapat menimbulkan hambatan dalam implementasi suatu kebijakan.
Berbagai celah dalam kebijakan menjadi salah satu alasan tidak terkendalinya konversi lahan yang terjadi. Celah ini dapat berupa rumusan kebijakan yang tidak akurat dan realistis sehingga menimbulkan kerancuan interpretasi pada para pelaksana kebijakan sehingga tidak diterapkan secara konsisten. Dapat pula karena larangan konversi yang tidak tegas menyebutkan batas kawasan larangan daerah konversi, dan terjadinya latah atau sifat konversi yang menular. Larangan konversi lahan pertanian hanya diberlakukan untuk lahan sawah irigasi teknis dan tidak mencakup lahan sawah lainnya dan lahan kering, padahal, keduanya juga mempunyai fungsi lingkungan yang besar yang dapat hilang dengan terjadinya konversi lahan.
Sistem kebijakan konversi lahan yang berlaku selama ini hanya terfokus pada upaya mengendalikan proses konversi lahan dalam rangka menekan potensi dampak negatif yang ditimbulkan, dan tidak mencakup aspek penanggulangan dampak negatif konversi lahan, dan tidak memasukkannya sebagai bagian integral dari kebijakan konversi lahan.
Sistem pencetakan sawah baru dibiayai dengan dana pemerintah, namun manfaat yang ditimbulkan dari konversi lahan hanya dinikmati oleh para investor yang melakukan konversi lahan dan sebagian masyarakat yang mendapat kesempatan kerja non-pertanian terkait kegiatan non-pertanian dari konvesi lahan itu. Padahal kerugian dari hilangnya fungsi lingkungan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan pemerintah tidak mendapat dana untuk perbaikan lingkungan dari kerusakan yang diakibatkan konversi lahan.
Masalah ini timbul secara berkelanjutan, ditambah lagi dengan lemahnya sosialisasi ke masyarakat untuk mengkomunikasikan kebijakan, sehingga masyarakat kurang memahami dampak yang ditimbulkan dari konversi lahan. Peran pejabat daerah yang cenderung mendukung penjualan lahan memudahkan investor masuk dan melakukan konversi lahan.
Di setiap kawasan, definisi kawasan pembangunan dalam RTRW yang digunakan oleh setiap kabupaten tidak selalu sama dan konsisten, disesuaikan dengan tujuan pemanfaatannya. Karena skala peta RTRW seringkali terlalu besar, maka natas kawasan yang sebenarnya seingkali menjadi tidak mudah ditelusuri. Kemudian, seringkali, pejabat pengendali konversi mempunyai kepentingan sehingga tdak mau mengambil resiko jabatan, terutama jika terdapat perbedaan pendapat dengan kepala daerah.
 
Secara legal pemberian izin lokasi merupakan instrument pemerintah untuk mengoperasionalkan kebijakan pengendalian konversi lahan di tingkat lapangan. Tanpa pemberian izin lokasi maka pemanfaatan lahan pertanian untuk kegiatan non-pertanian tidak mungkin dapat dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan konversi lahan pada akhirnya dikembalikan ke daerah masing-masing meskipun berpedoman pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Di tingkat daerah, pemahaman tentang pentingnya kebijakan konversi lahan masih lemah. Cara pandang mengenai dampak yang ditimbulkan oleh konversi lahan masih dianggap hal kecil. Selain itu perilaku pelaksana kebijakan seringkali dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau golongan, sehingga timbul kasus konversi yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku namun tetap mendapat dukungan dari pemerintah daerah.
Kondisi demikian menyebabkan pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap kebijakan konversi lahan sangat jarang dikenai sanksi, dan cenderung mencari celah hukum yang ada agar dapat tetap melakukan konversi lahan demi kepentingan pribadi atau organisasinya. Selain itu, sanksi yang berlaku bagi setiap pelanggaran kebijakan konversi lahan sejauh ini belum dirumuskan.
 
Karena kebijakan konversi lahan yang diterapkan selama ini masih kurang efektif, maka perlu dilakukan beberapa perubahan dalam beberapa aspek seperti lingkup kebijakan, obyek kebijakan, instrument kebijakan, birokrasi organisasi pelaksana kebijakan, dan perubahan metode dalam sosialisasi kebijakan.
Permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian tidak mungkin dihindari selama pertumbuhan ekonomi masih menjadi fokus utama pembangunan dan kebutuhan perumahan penduduk terus meningkat. Untuk itu, kebijakan konvesi lahan harus lebih diarahkan pada upaya menekan dan menetralisisr dampak negatif yang ditimbulkan dengan melibatkan seluruh sumberdaya yang ada di masuarakat. Konversi lahan boleh saja dilakukan untuk mendukung proses pembangunan selama dampak negatifnya dapat dinetralisir.
Kebijakan konversi lahan harus mencakup tiga upaya yaitu menekan peluang terjadinya konversi lahan, menekan potensi dampak negatif konversi lahan melalui pengendalian lokasi, luas, dan jenis lahan pertanian yang akan dikonversi, dan menetralisisr dampak negatif konversi lahan yang terjadi.
Upaya menekan dampak negatif yang ditimbulkan konversi lahan dapat dilakukan dengan menekan intensitas faktor ekonomi dan sosial yang dapat mendorong terjadinya konversi lahan, misalnya dengan menekan laju pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana, mengembangkan program transmigrasi, mengembangkan pajak lahan progresif khusunya untuk penguasaan lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan non-pertanian, meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dalam pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan kompleks perumahan yang menganut prinsip “hemat lahan”. Selain itu dapat juga dilakukan dengan membatasi konversi pada lahan-lahan pertanian yang memiliki produktivitas tanaman pangan, daya serap tenaga kerja, dan fungsi lingkungan yang relatif tinggi. Juga dengan membatasi konversi lahan pertanian yang ditujukan untuk kegiatan non-pertanian yang memiliki daya serap tenaga kerja relatif rendah, tidak hemat lahan dan potensi dampak lingkungan besar, membatasi konversi lahan yang terdapat di sentra produksi pangan dan peranan sektor non-pertanian besar sebagai sumber pedapatan masyarakat setempat, dan membatasi total luas lahan pertanian yang dapat dikonversi untuk mendukung pembangunan sektor non-pertanian di setiap kabupaten.
Instrument kebijakan yang efektif merupakan aspek penting untuk mendorong implementasi seluruh kebijakan yang telah dirumuskan. Dalam mengendalikan konversi lahan selama ini pemerintah hanya mengandalkan pada instrument yuridis, dengan menerbitkan berbagai peraturan yang melarang konversi lahan sawah, namun terbukti kurang efektif. Penyempurnaan instrument yuridis yang terkait dengan kebijakan konversi lahan terutama yang berhubungan dengan masalah sanksi pelanggaran atas kebijakan yang telah dirumuskan akan sangat membantu dalam pengendalian konversi lahan.
Instrument ekonomi dapat diterapkan bagi para investor yang akan melakukan konversi lahan berskala besar, terutama dalam mengendalikan luas, lokasi dan jenis lahan yang akan dikonversi, maupun untuk menekan peluang terjadinya konversi lahan. Pendekatan sosial digunakan untuk menekan konversi lahan dari segi penawaran lahan.
Ada dua alternatif yang dapat dikembangkan untuk mendorong pelaksanaan kebijakan konversi lahan secara konsisten yaitu: pelaksanaan kebijakan yang dilakukan secara sentralis, sehingga pengendalian dapat dilakukan langsung dari pusat, kemudian pemberian izin konversi lahan dan izin lokasi tetap bersifat desentralis tetapi pemerintah pusat mengembangkan suatu instrument yang dapat mendorong pelaksana kebijakan di daerah. Hal ini dapat ditempuh dengan mengalokasikan APBN untuk mendukung pembangunan daerah ang disesuaikan dengan kinerja pengendalian konversi lahan di setiap kabupaten.
Terakhir, sosialisasi yang intensif dari tingkat pelaksana kebijakan hingga di tingkat desa dan masyarakat luas agar menaruh perhatian lebih besar pada masalah konversi lahan, dengan harapan meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai bentuk pelanggaran hukum konversi lahan dan dampaknya pada lingkungan baik alam maupun sosial.

 
 
Perlu adanya kebijakan yang mengatur mengenai konversi lahan ini agar lahan-lahan yang tersisa tidak ikut terkonversi menjadi penggunaan lahan yang lain. Peruntukan lahan untuk lahan pertanian dan permukiman harus jelas mengenai kriterianya. Menurut Potter & Lee (1998), daerah padang alang-alang dan semak belukar dialokasikan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Namun pada kenyataannya pemerintah telah melakukan pengembangan perkebunan kelapa sawit pada areal hutan konversi dan kadang pada kawasan hutan hutan produksi. Keterlibatan pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam konversi hutan sangat berhubungan dengan industri perkayuan. Sebagian besar dari areal perkebunan kelapa sawit merupakan bekas areal tebangan dari konsesi HPH yang telah terdegradasi, sehingga pada saat ini banyak perusahaan perkayuan dan HTI (pulp and paper) yang arealnya dulunya bekas HPH beralih ke perkebunan kelapa sawit. Hal ini dimungkinkan mengingat pengusaha perkebunan yang ada di Indonesia merupakan holding company, artinya perusahaan yang membangun perkebunan juga memiliki HPH dan HTI secara bersamaan.
Dalam pembangunan suatu negara indikator yang sering dipakai adalah ekonomi, jika pertumbuhan ekonomi suatu negara naik maka pembangunan yang dilakukan oleh negara tersebut dapat dikatakan berjalan sukses. Namun ada konsekuensi yang harus diterima dari naiknya pertumbuhan ekonomi ini, konsekuensi ini adalah menurunnya kualitas lingkungan dari negara tersebut.
Pemerintah memiliki kewenangan yang sah untuk mengendalikan dan mengatur pemanfaatan sumber daya lahan. Hal ini ditegaskan dalam UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa negara memiliki kewenangan untuk: (1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa (2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa dan (3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa. Berdasarkan kewenangan pemerintah seperti disebutkan diatas maka konversi lahan yang terjadi di lapangan sebenarnya akan sangat ditentukan oleh efektifitas kebijakan pengendalian konversi lahan yang dilakukan pemerintah. Begitu pula besarnya dampak konversi lahan terhadap masalah pangan, ekonomi, sosial dan lingkungan akan sangat ditentukan oleh efektifitas kebijakan tersebut (Irawan, 2008).
Secara substantif terdapat tiga instrumen utama yang digunakan dalam menerapkan kebijakan konversi lahan selama ini, yaitu : pertama, Penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Di dalam RTRW dipetakan kawasan-kawasan yang disediakan atau yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pertanian dan non pertanian. Kedua, pemberian ijin lokasi. Ijin lokasi merupakan instrumen untuk mengarahkan lokasi kegiatan dan mengendalikan besarnya setiap jenis kegiatan pembangunan yang disesuaikan dengan RTRW. Ketiga, berbagai peraturan tentang konversi lahan. Peraturan-peraturan tersebut merupakan instrumen untuk mengendalikan jenis lahan pertanian yang dapat dikonversi ke penggunaan non pertanian.
Sehubungan dengan kebijakan publik seperti halnya kebijakan konversi lahan, Hoogerwerf (1983) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang sangat menentukan efektifitas kebijakan, yaitu akurasi rumusan kebijakan, kelengkapan informasi yang dimiliki oleh para pelaksana kebijakan, dukungan publik terhadap kebijakan yang dikembangkan, dan kualitas intelektual dan moralitas para pelaksana kebijakan.    
 
