Kebijakan konversi lahan bermula pada tahun 1980-an saat turunnya SK Menteri Pertanian No. 682/Kpts/Um/1981 tentang pengertian dan tata cara penentuan luas hutan optimal dan hutan produksi yang dapat dikonversi serta hutan produksi tetap, kawasan hutan yang dilepas untuk dirubah peruntukkannya dalam memenuhi kebutuhan perluasan pengembangan wilayah di luar bidang kehutanan seperti transmigrasi, pertanian, perkebunan, industri, pemukiman dan lain-lain adalah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan non kehutanan, khususnya pertanian (Manurung, 2000). Namun pada saat sekarang ini banyak sekali terjadi konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian (perumahan, kawasan industri, kawasan publik). Konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian akan menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan karena lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dampak negatif konversi lahan sawah yang paling sering menjadi sorotan masyarakat adalah terganggunya ketahanan pangan akibat berkurangnya kapasitas produksi pangan, berkurangnya lapangan kerja pertanian, dan terjadinya marjinalisasi sektor pertanian (Irawan, 2008).
Fenomena konversi lahan ini terjadi akibat persaingan dalam pemanfaatan lahan yang muncul akibat keterbatasan sumber daya lahan, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Sumber daya lahan dalam hal ini tanah (land) jumlahnya terbatas dan tetap, sehingga semakin lama nilai tanah ini akan semakin tinggi yang disebabkan oleh keterbatasan tersebut. Meningkatnya kelangkaan lahan akibat pertumbuhan penduduk yang menyebabkan tingginya permintaan akan lahan untuk kegiatan pertanian dan non-pertanian (permukiman) pada akhirnya menjadi awal penyebab konversi lahan ini, yang berefek domino terhadap hilangnya hutan alam.
Proses konversi lahan yang dimulai dengan konversi hutan untuk lahan pertanian kemudian berlanjut kepada konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang terutama untuk permukiman. Proses konversi lahan ini jika di analisis lebih mendalam maka yang paling besar terkena dampaknya adalah kawasan hutan yang lama kelamaan semakin menyempit. Konversi hutan alam ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan antara lain yaitu hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati hutan hujan tropika, berkurang/hilangnya habitat satwaliar, dan munculnya bencana kebakaran hutan dan lahan akibat pembukaan hutan dengan cara membakar. Masalah lainnya, konversi hutan alam sering menimbulkan konflik sosial yang berawal dari permasalahan konflik lahan, yang merugikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Upaya pengendalian konversi lahan sebenarnya sudah sejak lama dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan berbagai peraturan terkait konversi lahan. Namun upaya ini belum mampu menekan laju konversi lahan yang semakin masif pada waktu belakangan ini. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk merumuskan mengenai perlunya revitalisasi kebijakan konversi lahan dalam rangka meningkatkan efektifitas kebijakan publik.
1.2 Rumusan Masalah (Statement Problem)
Masalah pokok yang diajukan dalam makalah ini adalah,
1. Konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian berlangsung terus menerus.
2. Instrumen penahan laju konversi lahan tidak efektif dalam upaya mencegah konversi lahan.
3. Diperlukan revitalisasi kebijakan konversi penggunaan lahan.
Konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian akan menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan, karena lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dapak negatif konversi lahan sawah yang paling sering menjadi menjadi sorotan masyarakat adalah terganggunya ketahanan pangan akibat berkurangnya kapasitas produksi pangan, berkurangnya lapangan kerja pertanian, dan terjadinya marjinalisasi sektor pertanian. Di samping itu konversi lahan sawah juga dapat menimbulkan masalah lingkungan, misalnya meningkatnya intensitas banjir sebagaimana yang terjadi di kawasan Bogor dan Cianjur.
Meskipun sudah dilakukan upaya pengendalian kegiatan konversi lahan sawah oleh pemerintah, namun upaya yang dilakukan belum mampu menekan laju konversi lahan sawah. Bahkan kegiatan ini sudah merambat ke konversi lahan sawah irigasi, yang sebenarnya merupakan lahan potensial untuk usaha tani padi sawah.
Jurnal ini mengungkapkan perlunya revitalisasi kebijakan konversi lahan dalam rangka meningkatkan efektifitas kebijakan yang sudah ada. Dalam jurnal ini dibahas mengenai tinjauan konversi lahan sawah, pola pemanfaatan, dampaknya terhadap produksi padi. Selain itu substansi faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan dan komponen kebijakan pengendalian konversi lahan yang diterapkan pemerintah, serta kelemahan dalam kebijakan yang memerlukan revitalisasi juga dijelaskan dalam jurnal ini.
Pada tataran nasional, terutama di Pulau Jawa konversi lahan sawah lebih banyak disebabkan oleh kebutuhan lahan untuk pembangunan pemukiman yang diakibatkan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat. Sementara di luar Jawa. Konversi lahan lebih banyak disebabkan oleh kebutuhan lahan untuk pembangunan sarana transportasi dan sarana public lainnya dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah yang terjadi di luar Jawa sebenarnya lebih disebabkanvoleh lemahnya perencanaan pembangnan sarana public di samping kebutuhan lahan untuk pembangunan perumahan.
Konversi lahan sawah dapat menimbulkan masalah berkurangnya kapasitas produksi pangan. Masalah ini bersifat permanen karena lahan sawah yang sudah dikonversi ke penggunaan non-pertanian tidak dapat berubah kembali menjadi lahan sawah. Untuk mengatasi permasalahan ini, dilakukan pencetakan sawah baru, namun jumlah konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian lebih besar dari pada pencetakan sawah baru, sehingga solusi ini tidak dapat menyelesaikan masalah yang diakibatkan berkurangnya produksi pangan.