 
 Faktor Internal:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Faktor Eksternal:
Kekuatan/Strength (S)
 
1.    Transformasi struktur ekonomi yang mengarah pada sektor ekonomi yang memiliki produktivitas
2.    Penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dibuat disetiap kabupaten/kotamdya dan disahkan oleh DPRD serta fungsi sebagai landasan atau acuan dalam mengatur lokasi dan luas lahan yang dapat dimanfaatkan untuk setiap jenis kegiatan pembangunan dengan prinsip memberikan manfaat sebesar-besarnya
3.    Peraturan untuk mengendalikan jenis lahan pertanian yang dikonversi ke penggunaan non pertanian.
4.    Pencetakan sawah baru umumnya dibiayai dengan dana pemerintah
Kelemahan/Weakness(W)
 
1.       Terganggunya ketahanan pangan akibat berkurangnya kapasitas pangan
2.      Berkurangnya lapangan kerja pertanian
3.      Lahan sawah yang sudah dikonversi ke penggunaan nonpertanian tidak pernah berubah kembali menjadi sawah
4.      Luas pemilikan lahan petani yang relatif sempit akibat kepadatan penduduk yang tinggi
5.      Rumusan kebijakan yang tidak akurat dan realistis dapat menimbulkan kerancuan interpretasi pada para pelaksana kebijakan sehingga kebijakan tersebut tidak diterapkan secara konsisten
6.      Kurang lengkap informasi yang dimiliki pleh pelaksana kebijakan
7.      Larangan konversi tidak dengan tegas menyebutkan dalam batas kawasan mana larangan berlaku
8.      Skala peta RTRW yang dibuat seringkali terlalu besar, maka batas kawasan yang sebenarnya tidak mudah ditelusuri di tingkat lapangan sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda
9.      Undang-Undang otonomi daerah memberikan
 
PeluangOppurtunity (O):
1.     Pemberian ijin lokasi
 
1.   Menekan intensitas faktor ekonomi dan sosial yang mendorong terjadinya terjadinya konversi lahan
2.   Melibatkan dana investor pelaku konversi lahan, khususnya untuk konversi lahan berskala luas
1.      Melakukan perluasan lahan pertanian dengan luas sebanding dengan kapasitas produksi pangan dan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian yang hilang akibat konversi lahan
2.      Pendekatan sosial dapat digunakan untuk menekan peluang terjadinya konversi laha dari sisi penawaran lahan
Ancaman/Threat (T):
 
1.      Peningkatan jumlah penduduk
2.      Menimbulkan masalah
lingkungan seperti banjir
3.      Persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian
4.      Konversi lahan biasanya bersifat menular dengan kata lain sekali konversi lahan terjadi disuatu lokasi maka akan diikuti dengan konversi lahan lainnya disekitarnya
5.      Orientasi pembangunan daerah umumnya lebih berfokus pada uapaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka memperbesar anggaran pembangunan daerah sehingga berdampak terhadap pembangunan sektor non pertanian karena dapat menghasilkan PAD lebih besar dan mendorong ekonomi lebih cepat
1.   Komunikasi kebijakan yang ditempuh melalui sosialisasi merupakan aspek penting agar seluruh pihak yang terkait dan memahami apa yang harus dilakukan
2.   Menekan laju pertumbuhan penduduk melalui program KB
3.   Mengembangkan program transmigrasi
4.   Mengembangkan pajak lahan lahan pogrresif khususnya penguasaan lahan kegiatan non pertanian
5.   Membatasi konversi pada lahan-lahan pertanian yang memiliki produktivitas tanaman pangan, daya serap tenaga kerja dan fungsi lingkungan relatif tinggi
 
1.      Penyempurnaan instrumen yuridis yang terkait dengan kebijakan konversi lahan terutama yang berhubungan dengan masalah sangsi pelanggaran atas kebijakan yang telah dirumuskan
2.      Intrumen valuasi ekonomi dapat diterapkan bagi para investor yang akan melakukan konversi lahan berskala besar.
3.      Pelaksanaan kebiajakan konversi lahan dilakukan secara sentralistis
4.      Pemerintah pusat mengembangkan suatu instrumen yang dapat mendorong pelaksana kebijakan didaerah
5.      Sosialisasi kebijakan yang intensif diharapkan masyarakat semakin memahami bahwa konversi lahan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum dan sangat merugikan bagi kepentingan masyarakat luas.
 
 
 
3.3.1 Pandangan Positif Hukum Lingkungan
Konversi lahan sawah dan produksi padi nasional merupakan dua subjek pokok dalam kajian konversi lahan yang sering menjadi acuan dalam memperdebatkan lahan sebagai objek yang fundamental. Dari sudut pandang lingkungan, objek lahan merupakan sumber daya non-hayati yang memiliki fungsi dan peran yang vital, kaitannya dengan keseimbangan suatu ekologi dalam lingkungan. Hukum lingkungan sebagai produk cara pandang masyarakat dalam melihat lingkungan melahirkan kesepakatan berupa kebijakan lingkungan. Terutama Kebijakan lingkungan dalam melihat laju konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian sebagai pokok masalah dalam hukum lingkungan.
Dalam melihat masalah konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian penulis melihat pokok masalahnya pada faktor penentu efektifitas kebijakan publik. Pokok masalah dalam kebijakan publik yang efektif dalam pandang penulis adalah 1) akurasi rumusan kebijakan, 2) kelengkapan informasi yang dimiliki pelaksana kebijakan dan dukungan publik terhadap kebijakan yang dikembangkan 3) kualitas intelektual dan moralitas pelaksana kebijakan. Jika masalah konversi lahan berjalan sesuai dengan arahan efektivitas kebijakan, maka peluang konversi lahan menjadi kecil.
Jika menakar efektivitas faktor penentu pada sisi akurasi rumusan kebijakan, maka masalah konversi lahan dapat diukur dari produk kebijakan yang berkembang. Saat ini rumusan kebijakan lebih didominasi dari sisi perencana dengan mekanisme kesepakatan bersama. Lahirnya undang-undang lingkungan hidup dipandang sebagai produk kebijakan yang memiliki akurasi tinggi dalam mengendalikan lingkungan. Disis lain, lahir pula undang-undang penataan ruang yang mengacu pada Undang-undang nomor 26 tahun 2007. Seperangkat undang-undang tersebut memiliki makna yang fundamental berkaitan dengan konversi lahan.
Pada bagian kelengkapan informasi yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan dan dukungan publik, sampai saat ini konversi lahan masih menjadi objek yang informasinya paling vital. Tidak sedikit lahan dalam hal kepemilikan masih menjadi objek rebutan dengan berbagai kepentingan, Maknanya, lahan masih banyak dalam status tidak jelas kepemilikannya yang bisa bermakna ganda dalam konteks pemanfaatan. Informasi berkaiatan dengan luasan sawah yang saat ini tersedia dengan berbagai intrument yang mendukung fungsi sawah tetap pada peran menghasilkan produk pangan unggulan belum tersedia memadai. Maka dalam hal ini, pokok masalah informasi harus diselesaikan menurut kebutuhan dan akurasi informasi yang tepat.
Ketetapan ketetapan lahan menurut fungsi dan kegunaanya sebagaimana digambarkan dalam undang-undang penataan ruang setidaknya ideal dari sisi normatif. Sedangkan dari sisi akurasi rumusannya masih perlu diuji publik, kaitanya dengen tingkat akurasi dan kesesuaian terhadap kebijakan yang diperlukan. Maka konversi lahan dalam pandangan undang-undang sangat mungkin dikendalikan dan diatur, dengan tingkat akurasi yang relatif baik.
Pada bagian kualitas intelektual dan moralitas pelaksana kebijakan, konversi lahan menjadi subjek pokok masalah dan melibatkan berbagai sektor usaha. Karena itu, konversi lahan bisa memiliki nilai yang besar dari sisi finansial. Contoh kasus alih fungsi lahan gambut untuk pelabuhan, alih fungsi hutan lindung menjadi are perkebunan kelapa sawit dan alih fungsi bantaran sungai untuk pengembangan kasawan pemukiman merupakan fenomena dan gejala yang sering muncul ke ruang publik. Maka dalam menyikapi kasus semacam ini, lahan menjadi objek yang sangat penting. Ijin pemanfaatan lahan bisa memicu terjadinya praktek suap dalam perolehan hak atas pemanfaatan lahan. Oleh karena itu, pelaksana kebijakan dituntut memiliki intelektual dan moral yang konsisten dan sesuai dengan peraturan. Tidak justru sebaliknya, memanfaatkan kewenangan dan perannya untuk melahirkan praktek penggunaan lahan yang salah, dalam bentuk konversi dan alih fungsi lahan yang tidak sesuai peruntukan.
Dengan demikian, makna efektifitas sangat bergantung pada subjek yang menanfaatkan ruang. Subjek-subjek tersebut dominan dalam mencegah laju konversi lahan yang tidak sesuai peruntukan. Oleh karena itu, subjek-subjek tersebut akan efektif dikendalikan manakala kepentingan-kepentingan subjek lahan dipenuhi tanpa mengabaikan kaidah lahan yang berlaku. Pada sisi ini peran subjek-subjek penggunana lahan sangat menentukan bagaimana konversi lahan berkembang.
Makna revitalisasi yang diajukan penulis, terutama pada masalah konversi lahan sebagai dilema pembangunan. Ada sisi positif hasil telaah yang dilakukan, salah satunya efektivitas kebijakan konversi lahan dari sudut pandang lingkup kebijakan, objek kebijakan, instrument kebijakan, birokrasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan sosialisasi kebijakan. Pandangan ini sudah melihat rumusan masalah dari sudut pandang yang positif terutama dari sisi hukum formal lingkungan.
Dalam menjawab dilema kekinian dan tantangan masa mendatang, perubahan yang diajukan penulis perlu mendapat apresiasi pada satu sisi, tapi juga bisa memicu masalah pada sisi lain. Paling tidak hal positif yang dapat diambil adalah aspek kebijakan dan solusi yang ditawarkan bersifat normatif. Misalnya, dalam birokrasi organisasi diharapkan terjadi revitalisasi dari desentralisasi ke sentralisasi. Konsep sentraliasasi dalam mengendalikan lahan kembali dipandang sebagai cara yang efektif dan relevan, padahal tantangannya dalam mengendalikan lahan jauh lebih kompleks. Sehingga sebaiknya dirumuskan kembali sentralisasi-desentralisasi yang berjalan seimbang.
 
Pandangan tentang penurunan produksi padi kaitanya dengan percepatan konversi lahan sawah ke non pertanian adalah wujud dari berkembangnya paradigma pertanian yang berbasis ekonomi. Pandangan ini akan selalu melihat produksi padi sebagai ukuran dari pada keberhasilan produk pertanian.
Konversi lahan lebih banyak dipandang oleh perencana terutama pembuat kebijakan dan peraturan perundang-undangan lainya, selalu lebih memfokuskan lahan sebagai objek yang statis atau mati. Sehingga munculnya undang-undang RTRW selalu lebih banyak dipandang sebagai sarana memadai dalam mengendalikan konversi lahan. Maka pandangan ini, memicu lahirnya produk kebijakan yang bersifat normatif. Kebijakan lebih banyak memvisikan kondisi ruang dalam bayangan perencana. Sehingga ruang lebih banyak ingin dikendalikan melalui pandangan perencana dalam konteks yang paling ideal.
Permalahan yang kemudian muncul, apakah rencana pengendalian konversi lahan (produk kebijakan) berjalan beriringan penurunan laju konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian? Dan apa kewenangan produk kebijakan tersebut dalam mengatur generasi mendatang atau apakah produk pengendali ruang berguna pada generasi mendatang, apa wewenangnya ruang mengatur generasi mendatang?
Dua pertanyaan itu menjadi masalah yang sangat sulit dijawab. Jika pada pandangan pertama, RTRW, Ijin Lokasi dan Larangan Lokasi dipandang memadai dalam mengendalikan konversi lahan karena memiliki arah yang jelas. Maka apakah dengan RTRW pada suatu masa, pada saat pertumbuhan penduduk mencapai laju konstan, pada saat penduduk di semua wilayah melebihi daya dukung dan daya tampugnya menjamin tidak terjadi konversi lahan. Maka pandangan yang melihat produk kebijakan RTRW, Ijin Lokasi dan Larangan Lokasi merupakan instrument efektif karena memiliki arah yang jelas tidak dapat dijadikan acuan. Apalagi kewenangan pengendalian ruang melalui RTRW masih dalam tahap perencanaan.
3.4 Solusi Masalah Konversi Lahan
Pada pokok masalah pertama, yakni konversi lahan pertanian ke non-pertanian berlangsung terus menerus, dapat dipandang sebagai suatu fenomena alamiah. Selama pertumbuhan penduduk masih terus bergerak naik, maka konversi lahan akan mungkin terjadi secara terus menerus. Dalam kaitanya dengan masalah ini, yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan fungsi pengendalian, agar konversi lahan masih terkendali dalam batas daya dukung dan saya tampungnya menurut wilayah masing-masing. Dalam hal ini, masalah tersebut berkaitan dengan masalah pengendalian jumlah penduduk. Dengan terkendalinya jumlah penduduk sangat dimungkinkan konversi lahan bergerak lambat dan seimbang yang memungkinkan lahan berkembang sebagaimana fungsinya.
Turunan masalah dari konversi lahan yang berlangsung terus menerus adalah penurunan produksi padi kaitanya dengan laju konversi sawah ke non-sawah. Dari sisi lingkungan, produksi padi yang terus menurus tidak akan menjadi masalah asalakan substitusi makanan pengganti padi dapat tumbuh produksinya. Permasalah utamanya, produksi padi terus menerus menurun akan tetapi tidak diimbangi dengan difersifikasi produk pangan pokok yang lain. Padahal produksi padi sangat menuntut luasan lahan sebagai faktor penentu peningkatan produksi padi. Maka solusi mengendalikan luasan sawah tidak relevan pada beberapa wilayah di Indonesia. Kebutuhan lahan untuk memproduksi padi dengan kebutuhan padi berdasarkan jumlah penduduk sudah tidak seimbang. Maka kebijakan pengendalian konversi lahan juga tidak akan efektif mengingat jumlah kebutuhan sudah tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan. Dalam kaitanya dengan masalah pokok ini, perlu kiranya lahan-lahan pertanian difungsikan kembali menurut ekosistemnya, dengan produk pertanian pangan yang beragam. Salah satunya pengembangan kawasan pertanian menjadi kawasan tanaman ekosistem hutan berbasis pangan.
Kedua, dari sisi lingkungan, khusus untuk kasus Indonesia sebagai negara yang pernah berswasembada beras, sangat tidak tepat mempertahankan beras sebagai produk pertanian unggulan. Perlu paradigma lain, yang menggeser pandangan bahwa konsumsi beras dalam konteks ekologi Indonesia tidak sesuai. Produk diversifikasi pangan lebih tepat untuk konteks lahan yang sesuai dengan kondisi sosio-demografi penduduk Indonesia khususnya jawa.
Kebijakan pengendali konversi lahan diantaranya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Ijin Lokasi, dan Larangan Konversi Lahan merupakan instrument baku dalam mengendalikan ruang khususnya lahan pertanian. Maka objek lahan pertanian sebagai ruang dapat dipandang dari beberapa sisi. Dari sisi kepemilikan, objek kepemilikan lahan berbasis individu, sedangkan kebijakan yang mengatur lahan bersifat heterogen, dan berbasis sektoral. Maka, kedua sudut pandang ini tidak bisa dijadikan rujukan dalam peningkatan efektifitas laju konversi lahan.
Maka efektifitas dalam pengendalian ruang harus dilihat dari sudut pandang yang holistik dan terpadu. Laju konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian tidak lepas dari masalah kependudukan, sosial ekonomi dan pembangunan. Secara kependudukan, laju konversi lahan sebanding dengan tuntutan kebutuhan akan lahan sebagai perumahan dan lokasi tempat tinggal. Maka memandang lahan dari sisi kependudukan akan lebih efektif jika pengendalian laju konversi lahan juga diiringi dengan pengendalian jumlah penduduk. Semakin berhasil pengendalian jumlah penduduk, maka konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian akan menurun.
Secara sosial-ekonomi, lahan yang sering dijadikan objek ekonomi, sehingga pemanfaatanya selalu mempertimbangkan nilai ekonomi sebagai penentu penggunaan lahan. Kepemilikan lahan secara individu juga mendorong pemanfaatan lahan lebih banyak berkembang dari sisi ekonomi. Maka jika secara ekonomi lebih menguntungkan untuk dikonversi, maka lahan cenderung beralihfungsi dari dari pertanian ke non-pertanian yang secara ekonomi lebih menguntungkan.
Terahir, lahan dalam konteks pembangunan banyak dipandang sebagai objek statis, peruntukannya dapat berkembang menurut trend kebijakan perencanaan. Jika perencanaan dominan berkembang ke arah ekonomi, maka lahan akan bergerak secara fungsional menuju pada nilai ekonomis tertinggi. Seperti yang dicontohkan dalam rencana MP3EI, yang misalnya memandang Jawa dominan untuk sektor jasa dan industri. Maka Jawa lahan di Jawa akan banyak berkembang pada sektor jasa dan industri. Dalam rumusan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai hasil dari kebijakan pemerintah dalam meningkatkan ekonomi Indonesia jelas disebutkan bahwa Pulau Jawa misalnya ditetapkan sebagai zona pembangunan berbasis jasa dan industri. Sebagai produk kebijakan perencanaan setidaknya sudah menggambarkan bahwa prioritas ekonomi dalam konteks pulau jawa sudah tidak sesuai lagi untuk pembangunan berbasis pertanian.
Pada pokok masalah ketiga, revitalisasi kebijakan konversi penggunaan lahan (landuse) dari pertanian ke non-pertanian, disamping dari sisi kelembagaan juga diperlukan revitalisasi produk peraturan perundang-undangan dan ijin lokasi. Revitalisasi diperlukan dalam upaya mengarahkan penggunaan tanah pada penataan ruang yang sesuai. Tujuannya untuk menghindari konflik kepentingan penggunaan lahan (landuse) juga untuk memastikan tidak terjadinya konversi lahan tanpa kendali.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berbasis keterpaduan adalah salah satu strategis yang tepat. Keterpaduan harus melibatkan berbagai sektor, baik dalam hal perencanaan maupun ijin lokasi berbagai sektor sektor, tidak hanya berdasarkan pada satu sektor saja. Ijin antar sektor memungkinkan terjadinya saling cek (cek and balance) antar instansi, sehingga memungkinkan tidak terjadinya tumpang tindih yang berarti. Revitalisasi pada bagian ijin lokasi harus mendasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Ijin lokasi harus berada pada kewenangan lembaga yang memiliki otoritas tinggi dalam bidang ruang.
Dengan demikian, revitalisasi kebijakan konversi lahan harus melibatkan antar sektor, juga berdasarkan pada hirarki kewenangan yang sesuai. Jika antar sektor tidak terjadi keterpaduan, maka penyelesaian konflik harus melibatkan kewenangan kelembagaan dari tingkat tertinggi sampai pada tingkat terendah. Kewenangan ini untuk memutus mata rantai kesalahan penggunaan ijin pada berbagai kewenangan. Keputusan ijin perlu dilakukan secara komprehensif melibatkan tim yang memahami dengan benar, konteks perencanaan wilayah. Dalam kontek ini, memusatkan kewenangan pada satu otoritas bisa menjadi solusi, guna menyelesaikan konflik penggunaan tanah dan konversi tanah yang berlangsung berkepanjangan.
 

BAB IV
 
4.1 Kesimpulan
        Sebagai hasil akhir dari pembahasan mengenai efektifitas kebijakan pengendalian konversi lahan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.     Konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian berlangsung terus menerus. Meskipun sudah dilakukan upaya pengendalian kegiatan konversi lahan sawah oleh pemerintah, namun upaya yang dilakukan belum mampu menekan laju konversi lahan sawah. Konversi lahan sawah dapat menimbulkan masalah berkurangnya kapasitas produksi pangan. Selain masalah pangan, konversi lahan sawah juga menimbulkan masalah sosial, terutama bagi petani karena mengurangi lapangan kerja.
2.     Terdapat 3 instrumen kebijakan yang menanggulangi masalah konservasi lahan, yaitu penyusunan RTRW, pemberian ijin lokasi dan berbagai peraturan daerah. Instrumen penahan laju konversi lahan tersebut dianggap tidak efektif dalam upaya mencegah konversi lahan karena sampai saat ini luas lahan sawah yang terus mengalami penurunan akibat dikonversi ke penggunaan non pertanian.
3.     Kebijakan konversi lahan yang diterapkan selama ini masih kurang efektif sehingga diperlukan revitalisasi kebijakan konversi penggunaan lahan. Ada dua alternatif yang dapat dikembangkan untuk mendorong pelaksanaan kebijakan konversi lahan secara konsisten, yaitu pelaksanaan kebijakan yang dilakukan secara sentralis dan sosialisasi yang intensif dari tingkat pelaksana kebijakan hingga di tingkat desa dan masyarakat luas agar menaruh perhatian lebih besar pada masalah konversi lahan.
 
4.2 Saran
Dari hasil pembahasan tersebut dapat disarankan untuk melakukan pengendalian jumlah penduduk. Dengan terkendalinya jumlah penduduk sangat dimungkinkan konversi lahan bergerak lambat dan seimbang yang memungkinkan lahan berkembang sebagaimana fungsinya. Karena dengan tingginya jumlah penduduk berbanding lurus dengan kebutuhan akan lahan untuk tempat tinggal dan melakukan kegiatan ekonomi. Selain itu perlu memfungsikan lahan-lahan pertanian kembali, menurut ekosistemnya. Salah satunya dengan pengembangan kawasan pertanian menjadi kawasan tanaman ekosistem hutan berbasis pangan. Adanya 3 instrumen kebijakan pengendalian konversi lahan (penyusunan RTRW, pemberian ijin lokasi dan berbagai peraturan daerah) dianggap kurang efektif, sehingga diperlukan pengembangan instrumen kebijakan yang lebih relevan dan riil terhadap konversi lahan. Dengan memusatkan kewenangan pada satu otoritas dapat menjadi solusi, guna menyelesaikan konflik penggunaan tanah dan konversi tanah.
 
 
 
 
 

 
Hoogerwerf, A. 1983. Ilmu Pemerintahan. Penerjemah R.L.L Tobing. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Manurung, E.G.T. dan Sukaria, H. S. 2000. Industri Pulp dan Kertas: ancaman baru terhadap hutan alam. Suara Pembaruan, Sabtu, 22 Juli 2000.
Potter, L and Lee, J. 1998. Tree Planting in Indonesia: trends, impacts and directions. CIFOR Occasional Paper No. 18. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Widyastuti, S. M. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Jakarta: Gadjah Mada University Press.
 

=================

UNIVERSITAS INDONESIA
 
Makalah
Mata Kuliah Hukum Lingkungan
 
Dengan Judul
KEBIJAKAN KONVERSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MASALAH BANJIR DI DKI JAKARTA
 
 
 
 
 
Dosen:
Dr. Andreo Wahyudi Atmoko, M.Si.
 
Disusun oleh:
Ahmad Munir, 1306501210
 
 
 
 
 
 
JENJANG MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JUNI, 2014

BAB I
PENDAHULUAN
 
1.1. Pendahuluan
a.        Latar Belakang
          Banjir di DKI Jakartaatau sering disebut Banjir Jakarta merupakan fenonema bencana alam akibat luapan sungai, juga kenaikan muka air laut yang terjadi berulang-ulang, sehingga menggenangi pemukiman dalam waktu (temporal) yang cukup lama dan sebaran ruang (spatial) yang terus bertambah. Fenomena banjir kaitanya dengan pembangunan berdampak pada berbagai jenis kerugian, baik kerugian pada kerusakan fisik bangunan (infrastruktur, fasilitas sosial dan umum, korban jiwa, dan munculnya masalah sosial lainnya) maupun kerugian dari ekonomi (keterlambatan proses produksi,). Sebaliknya, pembangunan menghendaki pertumbuhan yang berkelanjutan, dari sisi kuantitas maupun kualitas terhadap objek pembangunan, agar tidak terganggu oleh bencana alam atau kejadian beresiko lainnya. Sehingga, pemecahan masalah banjir Jakarta menjadi prioritas pembangunan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi di DKI Jakarta.
          Berkembangbeberapaalternatif kebijakan penanganan banjir diantaranya: Penataan vila-vila liar di puncak tanpa izin, penataan pemukiman di sekitar waduk di Jakarta, normalisasi sungai, rencana pembangunan sodetan/waduk/situ dan lainnya.Hampir semua paket kebijakan tersebut, menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Terahir yang menjadi isu yang kontroversial yakni rencana pembangunan sodetan Ciliwung-Cisadane, yang secara teknis menurut kementrian Pekerjaan Umum masih mampu untuk dijalankan menjadi proyek, namun kebijakan ini ditentang oleh warga Tangerang karena dianggap akan memindah masalah banjir Jakarta ke wilayah Tangerang, Banten. Pro-kontra ini menarik untuk dikaji dari sisi hukum lingkungan dan kebijakan lingkungan kaitanya dengan penanganan masalah banjir Jakarta.
          Pentingnya hukum lingkungan dalam penanganan masalah banjir di Jakarta tergantung pada kualitas kebijakan yang diterapkan serta tingkat penerimaan masyarakat terhadap produk kebijakan tersebut. Perbedaan pandangan baik dari sisi pemerintah, maupun masyarakat ataupun pihak swasta dalam memandang proyek penanggulangan banjir merupakan tantangan yang harus dihadapi bersama. Paling sedikit diperlukan paket kebijakan dengan prasyarat antara lain: dapat diterapkan di masyarakat, tingkat penerimaan masyarakat besar, dan secara ekonomi membutuhkan dana paling efisien.
          Maka penanganan masalah banjir dengan pendekatan hukum lingkungan dan kebijakan lingkungan, harus sesuai dengan kaidah yang benar secara ilmiah. Juga pada proses perumusan kebijakan, diperlukan suatu pendekatan yang lebih komprehensif, dalam melihat masalah dan memecahkan masalah banjir di DKI Jakarta. Kebijakan perumusan yang benar belum cukup untuk menangani masalah banjir dengan benar, ternyata masih membutuhkan dukungan masyarakat dan pemahaman serta persepsi kebijakan yang disampaikan dengan benar. Sehingga, hukum lingkungan tidak bisa bekerja sendiri tetapi perlu instrumen kebijakan penanganan banjir yang lebih tepat. Instrument lain yang bekerja pada masyarakat sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman masyarakat sendiri terhadap masalah banjir. Makalah ini, berusaha mendeskripsikan peran hukum lingkungan dan kebijakan lingkungan kaitannya dengan masalah banjir di DKI Jakarta.
            