Selain masalah pangan, konversi lahan sawah juga menimbulkan masalah sosial, terutama bagi petani karena mengurangi lapangan kerja. Dari aspek lingkungan, lahan sawah berfungsi untuk mencegah terjadinya banjir, sebagai pengendali keseimbangan tata air, mencegah terjadinya erosi, mengurangi pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Dengan berkurangnya lahan sawah, semua manfaat lingkungan dari fungsi sawah tersebut juga berkurang, bahkan hilang.
Konversi lahan pertanian terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Hal ini muncul akibat tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu keterbatasan sumber daya lahan, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi.
Karena pertumbuhan penduduk semakin meningkat, maka permintaan akan kebutuhan lahan terutama untuk dijadikan pemukiman akan semakin meningkat, sementara lahan yang tersedia tidak bertambah luas, hal ini pada akhirnya mengakibatkan kelangkaan lahan. Sementara pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian dengan laju lebih tinggi disbanding permintaan lahan untuk kegiatan pertanian, karena permintaan produk non-pertanian lebih elastis terhadap pendapatan. Karena isu-isu tersebut, pada akhirnya menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian.
Di sisi lain, terjadi dorongan peningkatan penawaran lahan pertanian oleh petani. Hal ini dirangsang oleh beberapa faktor, di antaranya, luas pemilikan lahan petani yang relatif sempit akibat kepadatan penduduk yang tinggi, sistem pewarisan lahan peah-bagi yang mengarah pada pemilikan lahan yang semakin sempit, kelangkaan lahan, dan pemilikan lahan guntai yang kurang produktif. Dorongan permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian juga semakin bertambah, karena pertumbuhan jumlah penduduk mengakibatkan pertumbuhan permintaan kebutuhan sehingga membutuhkan peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan penduduk.
Kedua perilaku penawaran dan permintaan ini seharusnya dikendalikan dengan kebijakan dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan pengembangan wilayah. Kelemahan dan ketidaktegasan kebijakan dapat menjadi celah bagi penyalahgunaan konversi lahan sawah, dan kebijakan sosial yang tidak mampu menekan laju pertumbuhan penduduk dapat merangsang konversi lahan akibat meningkatkan kelangkaan lahan dan naiknya kebutuhan lahan untuk perumahan penduduk.
Kebijakan pengendalian konversi lahan dapat berupa kebijakan RTRW, izin lokasi, dan larangan konversi lahan. Konversi lahan di lapangan dipengaruhi oleh luas lahan, lokasi lahan, dan jenis lahan. Berbagai peraturan pemerintah berupaya mengendalikan konversi lahan sawah. Peraturan ini mengatur dari ketentuan pembangunan kawasan industri, izin pembebasan tanah, lokasi pembangunan, RTRW, sampai pelarangan perubahan status lahan sawah menjadi lahan kering yang menutup saluran irigasi, mengeringkan lahan sawah, dan menimbun ladang.
Secara substantive terdapat tiga instrument utama yang digunakan dalam menerapkan kebijakan konversi lahan, yaitu penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) di setiap lapisan pemerintahan, pemberian izin lokasi untuk mengarahkan lokasi kegiatan dan mengendalikan besarnya setiap jenis kegiatan pembangunan yang disesuaikan dengan RTRW, dan berbagai peraturan tentang konversi lahan. Ketiga instrument ini sudah memadai untuk mengendalikan konversi lahan karena memiliki arahan yang jelas tentang sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan non-pertanian. Selain itu juga memiliki instrument pengendalian yang jelas untuk mengarahkan lokasi kegiatan pertanian dan non-pertanian dan memiliki acuan yang jelas tentangjenis lahan pertanian yang dapat dikonversi ke penggunaan non-pertanian. Namun kenyataannya, ketiga instrument kebijakan tersebut belum dapat mengendalikan konversi lahan pertanian yang terjadi terlihat dari luas lahan sawah yang terus mengalami penurunan akibat dikonversi ke penggunaan non-pertanian.
Dalam jurnal ini dikemukakan pandangan Edwards (1980), bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi efektifitas kebijakan public, yaitu: rumusan dan komunikasi kebijakan, ketersediaan sumber daya, perilaku pelaksana kebijakan dan struktur birokrasi organisasi pelaksana kebijakan.
Rumusan kebijakan harus realistis dan dengan jelas menyebutkan obyek kebijakan serta kewajiban yang harus dilaksanakan dan sanksi yang berlaku. Jika setiap pihak konsisten dalam mengimplementasikannya, kebijakan dapat dijalankan dengan efektif, dan pengendalian konversi lahan sawah dapat benar-benar dikendalikan. Untuk itu diperlukan pemahaman yang baik dari rumusan kebijakan oleh setiap pihak baik pemangku kepentingan, penegak hukum, dan pemerintah setempat. Keseragaman dalam instruksi yang diteruskan sangat penting agar arah kebijakan jelas, akurat, dan konsisten. Jika tidak didukung oleh faktor-faktor tersebut, implementasi suatu kebijakan tidak dapat berlangsung dengan efektif. Dengan demikian, sikap pelaksana kebijakan merupakan salah satu faktor kritis yang sangat mempengaruhi implementasi suatu kebijakan publik. Kemudian diperlukan juga struktur birokrasi pelaksana kebijakan yang efisien untuk menerapkan kebijakan yang telah dirumuskan secara konsisten, dan melakukan pemantauan setelah kebijakan tersebut dijalankan.
Di luar faktor-faktor yang sudah disebutkan, faktor lingkungan juga berpengaruh besar dalam keberhasilan penerapan suatu kebijakan. Misalnya dukungan publik yang lemah terhadap suatu kebijakan, ketidakpedulian masyarakat, dan sistem hukum dan peradilan yang lemah dapat menimbulkan hambatan dalam implementasi suatu kebijakan.
Berbagai celah dalam kebijakan menjadi salah satu alasan tidak terkendalinya konversi lahan yang terjadi. Celah ini dapat berupa rumusan kebijakan yang tidak akurat dan realistis sehingga menimbulkan kerancuan interpretasi pada para pelaksana kebijakan sehingga tidak diterapkan secara konsisten. Dapat pula karena larangan konversi yang tidak tegas menyebutkan batas kawasan larangan daerah konversi, dan terjadinya latah atau sifat konversi yang menular. Larangan konversi lahan pertanian hanya diberlakukan untuk lahan sawah irigasi teknis dan tidak mencakup lahan sawah lainnya dan lahan kering, padahal, keduanya juga mempunyai fungsi lingkungan yang besar yang dapat hilang dengan terjadinya konversi lahan.
Sistem kebijakan konversi lahan yang berlaku selama ini hanya terfokus pada upaya mengendalikan proses konversi lahan dalam rangka menekan potensi dampak negatif yang ditimbulkan, dan tidak mencakup aspek penanggulangan dampak negatif konversi lahan, dan tidak memasukkannya sebagai bagian integral dari kebijakan konversi lahan.
Sistem pencetakan sawah baru dibiayai dengan dana pemerintah, namun manfaat yang ditimbulkan dari konversi lahan hanya dinikmati oleh para investor yang melakukan konversi lahan dan sebagian masyarakat yang mendapat kesempatan kerja non-pertanian terkait kegiatan non-pertanian dari konvesi lahan itu. Padahal kerugian dari hilangnya fungsi lingkungan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan pemerintah tidak mendapat dana untuk perbaikan lingkungan dari kerusakan yang diakibatkan konversi lahan.
Masalah ini timbul secara berkelanjutan, ditambah lagi dengan lemahnya sosialisasi ke masyarakat untuk mengkomunikasikan kebijakan, sehingga masyarakat kurang memahami dampak yang ditimbulkan dari konversi lahan. Peran pejabat daerah yang cenderung mendukung penjualan lahan memudahkan investor masuk dan melakukan konversi lahan.
Di setiap kawasan, definisi kawasan pembangunan dalam RTRW yang digunakan oleh setiap kabupaten tidak selalu sama dan konsisten, disesuaikan dengan tujuan pemanfaatannya. Karena skala peta RTRW seringkali terlalu besar, maka natas kawasan yang sebenarnya seingkali menjadi tidak mudah ditelusuri. Kemudian, seringkali, pejabat pengendali konversi mempunyai kepentingan sehingga tdak mau mengambil resiko jabatan, terutama jika terdapat perbedaan pendapat dengan kepala daerah.
Secara legal pemberian izin lokasi merupakan instrument pemerintah untuk mengoperasionalkan kebijakan pengendalian konversi lahan di tingkat lapangan. Tanpa pemberian izin lokasi maka pemanfaatan lahan pertanian untuk kegiatan non-pertanian tidak mungkin dapat dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan konversi lahan pada akhirnya dikembalikan ke daerah masing-masing meskipun berpedoman pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Di tingkat daerah, pemahaman tentang pentingnya kebijakan konversi lahan masih lemah. Cara pandang mengenai dampak yang ditimbulkan oleh konversi lahan masih dianggap hal kecil. Selain itu perilaku pelaksana kebijakan seringkali dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau golongan, sehingga timbul kasus konversi yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku namun tetap mendapat dukungan dari pemerintah daerah.
Kondisi demikian menyebabkan pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap kebijakan konversi lahan sangat jarang dikenai sanksi, dan cenderung mencari celah hukum yang ada agar dapat tetap melakukan konversi lahan demi kepentingan pribadi atau organisasinya. Selain itu, sanksi yang berlaku bagi setiap pelanggaran kebijakan konversi lahan sejauh ini belum dirumuskan.
Karena kebijakan konversi lahan yang diterapkan selama ini masih kurang efektif, maka perlu dilakukan beberapa perubahan dalam beberapa aspek seperti lingkup kebijakan, obyek kebijakan, instrument kebijakan, birokrasi organisasi pelaksana kebijakan, dan perubahan metode dalam sosialisasi kebijakan.
Permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian tidak mungkin dihindari selama pertumbuhan ekonomi masih menjadi fokus utama pembangunan dan kebutuhan perumahan penduduk terus meningkat. Untuk itu, kebijakan konvesi lahan harus lebih diarahkan pada upaya menekan dan menetralisisr dampak negatif yang ditimbulkan dengan melibatkan seluruh sumberdaya yang ada di masuarakat. Konversi lahan boleh saja dilakukan untuk mendukung proses pembangunan selama dampak negatifnya dapat dinetralisir.
Kebijakan konversi lahan harus mencakup tiga upaya yaitu menekan peluang terjadinya konversi lahan, menekan potensi dampak negatif konversi lahan melalui pengendalian lokasi, luas, dan jenis lahan pertanian yang akan dikonversi, dan menetralisisr dampak negatif konversi lahan yang terjadi.
Upaya menekan dampak negatif yang ditimbulkan konversi lahan dapat dilakukan dengan menekan intensitas faktor ekonomi dan sosial yang dapat mendorong terjadinya konversi lahan, misalnya dengan menekan laju pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana, mengembangkan program transmigrasi, mengembangkan pajak lahan progresif khusunya untuk penguasaan lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan non-pertanian, meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dalam pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan kompleks perumahan yang menganut prinsip “hemat lahan”. Selain itu dapat juga dilakukan dengan membatasi konversi pada lahan-lahan pertanian yang memiliki produktivitas tanaman pangan, daya serap tenaga kerja, dan fungsi lingkungan yang relatif tinggi. Juga dengan membatasi konversi lahan pertanian yang ditujukan untuk kegiatan non-pertanian yang memiliki daya serap tenaga kerja relatif rendah, tidak hemat lahan dan potensi dampak lingkungan besar, membatasi konversi lahan yang terdapat di sentra produksi pangan dan peranan sektor non-pertanian besar sebagai sumber pedapatan masyarakat setempat, dan membatasi total luas lahan pertanian yang dapat dikonversi untuk mendukung pembangunan sektor non-pertanian di setiap kabupaten.