b.        Rumusan Masalah
Masalah di atas menunjukkan bahwa konversi tutupan lahan dan perubahan penggunaan tanah berdampak pada masalah banjir secara keseluruhan. Masalah utama yang muncul dalam memahami peran lingkungan adalah tidak adanya perencanaan dan pengendalian penggunaan tanah dalam kebijakan lingkungan secara tepat.           Masalah hukum lingkungan dan kebijakan lingkungan menjadi tidak solutif jika dikaitkan dengan kebijakan konversi lahan/ penggunaan tanah yang sangat terbuka. Sehingga rumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut:
1.         Bagaimana konversi tutupan lahan/ perubahan penggunaan tanah berdampak pada penanganan banjir di Jakarta?
2.         Bagaimana konversi tutupan lahan/ perubahan penggunaan tanah berpengaruh pada kejadian banjir di DKI Jakarta?
 
1.2. Identifikasi Masalah Pokok
Masalah konversi lahan dengan intensitas perubahan penggunaan tanah yang tinggi mendorong terjadinya erosi dalam jumlah yang besar. Erosi ini memicu banjir tahunan dan banjir musiman yang tidak menentu, sehingga masalah banjir menjadi sulit untuk dipecahkan secara parsial. Hukum lingkungan dan kebijakan lingkungan menjadi jembatan penting dalam mengupayakan solusi penanganan masalah banjir yang terintegrasi.
§ Masalah penangan banjir Jakarta dengan menahan laju konversi lahan tidak tertuang dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan lainnya.
§ Tumpang tindih (overlay) kewenangan pada masing-masing instansi yang berdampak pada lepasnya tanggungjawab pengelolaan kali/sungai penyebab banjir sesuai dengan kaidah pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dengan benar.
§ Penanganan banjir yang tidak terpadu dalam konteks kebijakan tata ruang dan tata wilayah.
§ Struktur hukum tidak bekerja untuk mengambil bagian dari persoalan banjir di Jakarta. Eksekutif lebih bekerja sendiri dalam penanganan masalah banjir di DKI Jakarta.
            Dari rumusan masalah pokok dalam penanganan masalah banjir tersebut, yang paling urgen dan perlu dikedepankan adalah keterpaduan antar konsep penanganan.
 

 
BAB II
PEMBAHASAN
 
2. 1.     Kejadian Banjir di DKI Jakarta
Banjir di Jakarta dalam sudut pandang lingkungan dapat dimaknai sebagai terganggunya sistem hidrologi pada lingkungan daerah aliran sungai (DAS), yang menyebabkan meluapnya berbagai sungai maupun kenaikan muka air laut serta tergenangnya bangunan atau lingkungan tempat tinggal manusia dan berdampak pada terganggunya kerja ekosistem. Pada dasarnya pelaksanaan pembangunan selalu bersifat dilematis (Soemarwotto, 1983). Pada satu sisi, pembangunan mengkonversi lahan dan mengubah peruntukan serta fungsi alaminya. Konversi lahan berdampak pada kerusakan ekosistem secara keseluruhan. Kaidah ini berlaku dalam konteks penanganan masalah banjir di Jakarta.
Keberlanjutan lahan berdasarkan fungsi ekonomis relatif jarang bertahan. Lahan menjadi objek kompetisi antar sektor yang menghantarkan lahan pada kondisi tidak stabil dan terus berubah, dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya dan kurang mendukung keberlangsungan ekologi. Maka fungsi ekonomis lahan berdampak pada tumbuhnya pemukiman yang mendesak kawasan lindung, misalnya bantaran sungai, pesisir pantai dan kawasan alami lainnya.
Bertambahnya lahan untuk kawasan pemukiman, mendesak lahan di Jakarta khususnya lahan terbuka dan lahan pertanian menjadi lahan dengan tutupan bangunan dengan rasio yang kurang seimbang. Keseimbangan rasio lahan terbuka dan lahan terbangun menjadi 2:8. Lahan yang tertutup oleh bangunan ataupun beton jalan cenderung rentan terhadap banjir genangan dan banjir luapan. Sehingga besaran banjir Jakarta dari tahun ke tahun makin meluas. Berikut sebaran banjir di DKI Jakarta menurut perkembangannya.
         
(1982)
 
(2000)
 
2002
Gambar 1: Sebaran Luasan Banjir Tahun 1982, 2000 dan 2002
(Sumber: Pengolahan Data Spasial, 2014)
 
Gambar (1) menunjukkan pola kejadian banjir dari tahun ke tahun di wilayah administrasi DKI Jakarta. Jika dikaji secara fisik, banjir yang terjadi di DKI Jakarta menunjukkan pola peningkatan dari tahun ke tahun yang makin meluas. Sebaran banjir meningkat, dari sisi arah banjir bergerak memadati wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Peningkatan luasan banjir terjadi karena: 1) konversi lahan dari lahan tutupan vegetasi (hutan mangrove, ruang terbuka) di dataran rendah Jakarta dibangun menjadi lahan pemukiman 2) pemukiman di bantaran situ dan sungai 3) Rusaknya infrastruktur penahan debit air, misalnya tanggul atau saluran air. Sebaran kejadian banjir berkembang ke wilayah Jakarta utara dan Jakarta Pusat.
Peningkatan kejadian banjir ini tidak lepas dari pola kejadian hujan dalam tiap tahunnya. Pola Kejadian hujan yang tinggi dalam intensitas dan sebaran hujannya, sering memicu banjir tahunan yang lebih besar. Jika musim penghujan meningkat jumlah curah hujannya, maka intensitas banjir menjadi semakin tinggi dengan sebaran yang lebih luas. Curah hujan tinggi idealnya diimbangi dengan luasan area konservasi air yang seimbang. Air dari curah hujan tidak dapat ditampung di zona resapan, karena zona resapan khususnya di kawasan puncak telah banyak berubah menjadi area pemukinan dan perumahan. Sehingga curah hujan tidak mampu ter-infiltrasi ke dalam tanah secara optimal.
Kompleknya masalah banjir bisa dipandang dari sisi sosial-masyarakat.Permasalahan banjir tidak terpisah dengan permasalahan sosial seperti kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk yang tinggi, pertumbuhan pemukiman liar di wilayah rentan banjir. Peruntukan wilayah dataran banjir sebagai zona lindung dari banjir luapan, telah berubah menjadi pemukiman kumuh. Hasilnya, bantaran sungai justru menjadi masalah utama di DKI Jakarta. Rendahnya ketaatan penduduk pada ketentuan dan kaidah penataan ruang menjadi sebab berikutnya alasan banjir tidak dapat diselesaikan. Konversi lahan pertanian atau jalur hijau di tepi bantaran sungai menjadi pemukiman adalah masalah konversi yang utama. Masalah lainnya adalah pemukiman liar di tepi bantaran danau/ situ. Maka konversi lahan jenis ini mendorong tumbuhnya kawasan rawan banjir yang semakin luas.
Debit maksimun saat musim penghujan yang tinggi, jika dialirkan menuju DKI Jakarta pasti menimbulkan banjir. Sedangkan wilayah sekitar DKI Jakarta, yang memungkinkan untuk membagi besaran debit, juga mengalami masalah banjir yang hampir sama, sehingga tidak semua keputusan yang bersifat terpadu dapat digunakan untuk menangani banjir Jakarta. Secara lingkungan, sebaran dan luasan banjir juga dipengaruhi oleh besarnya arus urbanisasi menuju kota Jakarta. Arus urbanisasi akibat daya tarik lapangan pekerjaan yang tinggi, memicu tumbuhnya pemukiman di tepi bantaran sungai. Pemukiman tepi bantaran sungai mendorong badan sungai menjadi sempit dan tidak mampu menampung air pada kondisi debit maksimum. Sehingga banjir makin membesar dengan dampak yang semakin tinggi.
 
2.2.       Kebijakan Konversi Lahan
Usaha pemanfaatan sumber daya adalah kegiatan yang mengakibatkan adanya perubahan di muka bumi (Sandy, 1985). Kegiatan manusia seperti di kota Jakarta sangat beragam dengan intensitas pemanfaatan ruang atau lahan yang cukup tinggi. Tingkat keragaman ini ditunjukkan dengan beragamnya kegiatan warga Jakarta dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, akan tetapi juga dalam memenuhi kebutuhan sosial dan budayanya. Intensitas pemanfaatan ruang juga sangat tinggi, menyebar di seluruh ruang hingga mencapai kawasan-kawasan yang tidak diperuntukkan untuk kegiatan manusia, misalnya cagar alam, hutan lindung, pesisir mangrove. Keragaman dan intensitas yang tinggi berdampak pada persaiangan dalam upaya mendapatkan lahan sebagai aktivitas utama.
Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh warga Jakarta pada prinsipnya harus mengutamakan kepentingan publik dibanding kepentingan privat atau lembaga. Dalam menjalankan prinsip ini, tidak semua tercermin dalam lingkungan hidup, lingkungan sosial, maupun lingkungan ekonomi yang terbentuk dari strutur kota Jakarta. Tidak sedikit ruang publik yang berfungsi secara ekologi, terganggu oleh kegiatan privat. Misalnya ruang publik sejenis bantaran sungai hendaknya menjadi tanggul penahan banjir luapan sungai. Namun faktanya, justru intensitas pemanfaatan lahan di bantaran sungai justru meningkat. Adanya peningkatan intensitas penggunaan tanah berdampak pada peningkatan konversi tutupan lahan secara terus menerus.
Pokok masalah pertama, kaitanya dengan kebijakan konversi lahan menunjukkan adanya lemahnya rumusan kebijakan dan aturan yang mengatur masalah konversi lahan, sehingga konversi lahan terjadi tidak terkendali. Kondisi yang paling ideal terjadi apabila lahan yan terkonversi sedikit dan penggunaan tanah di masing-masing kawasan sesuai dengan peruntukan dan fungsinya. Berikut perubahan penggunaan tanah/ tutupan lahan yang terjadi di DKI Jakarta.
 