Instrument kebijakan yang efektif merupakan aspek penting untuk mendorong implementasi seluruh kebijakan yang telah dirumuskan. Dalam mengendalikan konversi lahan selama ini pemerintah hanya mengandalkan pada instrument yuridis, dengan menerbitkan berbagai peraturan yang melarang konversi lahan sawah, namun terbukti kurang efektif. Penyempurnaan instrument yuridis yang terkait dengan kebijakan konversi lahan terutama yang berhubungan dengan masalah sanksi pelanggaran atas kebijakan yang telah dirumuskan akan sangat membantu dalam pengendalian konversi lahan.
Instrument ekonomi dapat diterapkan bagi para investor yang akan melakukan konversi lahan berskala besar, terutama dalam mengendalikan luas, lokasi dan jenis lahan yang akan dikonversi, maupun untuk menekan peluang terjadinya konversi lahan. Pendekatan sosial digunakan untuk menekan konversi lahan dari segi penawaran lahan.
Ada dua alternatif yang dapat dikembangkan untuk mendorong pelaksanaan kebijakan konversi lahan secara konsisten yaitu: pelaksanaan kebijakan yang dilakukan secara sentralis, sehingga pengendalian dapat dilakukan langsung dari pusat, kemudian pemberian izin konversi lahan dan izin lokasi tetap bersifat desentralis tetapi pemerintah pusat mengembangkan suatu instrument yang dapat mendorong pelaksana kebijakan di daerah. Hal ini dapat ditempuh dengan mengalokasikan APBN untuk mendukung pembangunan daerah ang disesuaikan dengan kinerja pengendalian konversi lahan di setiap kabupaten.
Terakhir, sosialisasi yang intensif dari tingkat pelaksana kebijakan hingga di tingkat desa dan masyarakat luas agar menaruh perhatian lebih besar pada masalah konversi lahan, dengan harapan meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai bentuk pelanggaran hukum konversi lahan dan dampaknya pada lingkungan baik alam maupun sosial.
Perlu adanya kebijakan yang mengatur mengenai konversi lahan ini agar lahan-lahan yang tersisa tidak ikut terkonversi menjadi penggunaan lahan yang lain. Peruntukan lahan untuk lahan pertanian dan permukiman harus jelas mengenai kriterianya. Menurut Potter & Lee (1998), daerah padang alang-alang dan semak belukar dialokasikan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Namun pada kenyataannya pemerintah telah melakukan pengembangan perkebunan kelapa sawit pada areal hutan konversi dan kadang pada kawasan hutan hutan produksi. Keterlibatan pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam konversi hutan sangat berhubungan dengan industri perkayuan. Sebagian besar dari areal perkebunan kelapa sawit merupakan bekas areal tebangan dari konsesi HPH yang telah terdegradasi, sehingga pada saat ini banyak perusahaan perkayuan dan HTI (pulp and paper) yang arealnya dulunya bekas HPH beralih ke perkebunan kelapa sawit. Hal ini dimungkinkan mengingat pengusaha perkebunan yang ada di Indonesia merupakan holding company, artinya perusahaan yang membangun perkebunan juga memiliki HPH dan HTI secara bersamaan.
Dalam pembangunan suatu negara indikator yang sering dipakai adalah ekonomi, jika pertumbuhan ekonomi suatu negara naik maka pembangunan yang dilakukan oleh negara tersebut dapat dikatakan berjalan sukses. Namun ada konsekuensi yang harus diterima dari naiknya pertumbuhan ekonomi ini, konsekuensi ini adalah menurunnya kualitas lingkungan dari negara tersebut.
Pemerintah memiliki kewenangan yang sah untuk mengendalikan dan mengatur pemanfaatan sumber daya lahan. Hal ini ditegaskan dalam UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa negara memiliki kewenangan untuk: (1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa (2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa dan (3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa. Berdasarkan kewenangan pemerintah seperti disebutkan diatas maka konversi lahan yang terjadi di lapangan sebenarnya akan sangat ditentukan oleh efektifitas kebijakan pengendalian konversi lahan yang dilakukan pemerintah. Begitu pula besarnya dampak konversi lahan terhadap masalah pangan, ekonomi, sosial dan lingkungan akan sangat ditentukan oleh efektifitas kebijakan tersebut (Irawan, 2008).
Secara substantif terdapat tiga instrumen utama yang digunakan dalam menerapkan kebijakan konversi lahan selama ini, yaitu : pertama, Penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Di dalam RTRW dipetakan kawasan-kawasan yang disediakan atau yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pertanian dan non pertanian. Kedua, pemberian ijin lokasi. Ijin lokasi merupakan instrumen untuk mengarahkan lokasi kegiatan dan mengendalikan besarnya setiap jenis kegiatan pembangunan yang disesuaikan dengan RTRW. Ketiga, berbagai peraturan tentang konversi lahan. Peraturan-peraturan tersebut merupakan instrumen untuk mengendalikan jenis lahan pertanian yang dapat dikonversi ke penggunaan non pertanian.