 
 (a)
 (b)
(c)
Gambar 2: Perubahan Penggunaan Tanah
Sumber: Pengolahan Data GIS, 2014
Jika melihat gambar (2) maka fakta perubahan penggunaan tanah dan konversi lahan berlangsung sangat intensif dari beberapa dekade saja. Lahan di Jakarta menjanjikan nilai ekonomi tinggi yang menyebabkan lahan cepat terkonversi. Paling tinggi tingkat perubahannya dari tutupan hijau menjadi lahan terbuka atau terbangun. Juga dari lahan terbuka menjadi lahan terbangun. Konversi lahan yang terjadi secara cepat dalam waktu yang relatif singkat menunjukkan bahwa kebijakan konversi lahan ataupun pemanfaatan ruang tidak mampu mengendalikan.
Lemahnya regulasi dalam mengatur konversi kebijakan perubahan tutupan lahan tercermin dari kondisi kejadian konversi lahan yang tidak terkendali dan terjadi terus menerus.  Kebijakan konversi lahan dalam undang-undang tidak dijelaskan secara khusus kaitanya dengan penyebutan dalam pasal-pasal. Lemahnya kebijakan konversi lahan juga tercermin dari rumusan kebijakan yang tidak mengatur secara khusus.
Mengacu pada rumusan kebijakan dan rumusan pokok peraturan yang tidak memuat konsepsi peraturan kaitanya dengan konversi lahan, berdampak pada rendahnya instrumen pengendali kebijakan ruang. Masalah konversi lahan di wilayah hulu daerah aliran sungai ciliwung didominasi oleh penggunaan tanah untuk jasa dan perdagangan. Untuk sektor pertanian didominasi pertanian tanaman padi dan rendah kemampuannya untuk menghilangkan tanah.
Pokok masalah penting kedua adalah rencana tata ruang wilayah (RTRW) cenderung rendah dalam memperhatikan kondisi eksisting ruang, akan tetapi kuat dalam target rencana ruang pada masa mendatang. Akibatnya, kondisi ruang eksisting yang selaras dengan masalah banjir, tidak bisa dijelaskan secara komprehensif dari sudut fisik, ekonomi dan sosial. Padahal kondisi sosial ekonomi juga berpengaruh besar dalam membentuk ruang terkini dan ruang pada masa mendatang.
Pokok masalah ketiga, pembangunan yang berjalan kurang memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sehingga tidak terjadi keseimbangan rasio jumlah penduduk dengan luas tanah, terjadi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan karakteristik tanah, lereng dan wilayah ketinggian. Sehingga, yang terjadi lahan dan tanah dibabat habis, digunakan hingga mendekati rasio terbangun dan tidak terbangun 8:2. Suatu rasio yang mencerminkan tingginya intensitas penggunaan tanah/lahan.
Pokok-pokok masalah di atas, jika dikaitkan dengan banjir di DKI Jakarta menjadi faktor pendukung tingginya kejadian banjir dan intensitas banjir. Semakin banyak lahan terkonversi, maka semakin besar banjir yang terjadi akan berdampak bagi penduduk. Sehingga membutuhkan kesatuan konsep dalam penanganan, khususnya dalam mengendalikan konversi lahan. Konversi lahan yang terjadi di hulu yang terus meningkat perlu dikendalikan. Perubahan ruang dan kawasan membudahkan terjadinya perubahan penggunaan tanah. Sehingga perubahan penggunaan tanah berdampak besar pada luasan dan sebaran banjir di Jakarta.
 
2.3.       Kebijakan Konversi Lahan dalam Penanganan Masalah Banjir
Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta (2010) menjelaskan konsep pengelolaan DAS meliputi: pengelolaan ruang melalui usaha pengaturan penggunaan lahan dan konservasi tanah, pengelolaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air, pengelolaan vegetasi dan pembinaan kesadaran manusia. Dengan demikian Optimalisasi ruang terbuka mengarah pada upaya tersebut, dengan berusaha meningkatkan fungsi dan peran ruang terbuka secara optimal.
Alternatif penanganan masalah banjir dapat dilakukan dengan pendekatan sistem daerah aliran sungai (DAS). Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah yang dikelilingi dan dibatasi oleh topografi alami berupa punggungan bukit atau pegunungan, di mana curah hujan (presipitasi)yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik keluar tertentu (outlet) yang ahirnya bermuara ke danau atau ke laut (Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta, 2009). Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terintegrasi bermakna pengelolaan DAS yang terpadu dari hulu ke hilir. Rencana pengelolaan DAS terpadu selama 15 tahun, sedangkan pengelolaan sumber daya air dalam 20 tahun. Ini sesuai dengan pendekatan keruangan (regional) dalam konteks penanganan masalah banjir harus terintegrasi dan terpadu dalam sistem DAS.
 
Masalah Banjir di DKI Jakarta dari aspek
§Fisik
§Sosial dan ekonomi
§Lingkungan
Kebijakan dan Peraturan kaitannya dengan bencana banjir
§Undang-undang
§PP
§Perpres
§Permen
Lahan
Penanganan masalah banjir dan solusi penanganannya
Program dan Kebijakan
Laju konversi lahan dan tingkat kerugian yang berkurang akibat banjir di DKI Jakarta kaitannya dengan peran kebijakan lingkungan
Paket kebijakan penangan masalah banjir di DKI Jakarta
Banjir pada tutupan lahan dan penggunaan tanah
Banjir di DKI Jakarta
Tutupan lahan
Penggunaan tanah dan laju perubahan penggunaan tanah
Konversi lahan dan perubahan penggunaan tanah
Program, Proyek dan paket kegiatan dalam pencegahan dan penanganan masalah banjir di DKI Jakarta
Pengurangan laju konversi dan pengurangan dampak banjir
 
Sumber: Analisa Penulis, 2014
              
Dalam rumusan pokok masalah konversi lahan undang-undang dan peraturan lainnya tidak menjelaskan secara spesifik. Namun, undang-undang memberikan rambu-rambu dalam bentuk larangan. Bentuk larangan yang paling jelas, tertuang dalam rumusan kebijakan adalah undang-undang penataan ruang. Instrumen pengedalian konversi lahan terbagi menjadi tiga, yaitu undang-undang penataan ruang, ijin lokasi dan larangan konversi lahan berdasarkan zonasi kawasan. Ketiganya masih berjalan relatif dan tidak ada batas baku, yang bisa mengendalikan konversi lahan secara menyeluruh. Sehingga, larangan konversi masih sangat terbatas kaitanya dengan kebijakan konversi lahan.
Sementara, penanganan masalah banjir selalu mengandalkan instrumen penataan ruang. Penangananan masalah banjir yang paling efektif, yakni dengan mengendalikan rencana tata ruang yang bermartabat. Dalam konsep pengendalian banjir jakarta oleh Departemen Pekerjaan Umum juga dijelaskan rencana umum tata ruang. Sehingga, masalah pokok kaitan antara konversi lahan dengan kebijakan penataan ruang adalah keterpaduan antara rumusan kebijakan konversi dengan kejadian banjir yang tidak berjalan beriringan.
Jika rencana umum tata ruang menjadi alat kendali utama, sedangkan rencana tata ruang wilayah lemah dalam substansi pengendalian, maka dapat dijelaskan bahwa masalah lingkungan di Jakarta khususnya banjir akan sangat kecil potensinya untuk diselesaikan.
 
   Tabel 1: Pertentangan kaidah dalam penanganan masalah banjir di Jakarta
No
Masalah
Kebijakan
Pertentangan
1
Penanganan banjir di wilayah dampak
Penataan ruang di wilayah banjir
Permasalahan sosial
2
Penataan ruang
Mengembalikan peran dan fungsi DAS sesuai kaidah hulu, tengah dan hilir
Kaidah hulu tengah dan hilir cenderung mengikuti kepentingan ekonomi
3
Pengendalian air melalui pembangunan waduk dank anal maupun saluran/sodetan.
Pendekatan teknis dengan pembangunan sodetan efektif dalam jangka pendek.
Dianggap mengorbankan daerah lain, dan hanya memindahkan banjir ke daerah lain
4
Pemukiman bantaran sungai di tata ulang
Pemindahan dipandang efektif dalam memenuhi kaidah ruang
Warga tidak siap dan mendapat penolakan keras
Sumber: Analisa Penulis, 2014
 
Kasus di atas menunjukkan perbedaan kaidah antara kaidah ilmiah dalam penanganan masalah banjir dengan berbagai pendekatan, ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan tidak hanya menghasilkan manfaat, tetapi juga mendatangkan resiko. Kondisi ini harus ditangani oleh pemerintah dengan meminimalkan resiko dan mendatangkan manfaat yang lebih besar.  
 
2.4.       Kendala Penentuan Kebijakan Hukum Lingkungan dalam Penangan Banjir
Kebijakan lingkungan yang telah dikembangkan menghadapi masalah banjir termasuk dalam konteks pelaksanaan. Pertama, kebijakan yang telah ditetapkan tidak mengikat semua pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah masih menggunakan otoritasnya sebagai daerah otonom. Dampaknya banyak pemerintah daerah yang menolak pelaksanaan kebijakan, yang dari sisi hukum benar sesuai dengan kaidah ilmiah. Contoh kasus yang menonjol adalah penolakan wali kota tangerang saat pemerintah pusat melalui kementrian pekerjaan umum bermaksud membangun sodetan Ciliwung-Cisadane. Penolakan ini dapat dipandang sebagai ketidakmampuan dalam memadukan kebijakan lintas provinsi tetapi dalam satu sistem DAS. Pendekatan ini dibenarkan sesuai kaidah ilmiah, tetapi menjadi tidak berlaku dalam konteks pelaksanaan akibat perbedaan kewenangan. Kedua, dalam menangani masalah banjir diperlukan instrument-instrumnet penanganan yang tepat. Beberapa instrument yang diperlukan antara lain: instrument kebijakan, politik, sosial, budaya, lingkungan dan kelembagaan. Standar lingkungan yang wajib dikembangkan adalah standar kualitas lingkungan tertinggi. Standar ini perlu ditetapkan dalam setiap aspek kebijakan, untuk meminimalisir korban dan kerugian yang lebih tinggi akibat banjir.
Kendala-kendala dalam penanganan masalah banjir di DKI Jakarta dapat dijelaskan dalam dua pendekatan. Pertama, dengan pendekatan kaidah ekologi dan pendekataan penataan ruang. Kedua, kendala dari aspek penentuan kebijakan dan penerapan kebijakan dalam penanganan masalah Banjir di DKI Jakarta.
Dari kaidah ekologi, interaksi yang tidak berimbang antara lingkungan hidup (biotik) dan lingkungan tidak hidup (abiotik) dapat memicu tergannggunya berbagai sistem ekologi. Salah satunya sistem hidrologi yang memicu terjadinya banjir. Beberapa kaidah ekologi yang dilanggar antara lain: 1) Kaidah penataan ruang dan pemanfaatan ruang 2) Kaidah fungsi ekologi DAS dan bantaran sungai 3) Kaidah penduduk dan tempat tinggal sesuai peraturan.
Pada aspek penataan ruang, pemerintah hindia belanda menetapkan kawasan kampong melayu sebagai zona non-pemukiman. Dari aspek geografis, zona tersebut merupakan dataran banjir. Ditinjau dari aspek kebijakan, pemerintah hindia belanda memahami aspek ini, dan tertuang dalam kebijakan penataan ruangnya menjadi daerah bukan pemukiman. perencanaan Banjir di wilayah Kampung Melayu (Lampiran 3).
Dari semua tahapan, perkembangan zonasi banjir terjadi pada zonasi kawasan yang semula ditetapkan non-pemukiman berubah menjadi pemukiman. Terdapat pola pertumbuhan pemukiman pada zona ekologi non-pemukiman. Pola itu juga didukung peraturan-peraturan pemerintah atas dasar kesejahteraan sosial. Maka terdapat dilemma konteks penataan ruang dengan kesejahteraan sosial.
Di samping kendala teknis, juga muncul masalah kelembagaan. Tidak ada peningkatan kapasitas kelembagaan yang cukup, yang berwenang dan bertanggung jawab penuh, baik secara anggaran maupun kebutuhan akan perencanaan. Belum terdapat substanasi kelembagaan, budaya kelembagaan dan sistem kelembagaan yang mapan dalam mencegah dan menanggulangi masalah banjir. Dampaknya penanganan banjir tidak serta merta jadi dan cukup efektif dalam penyelesaian bencana banjir.
 
2.5.       Keterpaduan Pengendalian Konversi Lahan
Kompleksitas penentuan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan, menjadi penting dalam penanganan banjir, karena masalah banjir kian waktu kian meningkat intensitasnya dan juga kerugian yang ditimbulkan. Maka pemerintah memiliki keharusan untuk menangani masalah ini secara serius sesuai kaidah ekologi. Paradigma konsep keberlanjutan (sustainable) yang sekarang berkembang adalah keseimbangan antara lingkungan, sosial dan ekonomi dari semula paradigma yang berkembang ekonomi lebih mendominasi pandangan tentang pembangunan. Faktanya, saat ini Jakarta telah tumbuh sebagai kota yang melebihi daya tampung dan daya dukungnya bagi warganya. Kondisi ini menuntut paradigma pembangunan kota Jakarta digeser lagi pada paradigma yang lebih ekstrim, yaitu lingkungan harus mendominasi ekonomi dan sosial.
Faktanya sistem sosial dan sistem ekonomi saat ini mendominasi seluruh paradigma pembangunan di Jakarta. Contohnya, proyek reklamasi pantai teluk Jakarta yang mengubah sistem ekologi hutan mangrove dan terumbu karang menjadi ekosistem budidaya. Sistem ekonomi mendominasi sistem sosial dan lingkungan pada semua aspek perencanaan pembangunan yang dikerjakan.
Dengan demikian, masalah banjir yang selalu ditangani dengan pendekatan teknis. Hasilnya tidak cukup efektif dalam konteks penanganan banjir. Penanganan banjir lebih didekati dengan pendekatan proyek. Maka kebijakan penanganan banjir menjadi dilema. Pada satu sisi, banjir bernilai proyek bagi penyandang dana, namun pada sisi lain masalah banjir harus diselesaikan, yang berarti pula menghentikan proyek yang bernilai besar. Dilema ini menghambat pemangku kebijakan serta aspek kelembagaan dalam menangani masalah banjir di Jakarta. Sehingga banjir tidak bisa diselesaikan dari satu aspek saja dan perlu diupayakan secara terpadu, utamanya dengan pendekatan kebijakan lingkungan.
Kebijakan lingkungan juga tidak bisa bekerja efektif, akibat kompleksitas masalah. Masalah banjir tidak bisa dilihat dari sudut hukum saja, mengingat banjir merupakan bencana yang mengganggu berbagai sistem. Sistem apapun yang terganggu, akan diam dan tidak bekerja efektif.
Efektivitas hukum lingkungan akan terjadi dalam konteks penanganan banjir, jika hukum lingkungan diterapkan secara bertahap, agar sistem yang terganggu tidak terlalu besar. Jika hukum diterapkan secara bertahap dan berkelanjutan dengan memperhatikan lingkungan, sebagai aspek yang paling penting dalam konteks penanganan banjir, maka masalah utama banjir akan dapat diselesaikan juga secara bertahap.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (2005) menyebutkan bahwa manfaat tidak langsung umumnya terkait dengan lingkungan, antara lain (1) mencegah terjadinya banjir, (2) sebagai pengendali keseimbangan tata air, (3) mencegah terjadinya erosi, (4) mengurangi pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan (5) mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Jenis manfaat tersebut bersifat komunal dengan lingkup lebih luas dan dapat bersifat lintas daerah. Misalnya, banjir yang sering terjadi di wilayah Jakarta dapat disebabkan oleh berkurangnya lahan sawah di wilayah Bogor.
Ada tiga alternatif kebijakan yang dibahas dalam pengendalian konversi lahan sawah beririgasi terutama di wilayah puncak, yaitu kebijakanpengendalian melalui otoritas sentral, pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah beririgasiyang perlu dilindungi (Pasandaran, 2006). Bertahannya lahan sawah tetap bertahan menjadi lahan pertanian sawah konversi lahan sawah sangat berfungsi dalam menahan laju air dan aliran permukaan menuju sungai utama di wilayah DKI Jakarta. Walaupun lahan sawah tidak cukup efektif dalam mengendalikan lahan di DKI Jakarta secara keseluruhan.
 
 
2.6.       Penanganan Masalah Banjir dan Pengendalian Konversi Lahan
Fakta fisik dataran alluvial wilayah Jakarta antara lain: 1) daerah rendah rawan banjir 2) dataran pantainya menjadi tempat bermuara sungai-sungai besar antara lain: sungai Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung. 3) Mata air sungai-sungai tersebut terletak di wilayah Bogor dan Puncak yang memiliki curah hujan tinggi, sehingga sering menyebabkan luapan di dataran rendah. Banjir Jakarta hampir terjadi di beberapa daerah aliran sungai (DAS) antara lain Ciliwung, Cisadane, dan Pesanggrahan. Dengan demikian, pola banjir di DKI Jakarta berkaitan erat dengan faktor fisiknya.
Daerah Aliran Sungai (Cathment Area) merupakan satu kesatuan ruang yang dibatasi punggungan-punggungan. Input dari masalah banjir terdapat di bagian hulu DAS. Di Jakarta sendiri, yang dialiri sekitar 13 sungai besar, semua berhulu di Kabupaten Bogor atau sekitar puncak. Maka faktor penyebab banjir dapat diketahui secara pasti. Dominansi faktor disebabkan oleh curah hujan tinggi. Curah hujan tinggi sebagai penyebab input aliran sungai yang tinggi. Maka pendekatan sistem DAS dalam penanggulangan banjir di wilayah hulu adalah dengan 1) mengoptimalkan proses peresapan air ke dalam tanah (infiltrasi). 2) Memperbanyak parkir air dalam bentuk empang, situ, waduk dan danau. 3) Mencegah air hujan yang menjadi aliran permukaan membawa material pengikisan dalam jumlah besar.
Bagan 1: Proses Konversi Lahan dan Dampaknya terhadap Kehidupan
Kebijakan Pembangunan
·         Ekonomi
·         Wilayah
·         Sosial
Penawaran Lahan Pertanian
·         Lahan sempit
·         Sistem Waris
·         Lahan Guntai
·         Pertumbuhan Penduduk
Permintaan Lahan Non-pertanian
·         Pertumbuhan Ekonomi
·         Pertumbuhan Penduduk
·         Transformasi struktur ekonomi
Peluang Terjadinya Konversi Lahan
Konversi Lahan di Lapangan
·         Luas lahan
·         Lokasi lahan
·         Jenis Lahan
Kebijakan pengendalian konversi lahan
·         RTRW
·         Ijin Lokasi
·         Larangan konversi lahan
 
 
Dampak kebijakan konversi lahan pada Banjir
·         Pertambahan Sebaran dan Luasan Banjir
·         Pertambahan Nilai Kerugian
·          
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

(Sumber: Irawan, -)
 
Bagan alur dan proses tersebut menunjukkan masalah konversi lahan tersebar ke berbagai sektor. Paling tidak terdapat sektor yang dominan terpengaruh oleh konversi lahan, yakni sektor industri dan jasa yang rentan terhadap kejadian banjir.
Konversi lahan di lapangan mempengaruhi luas lahan, lokasi lahan dan jenis lahan yang ada. Jenis lahan pemukiman dengan berbagai masalah yang dihadapi membutuhkan hasil yang lebih optimal, sehingga dituntut perubahannya untuk berbagai penggunaan. Penggunaan yang berubah, terutama lahan di wilayah hulu mempengaruhi kemampuan infiltrasi lahan terhadap air, sedangkan di wilayah hilir mempengaruhi sebaran luasan banjir. Lahan yang semula dataran banjir menjadi genangan banjir akibat perubahan tutupan lahan yang ada.
Permintaan lahan untuk alokasi non-pertanian terus meningkat sebanding dengan kebutuhan lahan untuk hal lainnya. Pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan transformasi bentuk penggunaan lahan yang memicu peluang yang besar untuk terjadinya konversi lahan. Konversi lahan di lapang mencakup perubahan luasan, lokasi lahan dan jenis lahan. Luasan lahan pertanian utamanya terus berkurang sebanding dengan pengurangan luas lahan bervegetasi. Maka alat pengendalian baik RTRW, Ijin Lokasi maupun larangan konversi lahan menjadi instrument penting, kaitanya dalam mengurangi jumlah perubahan penggunaan lahan di hulu DAS yang mengalir ke Jakarta.
Kondisi tersebut menyebabkan dampak pada luasan wilayah genangan banjir yang terjadi di DKI Jakarta. Hal ini pula tentu berdampak pada peningkatan besaran kerugian yang diakibatkan oleh banjir di DKI Jakarta. Maka perlu dikembangkan suatu skema untuk menjawab masalah dengan pendekatan sistem proses sebagai berikut:
Standar kelayakan lingkungan
Input
1.     Curah hujan
2.     Aliran permukaan
 
Model Kontrol Balik
Output
1.     Luas banjir
2.     Lama genangan
Proses
 
 
 
 
 
 
 
 
 

         
Bagan 1: Kerangka pendekatan sistem: input – proses – output
Sumber: Sutami
 
Interkasi antara manusia dengan penggunaan tanah menjadi input bagi kejadian banjir yang lebih besar. Luasan banjir sangat dipengaruhi perubahan penggunaan tanah di DAS bagian hulu. Dengan pendekatan keruangan (spasial), banjir dapat dilihat dalam satu sistem besar, yakni sistem hidrologi, yang selalu melihat bahwa banjir adalah fenomena alami, yang disebabkan oleh faktor curah hujan tinggi. Dalam sistem penataan ruang, curah hujan tinggi akan efektif dalam penyediaan sumber air, manakala air dapat terserap ke dalam tanah, melalui proses infiltrasi dalam jumlah yang besar. Namun, jika sistem yang seimbang ini terganggu yang muncul adalah banjir yang mengganggu kehidupan manusia itu sendiri.
Dengan demikian, kebijakan lingkungan perlu direvitalisasi secara konsisten menyesuaikan kemampuan dan rumusan yang paling sesuai dalam tiap masa. Prinsipnya memperhatikan gejala banjir yang umum terjadi. Hasilnya, diperlukan rumusan kebijakan yang lebih strategis, yang bisa menjawab setiap masalah baru, yang memicu kejadian banjir.
Penanganan masalah banjir Jakarta sangat terkonsentrasi pada kebijakan teknis dan tidak optimal dalam kebijakan penataan ruang. Rumusan kebijakan teknis tersebut antara lain normalisasi sungai, pendalaman waduk, pembuatan sodetan dan saluran serta pendekatan teknis lainnya. Penanganan dengan pendekatan teknis kurang efektif ditandai dengan kejadian banjir yang terus berulang, intensitas dan sebaran banjir yang meningkat, serta kerugian dan besaran korban terus terjadi. Sehingga pengendalian dengan pendekatan ruang, khususnya pengendalian konversi lahan untuk mempertahan siklus hidrologi menjadi penting.
Saat ini, penanganan banjir dengan pendekatan pengendalian konversi lahan terkendala dari sisi rumusan kebijakan dan tata peraturan yang tidak tegas. Idealnya tata ruang kebijakan lahan menjadi alat pengendali konversi yang paling penting. Tujuanya untuk mengembalikan tata hidrologi agar banjir intensitas banjir dapat berkurang walaupun dengan kondisi yang tidak langsung.

BAB III
KESIMPULAN
 
3. 1.     Kesimpulan
Perubahan penggunaan tanah dan konversi tutupan lahan berdampak pada peningkatan banjir di DKI Jakarta. Peningkatan banjir dihasilkan akibat peningkatan sedimentasi dan laju erosi di bagian hulu. Konversi tutupan juga berdampak pada penurunan laju penyerapan air ke dalam tanah (infiltrasi). Sehingga makin besar lahan yang terkonversi, makin besar pula dampak banjir yang dihasilkan.
Pengaruh paling besar dari perubahan penggunaan tanah dan konversi tutupan lahan dengan banjir di DKI Jakarta yakni perubahan luasan dan sebaran banjir. Tutupan lahan sangat berpengaruh terhadap luasan dan sebaran banjir di DKI Jakarta terlihat dari periode kejadian banjir dan sebaran banjir yang ada. Masalah banjir di Jakarta bermasalah dalam konteks penanganan, baik pada penentuan kebijakan maupun kepentingan masyarakat dan juga kepentingan pemerintah daerah otonomi lain. Oleh karena itu, peran kebijakan lingkungan menjadi sangat penting.
 
3. 2.     Saran
Penegakan hukum lingkungan dan kebijakan lingkungan dalam berbagai bentuk peraturan dipandang penting sebagai alat penegakan kebijakan lingkungan kaitanya dengan penahan laju konversi lahan. Sebagai produk kebijakan, berjalannya produk kebijakan tergantung dari komitmen semua elemen, baik pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan masyarakat selaku subjek peraturan itu sendiri.
 
 

Daftar Pustaka
BPLHD DKI Jakarta. 2010. Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. 2009. Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: Dinas Kelautan dan Kehutanan.
Irawan Bambang. 2008 . Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Konversi Lahan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Forum Penelitian Agroekonomi, volume 26-2 Desember 2008. Page 116-131.
Pasandaran, Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi Di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), page 123 – 129.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 38 Tahun 2012, tentang “Bangunan Gedung Ramah Lingkungan 2012”
Purnomohadi, N. 2006. RuangTerbuka Hijau Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota. Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum
Purnomohadi. N. 2008. Implikasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terhadap Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Menuju Kota Ekologis. Jakarta: Dep.PU-Ditjen Penataan Ruang
Purwaka, Tommy Hendra. 2010. Instrumentasi Standarisasi Kebijakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya – Jakarta.
Purwaka, Tommy Hendra. 2010. Kerangka Pemahaman Politik Hukum Nasional. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya – Jakarta.
Purwaka, Tommy Hendra. 2010. Model Analisis Pengembangan Kapasitas. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya – Jakarta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2005. Konversi Lahan Sawah Menimbulkan Dampak Negatif bagi Ketahanan Pangan dan Lingkungan. http://203.176.181.70/bppi/lengkap/wr276054.pdf. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Volume 27, No. 6.
Salim, Emil. 1985. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Sandy, I Made. 1985. Geografi Regional Indonesia. Jakarta. Jurusan Geografi UI.
Soemarwotto. 1985. Ekologi Umum. Jakarta: Pustaka Gramedia Utama.
Sukarto. H. 2006. Transportasi Perkotaan dan Lingkungan. Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3 (2): 93-99.
Surjandari, P. 2010. Teori Ruang Bentuk dan Tatanan. Jurnal Arsitron Vol.1 Juni, Fakultas Teknik Universitas Budi Luhur.
Susantono, B. 2009. 1001 Wajah Transportasi Kita. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sutiyoso. 2007. Megapolitan: Pemikiran Tentang Strategi Pengembangan Kawasan Terpadu dan Terintegrasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang “Penataan Ruang”.
 