Sehubungan dengan kebijakan publik seperti halnya kebijakan konversi lahan, Hoogerwerf (1983) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang sangat menentukan efektifitas kebijakan, yaitu akurasi rumusan kebijakan, kelengkapan informasi yang dimiliki oleh para pelaksana kebijakan, dukungan publik terhadap kebijakan yang dikembangkan, dan kualitas intelektual dan moralitas para pelaksana kebijakan.
Faktor Internal:
Faktor Eksternal:
|
Kekuatan/Strength (S)
1. Transformasi struktur ekonomi yang mengarah pada sektor ekonomi yang memiliki produktivitas
2. Penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dibuat disetiap kabupaten/kotamdya dan disahkan oleh DPRD serta fungsi sebagai landasan atau acuan dalam mengatur lokasi dan luas lahan yang dapat dimanfaatkan untuk setiap jenis kegiatan pembangunan dengan prinsip memberikan manfaat sebesar-besarnya
3. Peraturan untuk mengendalikan jenis lahan pertanian yang dikonversi ke penggunaan non pertanian.
4. Pencetakan sawah baru umumnya dibiayai dengan dana pemerintah
|
Kelemahan/Weakness(W)
1. Terganggunya ketahanan pangan akibat berkurangnya kapasitas pangan
2. Berkurangnya lapangan kerja pertanian
3. Lahan sawah yang sudah dikonversi ke penggunaan nonpertanian tidak pernah berubah kembali menjadi sawah
4. Luas pemilikan lahan petani yang relatif sempit akibat kepadatan penduduk yang tinggi
5. Rumusan kebijakan yang tidak akurat dan realistis dapat menimbulkan kerancuan interpretasi pada para pelaksana kebijakan sehingga kebijakan tersebut tidak diterapkan secara konsisten
6. Kurang lengkap informasi yang dimiliki pleh pelaksana kebijakan
7. Larangan konversi tidak dengan tegas menyebutkan dalam batas kawasan mana larangan berlaku
8. Skala peta RTRW yang dibuat seringkali terlalu besar, maka batas kawasan yang sebenarnya tidak mudah ditelusuri di tingkat lapangan sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda
9. Undang-Undang otonomi daerah memberikan
|
PeluangOppurtunity (O):
1. Pemberian ijin lokasi
|
1. Menekan intensitas faktor ekonomi dan sosial yang mendorong terjadinya terjadinya konversi lahan
2. Melibatkan dana investor pelaku konversi lahan, khususnya untuk konversi lahan berskala luas
|
1. Melakukan perluasan lahan pertanian dengan luas sebanding dengan kapasitas produksi pangan dan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian yang hilang akibat konversi lahan
2. Pendekatan sosial dapat digunakan untuk menekan peluang terjadinya konversi laha dari sisi penawaran lahan
|
Ancaman/Threat (T):
1. Peningkatan jumlah penduduk
2. Menimbulkan masalah
lingkungan seperti banjir
3. Persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian
4. Konversi lahan biasanya bersifat menular dengan kata lain sekali konversi lahan terjadi disuatu lokasi maka akan diikuti dengan konversi lahan lainnya disekitarnya
5. Orientasi pembangunan daerah umumnya lebih berfokus pada uapaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka memperbesar anggaran pembangunan daerah sehingga berdampak terhadap pembangunan sektor non pertanian karena dapat menghasilkan PAD lebih besar dan mendorong ekonomi lebih cepat
|
1. Komunikasi kebijakan yang ditempuh melalui sosialisasi merupakan aspek penting agar seluruh pihak yang terkait dan memahami apa yang harus dilakukan
2. Menekan laju pertumbuhan penduduk melalui program KB
3. Mengembangkan program transmigrasi
4. Mengembangkan pajak lahan lahan pogrresif khususnya penguasaan lahan kegiatan non pertanian
5. Membatasi konversi pada lahan-lahan pertanian yang memiliki produktivitas tanaman pangan, daya serap tenaga kerja dan fungsi lingkungan relatif tinggi
|
1. Penyempurnaan instrumen yuridis yang terkait dengan kebijakan konversi lahan terutama yang berhubungan dengan masalah sangsi pelanggaran atas kebijakan yang telah dirumuskan
2. Intrumen valuasi ekonomi dapat diterapkan bagi para investor yang akan melakukan konversi lahan berskala besar.
3. Pelaksanaan kebiajakan konversi lahan dilakukan secara sentralistis
4. Pemerintah pusat mengembangkan suatu instrumen yang dapat mendorong pelaksana kebijakan didaerah
5. Sosialisasi kebijakan yang intensif diharapkan masyarakat semakin memahami bahwa konversi lahan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum dan sangat merugikan bagi kepentingan masyarakat luas.
|
3.3.1 Pandangan Positif Hukum Lingkungan
Konversi lahan sawah dan produksi padi nasional merupakan dua subjek pokok dalam kajian konversi lahan yang sering menjadi acuan dalam memperdebatkan lahan sebagai objek yang fundamental. Dari sudut pandang lingkungan, objek lahan merupakan sumber daya non-hayati yang memiliki fungsi dan peran yang vital, kaitannya dengan keseimbangan suatu ekologi dalam lingkungan. Hukum lingkungan sebagai produk cara pandang masyarakat dalam melihat lingkungan melahirkan kesepakatan berupa kebijakan lingkungan. Terutama Kebijakan lingkungan dalam melihat laju konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian sebagai pokok masalah dalam hukum lingkungan.
Dalam melihat masalah konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian penulis melihat pokok masalahnya pada faktor penentu efektifitas kebijakan publik. Pokok masalah dalam kebijakan publik yang efektif dalam pandang penulis adalah 1) akurasi rumusan kebijakan, 2) kelengkapan informasi yang dimiliki pelaksana kebijakan dan dukungan publik terhadap kebijakan yang dikembangkan 3) kualitas intelektual dan moralitas pelaksana kebijakan. Jika masalah konversi lahan berjalan sesuai dengan arahan efektivitas kebijakan, maka peluang konversi lahan menjadi kecil.