Gambar: Peta Jakarta dan Kondisi Bantaran Ci Liwung Tahun 1943 pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
 
Sumber: Army Map Services (AMS), Corps of Enginer, US Army, Washington D. C.
Dikompilasi Tahun 1959
 

=====================================

UNIVERSITAS INDONESIA
 
Outline Makalah
Mata Kuliah Hukum Lingkungan
 
Dengan Judul
“PERAN HUKUM LINGKUNGAN DALAM MENGATASI BANJIR DI DKI JAKARTA”
 
 
 
Disusun oleh:
Ahmad Munir, 1306501210
 
 
 
 
JENJANG MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
MARET, 2014

BAB I
PENDAHULUAN
 
1.1. Pendahuluan
a.        Latar Belakang
          Banjir di DKI Jakarta selanjutnya disebut banjir Jakarta merupakan fenonema bencana yang terjadi berulang-ulang, dalam kaitan dengan waktu (temporal) dan ruang (spatial). Fenomena banjir kaitanya dengan pembangunan berdampak pada kerugian, baik kerusakan fisik bangunan (infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas umum) maupun kerugian dari sisi manusia (keterlambatan, proses produksi berhenti, dan lainnya). Sebaliknya, pembangunan menghendaki pertumbuhan dari sisi kuantitas maupun kualitas aspek yang dibangun. Sehingga, pemecahan masalah banjir Jakarta menjadi prioritas pembangunan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi di DKI Jakarta.
          Saat ini, berkembang beberapa alternatif kebijakan penanganan banjir diantaranya: Penataan vila-vila liar di puncak tanpa izin, penataan pemukiman di sekitar waduk di Jakarta, normalisasi sungai, rencana pembangunan sodetan/waduk/situ dan lainnya. Hampir semua paket kebijakan tersebut, menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Terahir yang menjadi isu hangat adalah rencana pembangunan sodetan Ciliwung-Cisadane, yang secara teknis menurut kementrian Pekerjaan Umum masih mampu untuk dijalankan menjadi proyek, namun kebijakan ini ditentang oleh warga Tangerang karena dianggap memindah masalah banjir Jakarta ke daerah lain. Pro kontra ini menarik untuk dikaji dari sisi hukum lingkungan kaitanya dengan penanganan masalah banjir Jakarta.
          Pentingnya hukum lingkungan dalam penanganan masalah banjir di Jakarta tergantung pada kualitas kebijakan yang diterapkan serta tingkat penerimaan masyarakat terhadap produk kebijakan tersebut. Perbedaan pandangan baik dari sisi pemerintah, maupun masyarakat merupakan tantangan yang harus dihadapi pemerintah kaitannya dengan penanganan banjir di Jakarta. Dengan demikian, diperlukan paket kebijakan dengan prasyarat antara lain: dapat diterapkan di masyarakat, tingkat penerimaan masyarakat besar, secara ekonomi membutuhkan dana paling efisien dengan hasil yang lebih baik.
         
          Hukum lingkungan didefisikan sebagai seperangkat kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan yang memiliki tingkat kekuatan untuk memaksa seluruh elemen masyarakat. Hukum lingkungan dapat dinilai efektif manakala hukum lingkungan dapat berperan menjaga keseimbangan lingkungan sekaligus mengatasi masalah-masalah lingkungan, menuju kualitas hidup yang lebih baik.
          Maka penanganan masalah banjir dengan pendekatan hukum lingkungan, sesuai dengan kaidah yang benar secara ilmiah, juga telah dirumuskan dalam bentuk kebijakan yang benar, ternyata masih membutuhkan dukungan masyarakat. Dengan demikian, hukum lingkungan tidak bisa bekerja sendiri dalam konteks penanganan lingkungan. Instrument lain yang bekerja di masyarakat sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman masyarakat sendiri terhadap masalah banjir. Outline makalah ini, berusaha mendeskripsikan peran hukum lingkungan kaitannya dengan masalah banjir di DKI Jakarta.
            
b.        Rumusan Masalah
          Peran hukum lingkungan dalam mengatasi banjir di DKI Jakarta belum tampak hasilnya. Berbagai masalah muncul kaitannya dengan penerapan hukum lingkungan dalam mengatasi banjir di DKI Jakarta. Maka penting untuk dikaji masalah berikut:
1.         Bagaimana kaitan antara banjir di DKI Jakarta dengan kebijakan hukum lingkungan pada masalah Banjir DKI Jakarta?
2.         Apa peran hukum lingkungan kaitannya dengan penanganan masalah banjir Jakarta?
3.         Bagaimana efektivitas peran hukum lingkungan kaitanya dengan tingkat korban dan kerugian yang ditimbulkan akibat Banjir di DKI Jakarta?
 
1.2. Identifikasi Masalah Pokok
Masalah pokok dalam menangani banjir Jakarta adalah penanganan banjir Jakarta tidak terintegrasi dalam sebuah sistem. Dalam konteks hukum lingkungan, masalah banjir Jakarta bertentangan dengan kaidah ekologi pembangunan. Beberapa masalah pokok yang ada diantaranya:
§ Masalah serius penangan banjir Jakarta, tidak tertuang dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan presiden.
§ Tumpang tindih (overlay) kewenangan pada masing-masing instansi yang berdampak pada lepasnya tanggungjawab pengelolaan kali/sungai penyebab banjir.
§ Penanganan banjir yang tidak terpadu dalam konteks kebijakan tata ruang dan tata wilayah.
§ Struktur hukum tidak bekerja untuk mengambil bagian dari persoalan banjir di Jakarta. Eksekutif lebih bekerja sendiri dalam penanganan masalah banjir di DKI Jakarta.
            Dari masalah pokok yang telah disebutkan di atas, dirumuskan alur pikir untuk menjawab masalah peran hukum lingkungan dalam mengatasi banjir di DKI Jakarta sebagai berikut:
Masalah Banjir di DKI Jakarta dari aspek
  • Fisik
  • Sosial dan ekonomi
  • Lingkungan
Kebijakan dan Peraturan kaitannya dengan bencana banjir
  • Undang-undang
  • PP
  • Perpres
  • Permen
Pemerintah, masyarakat dan swasta
Penanganan masalah banjir dan solusi penanganannya
Program dan Kebijakan
Efektivitas penanganan masalah banjir dan tingkat kerugian yang muncul akibat bencana banjir di DKI Jakarta kaitannya dengan peran hukum lingkungan
Paket kebijakan penangan masalah banjir di DKI Jakarta
Hambatan dan Kendala Masalah Banjir
Banjir di DKI Jakarta
Peran Pemerintah Masyarakat dan Swasta
Konflik kepentingan dalam penanganan masalah banjir di DKI Jakarta
Konflik kepentingan dalam penanganan masalah banjir di DKI Jakarta
Program, Proyek dan paket kegiatan dalam pencegahan dan penanganan masalah banjir di DKI Jakarta
Hasil penanganan masalah banjir dari sisi penurunan jumlah korban dan kerugian serta penurunan dampak banjir

 
BAB II
PEMBAHASAN
 
2. 1.     Kejadian Banjir di DKI Jakarta dan Hukum Lingkungan yang Berlaku
Banjir di Jakarta dalam sudut pandang lingkungan dapat dimaknai sebagai terganggunnya sistem hidrologi pada lingkungan daerah aliran sungai (DAS), yang menyebabkan meluapnya berbagai sungai maupun luapan air limpasan yang meyebabkan genangan, sehingga mengganggu kerja ekosistem lain. Pada dasarnya pelaksanaan pembangunan selalu bersifat dilematis (Soemarwotto, 1983). Kaidah ini berlaku dalam konteks penanganan masalah banjir di Jakarta. Pertumbuhan pemukiman disatu sisi menunjukkan kemampuan penduduk memenuhi kebutuhan perumahan, disisi lain pertumbuhan pemukiman menuju bantaran sungai dan wilayah genangan lainnya.
Kompleknya masalah banjir juga bisa dipandang dari sudut sosial. Permasalahan banjir tidak terpisah dengan permasalahan sosial seperti kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk yang tinggi, pertumbuhan pemukiman liar yang tidak sesuai dengan kaidah penataan ruang. Masalah-masalah sosial lebih sulit dipecahkan karena menyangkut peri kehidupan kemanusiaan. Sehingga dalam konteks hukum lingkungan, kaidah ilmiah tentang penanganan masalah banjir sendiri sering ditoleransi.
Kaitanya dengan hal tersebut, hukum lingkungan dianggap dapat menjembatani kompleksitas masalah, dari aspek fisik dan aspek sosial, kemudian dijembatani penyelesaiannya dengan mekanisme hukum. Kesepakatan dari aspek hukum ini, tentu mengikat secara bersama-sama kegiatan yang akan dilangsungkan dalam upaya mengatasi masalah banjir.
Masalah yang muncul selanjutnya, banjir akibat besaran debit maksimun saat musim penghujan yang tinggi, jika dialirkan menuju DKI Jakarta semua, pasti menimbulkan banjir. Sedangkan wilayah sekitar DKI Jakarta, yang memungkinkan untuk membagi besaran debit, juga mengalami masalah banjir yang hampir sama, sehingga tidak semua keputusan yang bersifat terpadu dapat digunakan untuk menangani banjir Jakarta.
 
  
2.2.        Hukum Lingkungan dan Perannya dalam Penanganan Masalah Banjir
               Penanganan masalah banjir tidak bisa lepas dari kebijakan lingkungan dalam bentuk produk hukum lingkungan. Beberapa produk hukum lingkungan yang berlaku saat ini, misalnya Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
Tabel 1: Pertentangan kaidah dalam penanganan masalah banjir di Jakarta
No
Masalah
Kebijakan
Dilema
1
Penanganan banjir di wilayah dampak
Penataan ruang di wilayah banjir
Permasalahan sosial dan hak asasi manusia
2
Penataan ruang
Mengembalikan peran dan fungsi DAS sesuai kaidah hulu, tengah dan hilir
 
3
Pengendalian air melalui pembangunan waduk dank anal maupun saluran/sodetan.
Pendekatan teknis dengan pembangunan sodetan efektif dalam jangka pendek.
Dianggap mengorbankan daerah lain, dan hanya memindahkan banjir ke daerah lain.
4
Pemukiman bantaran sungai di tata ulang
Pemindahan dipandang efektif dalam memenuhi kaidah ruang.
Warga tidak siap dan mendapat penolakan keras.
Sumber: Analisa Penulis, 2014
 
Kasus di atas menunjukkan perbedaan kaidah antara kaidah ilmiah dalam penanganan masalah banjir dengan berbagai pendekatan, ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan tidak hanya menghasilkan manfaat, tetapi juga mendatangkan resiko. Kondisi ini harus ditangani oleh pemerintah dengan meminimalkan resiko dan mendatangkan manfaat yang lebih besar.  
 