Jika menakar efektivitas faktor penentu pada sisi akurasi rumusan kebijakan, maka masalah konversi lahan dapat diukur dari produk kebijakan yang berkembang. Saat ini rumusan kebijakan lebih didominasi dari sisi perencana dengan mekanisme kesepakatan bersama. Lahirnya undang-undang lingkungan hidup dipandang sebagai produk kebijakan yang memiliki akurasi tinggi dalam mengendalikan lingkungan. Disis lain, lahir pula undang-undang penataan ruang yang mengacu pada Undang-undang nomor 26 tahun 2007. Seperangkat undang-undang tersebut memiliki makna yang fundamental berkaitan dengan konversi lahan.
Pada bagian kelengkapan informasi yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan dan dukungan publik, sampai saat ini konversi lahan masih menjadi objek yang informasinya paling vital. Tidak sedikit lahan dalam hal kepemilikan masih menjadi objek rebutan dengan berbagai kepentingan, Maknanya, lahan masih banyak dalam status tidak jelas kepemilikannya yang bisa bermakna ganda dalam konteks pemanfaatan. Informasi berkaiatan dengan luasan sawah yang saat ini tersedia dengan berbagai intrument yang mendukung fungsi sawah tetap pada peran menghasilkan produk pangan unggulan belum tersedia memadai. Maka dalam hal ini, pokok masalah informasi harus diselesaikan menurut kebutuhan dan akurasi informasi yang tepat.
Ketetapan ketetapan lahan menurut fungsi dan kegunaanya sebagaimana digambarkan dalam undang-undang penataan ruang setidaknya ideal dari sisi normatif. Sedangkan dari sisi akurasi rumusannya masih perlu diuji publik, kaitanya dengen tingkat akurasi dan kesesuaian terhadap kebijakan yang diperlukan. Maka konversi lahan dalam pandangan undang-undang sangat mungkin dikendalikan dan diatur, dengan tingkat akurasi yang relatif baik.
Pada bagian kualitas intelektual dan moralitas pelaksana kebijakan, konversi lahan menjadi subjek pokok masalah dan melibatkan berbagai sektor usaha. Karena itu, konversi lahan bisa memiliki nilai yang besar dari sisi finansial. Contoh kasus alih fungsi lahan gambut untuk pelabuhan, alih fungsi hutan lindung menjadi are perkebunan kelapa sawit dan alih fungsi bantaran sungai untuk pengembangan kasawan pemukiman merupakan fenomena dan gejala yang sering muncul ke ruang publik. Maka dalam menyikapi kasus semacam ini, lahan menjadi objek yang sangat penting. Ijin pemanfaatan lahan bisa memicu terjadinya praktek suap dalam perolehan hak atas pemanfaatan lahan. Oleh karena itu, pelaksana kebijakan dituntut memiliki intelektual dan moral yang konsisten dan sesuai dengan peraturan. Tidak justru sebaliknya, memanfaatkan kewenangan dan perannya untuk melahirkan praktek penggunaan lahan yang salah, dalam bentuk konversi dan alih fungsi lahan yang tidak sesuai peruntukan.
Dengan demikian, makna efektifitas sangat bergantung pada subjek yang menanfaatkan ruang. Subjek-subjek tersebut dominan dalam mencegah laju konversi lahan yang tidak sesuai peruntukan. Oleh karena itu, subjek-subjek tersebut akan efektif dikendalikan manakala kepentingan-kepentingan subjek lahan dipenuhi tanpa mengabaikan kaidah lahan yang berlaku. Pada sisi ini peran subjek-subjek penggunana lahan sangat menentukan bagaimana konversi lahan berkembang.
Makna revitalisasi yang diajukan penulis, terutama pada masalah konversi lahan sebagai dilema pembangunan. Ada sisi positif hasil telaah yang dilakukan, salah satunya efektivitas kebijakan konversi lahan dari sudut pandang lingkup kebijakan, objek kebijakan, instrument kebijakan, birokrasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan sosialisasi kebijakan. Pandangan ini sudah melihat rumusan masalah dari sudut pandang yang positif terutama dari sisi hukum formal lingkungan.
Dalam menjawab dilema kekinian dan tantangan masa mendatang, perubahan yang diajukan penulis perlu mendapat apresiasi pada satu sisi, tapi juga bisa memicu masalah pada sisi lain. Paling tidak hal positif yang dapat diambil adalah aspek kebijakan dan solusi yang ditawarkan bersifat normatif. Misalnya, dalam birokrasi organisasi diharapkan terjadi revitalisasi dari desentralisasi ke sentralisasi. Konsep sentraliasasi dalam mengendalikan lahan kembali dipandang sebagai cara yang efektif dan relevan, padahal tantangannya dalam mengendalikan lahan jauh lebih kompleks. Sehingga sebaiknya dirumuskan kembali sentralisasi-desentralisasi yang berjalan seimbang.
Pandangan tentang penurunan produksi padi kaitanya dengan percepatan konversi lahan sawah ke non pertanian adalah wujud dari berkembangnya paradigma pertanian yang berbasis ekonomi. Pandangan ini akan selalu melihat produksi padi sebagai ukuran dari pada keberhasilan produk pertanian.
Konversi lahan lebih banyak dipandang oleh perencana terutama pembuat kebijakan dan peraturan perundang-undangan lainya, selalu lebih memfokuskan lahan sebagai objek yang statis atau mati. Sehingga munculnya undang-undang RTRW selalu lebih banyak dipandang sebagai sarana memadai dalam mengendalikan konversi lahan. Maka pandangan ini, memicu lahirnya produk kebijakan yang bersifat normatif. Kebijakan lebih banyak memvisikan kondisi ruang dalam bayangan perencana. Sehingga ruang lebih banyak ingin dikendalikan melalui pandangan perencana dalam konteks yang paling ideal.
Permalahan yang kemudian muncul, apakah rencana pengendalian konversi lahan (produk kebijakan) berjalan beriringan penurunan laju konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian? Dan apa kewenangan produk kebijakan tersebut dalam mengatur generasi mendatang atau apakah produk pengendali ruang berguna pada generasi mendatang, apa wewenangnya ruang mengatur generasi mendatang?
Dua pertanyaan itu menjadi masalah yang sangat sulit dijawab. Jika pada pandangan pertama, RTRW, Ijin Lokasi dan Larangan Lokasi dipandang memadai dalam mengendalikan konversi lahan karena memiliki arah yang jelas. Maka apakah dengan RTRW pada suatu masa, pada saat pertumbuhan penduduk mencapai laju konstan, pada saat penduduk di semua wilayah melebihi daya dukung dan daya tampugnya menjamin tidak terjadi konversi lahan. Maka pandangan yang melihat produk kebijakan RTRW, Ijin Lokasi dan Larangan Lokasi merupakan instrument efektif karena memiliki arah yang jelas tidak dapat dijadikan acuan. Apalagi kewenangan pengendalian ruang melalui RTRW masih dalam tahap perencanaan.
3.4 Solusi Masalah Konversi Lahan
Pada pokok masalah pertama, yakni konversi lahan pertanian ke non-pertanian berlangsung terus menerus, dapat dipandang sebagai suatu fenomena alamiah. Selama pertumbuhan penduduk masih terus bergerak naik, maka konversi lahan akan mungkin terjadi secara terus menerus. Dalam kaitanya dengan masalah ini, yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan fungsi pengendalian, agar konversi lahan masih terkendali dalam batas daya dukung dan saya tampungnya menurut wilayah masing-masing. Dalam hal ini, masalah tersebut berkaitan dengan masalah pengendalian jumlah penduduk. Dengan terkendalinya jumlah penduduk sangat dimungkinkan konversi lahan bergerak lambat dan seimbang yang memungkinkan lahan berkembang sebagaimana fungsinya.
Turunan masalah dari konversi lahan yang berlangsung terus menerus adalah penurunan produksi padi kaitanya dengan laju konversi sawah ke non-sawah. Dari sisi lingkungan, produksi padi yang terus menurus tidak akan menjadi masalah asalakan substitusi makanan pengganti padi dapat tumbuh produksinya. Permasalah utamanya, produksi padi terus menerus menurun akan tetapi tidak diimbangi dengan difersifikasi produk pangan pokok yang lain. Padahal produksi padi sangat menuntut luasan lahan sebagai faktor penentu peningkatan produksi padi. Maka solusi mengendalikan luasan sawah tidak relevan pada beberapa wilayah di Indonesia. Kebutuhan lahan untuk memproduksi padi dengan kebutuhan padi berdasarkan jumlah penduduk sudah tidak seimbang. Maka kebijakan pengendalian konversi lahan juga tidak akan efektif mengingat jumlah kebutuhan sudah tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan. Dalam kaitanya dengan masalah pokok ini, perlu kiranya lahan-lahan pertanian difungsikan kembali menurut ekosistemnya, dengan produk pertanian pangan yang beragam. Salah satunya pengembangan kawasan pertanian menjadi kawasan tanaman ekosistem hutan berbasis pangan.
Kedua, dari sisi lingkungan, khusus untuk kasus Indonesia sebagai negara yang pernah berswasembada beras, sangat tidak tepat mempertahankan beras sebagai produk pertanian unggulan. Perlu paradigma lain, yang menggeser pandangan bahwa konsumsi beras dalam konteks ekologi Indonesia tidak sesuai. Produk diversifikasi pangan lebih tepat untuk konteks lahan yang sesuai dengan kondisi sosio-demografi penduduk Indonesia khususnya jawa.
Kebijakan pengendali konversi lahan diantaranya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Ijin Lokasi, dan Larangan Konversi Lahan merupakan instrument baku dalam mengendalikan ruang khususnya lahan pertanian. Maka objek lahan pertanian sebagai ruang dapat dipandang dari beberapa sisi. Dari sisi kepemilikan, objek kepemilikan lahan berbasis individu, sedangkan kebijakan yang mengatur lahan bersifat heterogen, dan berbasis sektoral. Maka, kedua sudut pandang ini tidak bisa dijadikan rujukan dalam peningkatan efektifitas laju konversi lahan.
Maka efektifitas dalam pengendalian ruang harus dilihat dari sudut pandang yang holistik dan terpadu. Laju konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian tidak lepas dari masalah kependudukan, sosial ekonomi dan pembangunan. Secara kependudukan, laju konversi lahan sebanding dengan tuntutan kebutuhan akan lahan sebagai perumahan dan lokasi tempat tinggal. Maka memandang lahan dari sisi kependudukan akan lebih efektif jika pengendalian laju konversi lahan juga diiringi dengan pengendalian jumlah penduduk. Semakin berhasil pengendalian jumlah penduduk, maka konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian akan menurun.
Secara sosial-ekonomi, lahan yang sering dijadikan objek ekonomi, sehingga pemanfaatanya selalu mempertimbangkan nilai ekonomi sebagai penentu penggunaan lahan. Kepemilikan lahan secara individu juga mendorong pemanfaatan lahan lebih banyak berkembang dari sisi ekonomi. Maka jika secara ekonomi lebih menguntungkan untuk dikonversi, maka lahan cenderung beralihfungsi dari dari pertanian ke non-pertanian yang secara ekonomi lebih menguntungkan.