2.3.       Kendala Penentuan Kebijakan Hukum Lingkungan dalam Penangan Banjir
Kendala-kendala dalam penanganan masalah banjir di DKI Jakarta dapat dijelaskan dalam dua pendekatan. Pertama, dengan pendekatan kaidah ekologi dan pendekataan penataan ruang. Kedua, kendala dari aspek penentuan kebijakan dan penerapan kebijakan dalam penanganan masalah Banjir di DKI Jakarta.
Dari kaidah ekologi, interaksi yang tidak berimbang antara lingkungan hidup (biotik) dan lingkungan tidak hidup (abiotik) dapat memicu tergannggunya berbagai sistem ekologi. Salah satunya sistem hidrologi yang memicu terjadinya banjir. Beberapa kaidah ekologi yang dilanggar antara lain: 1) Kaidah penataan ruang dan pemanfaatan ruang 2) Kaidah fungsi ekologi DAS dan bantaran sungai 3) Kaidah penduduk dan tempat tinggal sesuai peraturan.
Pada aspek penataan ruang, pemerintah hindia belanda menetapkan kawasan kampong melayu sebagai zona non-pemukiman. Dari aspek geografis, zona tersebut merupakan dataran banjir. Ditinjau dari aspek kebijakan, pemerintah hindia belanda memahami aspek ini, dan tertuang dalam kebijakan penataan ruangnya menjadi daerah bukan pemukiman. perencanaan Banjir di wilayah Kampung Melayu (Lampiran 3).
Dari semua tahapan, perkembangan zonasi banjir terjadi pada zonasi kawasan yang semula ditetapkan non-pemukiman berubah menjadi pemukiman. Terdapat pola pertumbuhan pemukiman pada zona ekologi non-pemukiman. Pola itu juga didukung peraturan-peraturan pemerintah atas dasar kesejahteraan sosial. Maka terdapat dilemma konteks penataan ruang dengan kesejahteraan sosial.
Di samping kendala teknis, juga muncul masalah kelembagaan. Tidak ada peningkatan kapasitas kelembagaan yang cukup, yang berwenang dan bertanggung jawab penuh, baik secara anggaran maupun kebutuhan akan perencanaan. Belum terdapat substanasi kelembagaan, budaya kelembagaan dan sistem kelembagaan yang mapan dalam mencegah dan menanggulangi masalah banjir. Dampaknya penanganan banjir tidak serta merta jadi dan cukup efektif dalam penyelesaian bencana banjir.
 
2.4.       Kerangka Kebijakan Hukum Lingkungan dalam Penanganan Banjir
Kebijakan hukum lingkungan yang telah dikembangkan menghadapi masalah dalam konteks pelaksanaan. Pertama, kebijakan yang telah ditetapkan tidak mengikat semua pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah masih menggunakan otoritasnya sebagai daerah otonom. Dampaknya banyak pemerintah daerah yang menolak pelaksanaan kebijakan, yang dari sisi hukum benar sesuai dengan kaidah ilmiah.
Contoh kasus yang menonjol adalah penolakan wali kota tangerang saat pemerintah pusat melalui kementrian pekerjaan umum bermaksud membangun sodetan Ciliwung-Cisadane. Penolakan ini dapat dipandang sebagai ketidakmampuan dalam memadukan kebijakan lintas provinsi tetapi dalam satu sistem DAS. Pendekatan ini dibenarkan sesuai kaidah ilmiah, tetapi menjadi tidak berlaku dalam konteks pelaksanaan akibat perbedaan kewenangan.
Selanjutnya dalam menangani masalah banjir diperlukan instrument-instrumnet penanganan yang tepat. Beberapa instrument yang diperlukan antara lain: instrument kebijakan, politik, sosial, budaya, lingkungan dan kelembagaan. Standar lingkungan yang wajib dikembangkan adalah standar kualitas lingkungan tertinggi. Standar ini perlu ditetapkan dalam setiap aspek kebijakan, untuk meminimalisir korban dan kerugian yang lebih tinggi akibat banjir.
 
2.5.       Efektivitas Hasil Penanganan Masalah Banjir Kaitanya dengan Hukum Lingkungan
Dengan kompleksitas penentuan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan di atas, maka pendekatan hukum lingkungan dalam penanganan banjir dipandang penting, karena masalah banjir kian waktu kian meningkat intensitasnya dan juga kerugian yang ditimbulkan. Maka pemerintah memiliki keharusan untuk menangani masalah ini secara serius sesuai kaidah ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.
Paradigma konsep keberlanjutan (sustainable) yang sekarang berkembang adalah keseimbangan antara lingkungan, sosial dan ekonomi dari semula paradigma yang berkembang ekonomi lebih mendominasi pandangan tentang pembangunan. Faktanya, saat ini Jakarta telah tumbuh sebagai kota yang melebihi daya tampung dan daya dukungnya bagi warganya. Kondisi ini menuntut paradigma pembangunan kota Jakarta digeser lagi pada paradigma yang lebih ekstrim, yaitu lingkungan harus mendominasi ekonomi dan sosial.
Faktanya sistem sosial dan sistem ekonomi saat ini mendominasi seluruh paradigma pembangunan di Jakarta. Contohnya, proyek reklamasi pantai teluk Jakarta yang mengubah sistem sosial dan sistem lingkungan pada tujuan ekonomi. Sistem ekonomi mendominasi sistem sosial dan lingkungan pada semua aspek perencaan pembangunan yang dikerjakan.
Dengan demikian, masalah banjir yang selalu ditangani dengan pendekatan teknis. Hasilnya tidak cukup efektif dalam konteks penanganan banjir. Penanganan banjir lebih didekati dengan pendekatan proyek. Maka kebijakan penanganan banjir menjadi dilema. Di satu sisi, dia bernilai proyek, namun di sisi lain masalah banjir harus diselesaikan, yang berarti pula menghentikan proyek yang bernilai besar. Dilema ini menghambat pemangku kebijakan serta aspek kelembagaan dalam menangani masalah banjir. Sehingga banjir tidak bisa diselesaikan dari satu aspek saja.
Hukum lingkungan juga tidak bisa bekerja efektif, akibat kompleksitas masalah. Masalah banjir tidak bisa dilihat dari sudut hukum saja, mengingat banjir merupakan bencana yang mengganggu berbagai sistem. Sistem apapun yang terganggu, akan diam dan tidak bekerja efektif.
Efektivitas hukum lingkungan akan terjadi dalam konteks penanganan banjir, jika hukum lingkungan diterapkan secara bertahap, agar sistem yang terganggu tidak terlalu besar. Jika hukum diterapkan secara bertahap dan berkelanjutan dengan memperhatikan lingkungan, sebagai aspek yang paling penting dalam konteks penanganan banjir, maka masalah utama banjir akan dapat diselesaikan juga secara bertahap.
Saat ini pemerintah tidak mampu menentukan prioritas penanganan banjir dari sudut pandang hukum lingkungan. Dampaknya, ketika hukum lingkungan diterapkan secara persuasif, hukum lingkungan tetap mendapatkan pertentangan yang cukup besar. Ini yang menyebabkan hukum lingkungan tidak efektif dalam mengatasi dan menangani masalah banjir.
 

 
BAB III
KESIMPULAN
 
3. 1.     Kesimpulan
Terdapat kaitan erat antara hukum lingkungan dengan penanganan masalah banjir di Jakarta. Masalah banjir di Jakarta bermasalah dalam konteks penanganan, baik pada penentuan kebijakan maupun kepentingan masyarakat dan juga kepentingan pemerintah daerah otonomi lain. Oleh karena itu, peran hukum lingkungan menjadi sangat penting.
Pada aspek, kebijakan hukum lingkungan terhadap kaidah hukum lingkungan yang dilanggar. Masalah banjir dipicu oleh pelanggaraan kaidah penataan ruang yang benar juga pemahaman masyarakat yang tidak sesuai dengan kaidah ilmiah yang ditetapkan dalam hukum lingkungan. Sehingga penanganan banjir terhambat dari sisi kebijakan dan juga pelaksanaan kebijakan.
 
3. 2.     Saran
Penegakan hukum lingkungan dalam berbagai bentuk peraturan dipandang penting sebagai alat penegakan kebijakan lingkungan. Sebagai produk kebijakan, berjalannya produk kebijakan tergantung dari komitmen semua elemen, baik pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan masyarakat selaku subjek peraturan itu sendiri.
Penataan ruang menjadi objek yang sangat vital, kaitannya dengan intensitas pemanfaat ruang. Undang-undang berkewajiban merumuskan penataan ruang yang berkelanjutan. Konsep kebijakan tercantum dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup.
 
 

 
Daftar Pustaka
Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 38 Tahun 2012, tentang “Bangunan Gedung Ramah Lingkungan 2012”
Purnomohadi, N. 2006.  RuangTerbuka Hijau Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota. Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum
Purnomohadi. N. 2008. Implikasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terhadap Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Menuju Kota Ekologis. Jakarta: Dep.PU-Ditjen Penataan Ruang
Purwaka, Tommy Hendra. 2010. Instrumentasi Standarisasi Kebijakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya – Jakarta.
Purwaka, Tommy Hendra. 2010. Kerangka Pemahaman Politik Hukum Nasional. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya – Jakarta.
Purwaka, Tommy Hendra. 2010. Model Analisis Pengembangan Kapasitas. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya – Jakarta.
Salim, Emil. 1985. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Sukarto. H. 2006. Transportasi Perkotaan dan Lingkungan. Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3 (2): 93-99.
Surjandari, P. 2010. Teori Ruang Bentuk dan Tatanan. Jurnal Arsitron Vol.1 Juni, Fakultas Teknik Universitas Budi Luhur.
Susantono, B. 2009. 1001 Wajah Transportasi Kita. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sutiyoso. 2007. Megapolitan: Pemikiran Tentang Strategi Pengembangan Kawasan Terpadu dan Terintegrasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang “Penataan Ruang”.
 
Gambar: Peta Jakarta dan Kondisi Bantaran Ci Liwung Tahun 1943 pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
 
Sumber: Army Map Services (AMS), Corps of Enginer, US Army, Washington D. C.
Dikompilasi Tahun 1959
 
==============

BAB 1
FILOSOFI HUKUM LINGKUNGAN
 
1.    Landasan Berfikir
Sumber daya alam (SDA) terbatas, sebaliknya kebutuhan tidak terbatas. Dalam memenuhi kebutuhan, manusia memanfaatkan sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan (SDB) dan sumber daya manusia (SDM).
 
Sumber daya manusia (SDM) terbagi dalam tiga kategori:
1.      Tengible – yang terlihat (jumlah, kepadatan)
2.      Intangible – yang tidak terlihat (kualitas)
3.      Very Intangible – sangat tidak terlihat (reputasi dan moral)
 
Bagan Interaksi SDA, SDB dan SDM
 
SDA – terbatas
Kebutuhan – tak terbatas
SDA, SDM, dan SDB
SDA – terbatas
Kebutuhan – tak terbatas
SDM
1.      Tangible
2.      Intangible
3.      Very intangible
 
Dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas, manusia dibatasi oleh ketentuan:
1.      Tidak bisa memenuhi kebutuhan sendiri (sosial)
2.      Perlu berinteraksi dengan orang lain (ekonomi)
3.      Perlu diprioritaskan kebutuhannya dibanding orang lain (politik)
4.      Berpengetahuan tentang nilai (budaya)
 
2.    Kedudukan Masyarakat dan Hukum
Alasan utama, manusia membuat ketentuan hukum adalah interaksi manusia, jika dibiarkan secara naluriah akan berkembang suatu paham “yang kuat yang menang”.
 
Bagan interaksi manusia dengan hukum.
Manusia
Masyarakat
Hukum
aturan
Sosial Enginering
Sociological Yurisprudensi
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

a.    Kesepakatan Masyarakat (Sosiological Yurisprudensi)
Interaksi antar manusia ahirnya menimbulkan kesepakatan atau disebut kesepakatan masyarakat. Dalam kesepakatan yang lahir, ada kepentingan dari tiap individu.
Kepentingan terpecah menjadi dua, pertama, manusia menginginkan kepentingan individunya tercapai. Namun, berhadapan dengan manusia lain, kepentingan individu dipaksa melebur dalam kepentingan publik.
Beberapa kepentingan individu (privat) antara lain: perlindungan konsumen, perlindungan produsen dan perlindungan perantara
Beberapa kepentingan publik dicapai dengan: 1) Kompromi – pentuan batas/ pandangan melalui negosiasi 2) trade off/ pengorbanan - 3) Balancing – perimbangan dinamis.
 
b.   Rekayasa Sosial (Sosial Engineering)
Jika hukum diterapkan terus menerus, hukum dapat merekayasa masyarakat (sosial engineering). Akibatnya, hukum menjadi mati. Hal ini diistilahkan “a contrario”.
Cicero “Ibis Ius, Ubi Societas” atau “ada hukum, ada masyarakat”.
 
3.    Kaitan Hukum Lingkungan dengan Ekonomi
Normatif
Positif
Hukum menahan kost
Efisiensi
 

4.    Penegakan Hukum Lingkungan
a)      Preventif – sejak membuat hukum.
b)      Hukum tidak boleh berlaku surut




This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free