Terahir, lahan dalam konteks pembangunan banyak dipandang sebagai objek statis, peruntukannya dapat berkembang menurut trend kebijakan perencanaan. Jika perencanaan dominan berkembang ke arah ekonomi, maka lahan akan bergerak secara fungsional menuju pada nilai ekonomis tertinggi. Seperti yang dicontohkan dalam rencana MP3EI, yang misalnya memandang Jawa dominan untuk sektor jasa dan industri. Maka Jawa lahan di Jawa akan banyak berkembang pada sektor jasa dan industri. Dalam rumusan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai hasil dari kebijakan pemerintah dalam meningkatkan ekonomi Indonesia jelas disebutkan bahwa Pulau Jawa misalnya ditetapkan sebagai zona pembangunan berbasis jasa dan industri. Sebagai produk kebijakan perencanaan setidaknya sudah menggambarkan bahwa prioritas ekonomi dalam konteks pulau jawa sudah tidak sesuai lagi untuk pembangunan berbasis pertanian.
Pada pokok masalah ketiga, revitalisasi kebijakan konversi penggunaan lahan (landuse) dari pertanian ke non-pertanian, disamping dari sisi kelembagaan juga diperlukan revitalisasi produk peraturan perundang-undangan dan ijin lokasi. Revitalisasi diperlukan dalam upaya mengarahkan penggunaan tanah pada penataan ruang yang sesuai. Tujuannya untuk menghindari konflik kepentingan penggunaan lahan (landuse) juga untuk memastikan tidak terjadinya konversi lahan tanpa kendali.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berbasis keterpaduan adalah salah satu strategis yang tepat. Keterpaduan harus melibatkan berbagai sektor, baik dalam hal perencanaan maupun ijin lokasi berbagai sektor sektor, tidak hanya berdasarkan pada satu sektor saja. Ijin antar sektor memungkinkan terjadinya saling cek (cek and balance) antar instansi, sehingga memungkinkan tidak terjadinya tumpang tindih yang berarti. Revitalisasi pada bagian ijin lokasi harus mendasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Ijin lokasi harus berada pada kewenangan lembaga yang memiliki otoritas tinggi dalam bidang ruang.
Dengan demikian, revitalisasi kebijakan konversi lahan harus melibatkan antar sektor, juga berdasarkan pada hirarki kewenangan yang sesuai. Jika antar sektor tidak terjadi keterpaduan, maka penyelesaian konflik harus melibatkan kewenangan kelembagaan dari tingkat tertinggi sampai pada tingkat terendah. Kewenangan ini untuk memutus mata rantai kesalahan penggunaan ijin pada berbagai kewenangan. Keputusan ijin perlu dilakukan secara komprehensif melibatkan tim yang memahami dengan benar, konteks perencanaan wilayah. Dalam kontek ini, memusatkan kewenangan pada satu otoritas bisa menjadi solusi, guna menyelesaikan konflik penggunaan tanah dan konversi tanah yang berlangsung berkepanjangan.
Sebagai hasil akhir dari pembahasan mengenai efektifitas kebijakan pengendalian konversi lahan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian berlangsung terus menerus. Meskipun sudah dilakukan upaya pengendalian kegiatan konversi lahan sawah oleh pemerintah, namun upaya yang dilakukan belum mampu menekan laju konversi lahan sawah. Konversi lahan sawah dapat menimbulkan masalah berkurangnya kapasitas produksi pangan. Selain masalah pangan, konversi lahan sawah juga menimbulkan masalah sosial, terutama bagi petani karena mengurangi lapangan kerja.
2. Terdapat 3 instrumen kebijakan yang menanggulangi masalah konservasi lahan, yaitu penyusunan RTRW, pemberian ijin lokasi dan berbagai peraturan daerah. Instrumen penahan laju konversi lahan tersebut dianggap tidak efektif dalam upaya mencegah konversi lahan karena sampai saat ini luas lahan sawah yang terus mengalami penurunan akibat dikonversi ke penggunaan non pertanian.
3. Kebijakan konversi lahan yang diterapkan selama ini masih kurang efektif sehingga diperlukan revitalisasi kebijakan konversi penggunaan lahan. Ada dua alternatif yang dapat dikembangkan untuk mendorong pelaksanaan kebijakan konversi lahan secara konsisten, yaitu pelaksanaan kebijakan yang dilakukan secara sentralis dan sosialisasi yang intensif dari tingkat pelaksana kebijakan hingga di tingkat desa dan masyarakat luas agar menaruh perhatian lebih besar pada masalah konversi lahan.
Dari hasil pembahasan tersebut dapat disarankan untuk melakukan pengendalian jumlah penduduk. Dengan terkendalinya jumlah penduduk sangat dimungkinkan konversi lahan bergerak lambat dan seimbang yang memungkinkan lahan berkembang sebagaimana fungsinya. Karena dengan tingginya jumlah penduduk berbanding lurus dengan kebutuhan akan lahan untuk tempat tinggal dan melakukan kegiatan ekonomi. Selain itu perlu memfungsikan lahan-lahan pertanian kembali, menurut ekosistemnya. Salah satunya dengan pengembangan kawasan pertanian menjadi kawasan tanaman ekosistem hutan berbasis pangan. Adanya 3 instrumen kebijakan pengendalian konversi lahan (penyusunan RTRW, pemberian ijin lokasi dan berbagai peraturan daerah) dianggap kurang efektif, sehingga diperlukan pengembangan instrumen kebijakan yang lebih relevan dan riil terhadap konversi lahan. Dengan memusatkan kewenangan pada satu otoritas dapat menjadi solusi, guna menyelesaikan konflik penggunaan tanah dan konversi tanah.