Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air kehidupan akan menjadi gersang.
Geographer - Free Researcher - Geography Teacher - Hydrology Interest - Aktivis

Vulkanologi Indonesia

 
 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 3 September 2008: 117-128
Gunung Api purba Watuadeg:
Sumber erupsi dan posisi stratigrafi
S. Bronto1, S. Mulyaningsih2, G. Hartono3, dan B. Astuti3
1Pusat Survei Geologi, Jl. Diponegoro 57 Bandung
2Teknik Geologi ISTA, Jl. Kalisahak No. 28 Kompleks Balapan, Yogyakarta
3Teknik Geologi STTNAS, Jl. Babaksari, Sleman, Yogyakarta
Sari
Aliran lava basal piroksen (50 % berat SiO2) berstruktur bantal tersingkap di Kali Opak sebelah barat Dusun Watuadeg, Sleman - Yogyakarta. Lava tersebut mempunyai panjang aliran 2 – 5 m, diameter 0,5 – 1,0 m dan membentuk kulit kaca di permukaannya. Arah aliran berubah secara bertahap dari U70oT di bagian utara menjadi U120oT di tengah dan U150oT di bagian selatan. Lebih kurang 150 m di sebelah barat sungai terdapat sebuah bukit kecil setinggi 15 m, yang mempunyai komposisi sama dengan aliran lava bantal. Keduanya berupa basal piroksen berwarna abu-abu gelap, bertekstur vitrofir – porfir, mengandung fenokris halus terdiri atas piroksen (10 %) dan plagioklas (25 %) yang tertanam di dalam massa dasar gelas. Berdasarkan data tersebut diperkirakan bahwa bukit kecil itu merupakan sumber erupsi aliran lava bantal Watuadeg. Lava bantal itu ditindih oleh batuan klastika gunung api yang terdiri atas tuf, batu lapili, dan breksi pumis yang merupakan bagian Formasi Semilir. Di dekat kontak, batuan klastika gunung api tersebut mengandung fragmen basal piroksen yang berkomposisi sama dengan aliran lava bantal. Hal ini, bersama dengan analisis data petrologi, vulkanologi, dan umur radiometri menunjukkan bahwa aliran lava bantal Watuadeg secara tidak selaras ditindih oleh Formasi Semilir.
Kata kunci: lava bantal, sumber erupsi, stratigrafi, Watuadeg
Abstract
Pillow lava flows of pyroxene basalt containing 50 wt.% SiO2 are exposed at Opak River, west of Watuadeg Village, Sleman - Yogyakarta. The length of flow structures is between 2 – 10 m, with diameter of 0.5 – 1.0 m and it has a glassy skin at the surface body. Flow directions vary from N70oE in the northern side, through N 120oE in the middle to N 150oE in the southern side. About 150 m away from the river to the west, there is a small hill about 15 m high, that has a similar composition with the pillow lavas. Both lava flows and the small hill are composed of pyroxene basalt, dark grey in color, hypocrystalline vitrophyre to porphyritic texture, with fine-grained phenocrysts of pyroxene (10 %) and plagioclase (25 %) set in glassy groundmass. These data indicate that the small hill was the eruption source of the basaltic pillow lavas. The lavas are overlain by pumice-rich volcaniclastic rocks, composed of tuff, lapillistones and pumice breccias, that are known as the Semilir Formation. Near the contact with lavas, the volcaniclastic rocks contain some fragments of pyroxene basalt, similar composition with the pillow lavas. This fact, together with analyses of petrology, volcanology, and radiometric dating show that the basaltic pillow lavas are unconformably overlain by the Semilir Formation.
Keywords: pillow lava, eruption source, stratigraphy, Watuadeg
117
118
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 3 September 2008: 117-128
Pendahuluan
Batuan gunung api Tersier banyak dijumpai di Pegunungan Selatan, baik berupa batuan beku luar (ekstrusi/lava) dan intrusi maupun batuan klas­tika gunung api fraksi kasar hingga halus. Secara litostratigrafis, batuan gunung api tersebut dibagi menjadi beberapa satuan batuan, mulai dari Formasi Kebo-Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggeran, dan Formasi Sambipitu (Surono drr., 1992). Lava basal berstruktur bantal banyak dijumpai di dalam Formasi Kebo-Butak, antara lain terdapat di Bayat, Tegalrejo, dan Gunung Sepikul (Bronto drr., 2004a). Lava bantal di Watuadeg belum jelas termasuk ke dalam formasi batuan yang mana karena tidak berasosiasi dengan batuan sedimen Formasi Kebo-Butak dan langsung ditindih oleh Formasi Semilir.
Berdasarkan pandangan geologi sedimenter, keberadaan batuan beku luar di dalam suatu formasi batuan sedimen (gunung api) umumnya hanya di­pandang sebagai sisipan (Suryono and Setyowiyoto, 2001), yang tidak diperhatikan sumber erupsinya (Bronto drr., 2004b). Lebih lanjut, formasi batuan sedimen itu dinyatakan diendapkan di cekungan busur depan (Suyoto, 2007) yang tidak ada gunung apinya. Pandangan itu menimbulkan gagasan bahwa sisipan lava berasal dari vulkanisme dasar Samudra India dan keberadaannya di Pegunungan Selatan sebagai ofiolit, yang bergeser ke Pulau Jawa bersa­ma-sama dengan pergerakan kerak dasar Samudra Hindia. Kalau pemikiran ini benar, lava tersebut seharusnya sudah mengalami deformasi tektonik sangat kuat dan komposisi geokimianya juga tidak sama dengan batuan gunung api yang berhubungan dengan penunjaman kerak bumi.
Memperhatikan latar belakang permasalahan tersebut, maka penelitian ini ditujukan untuk menge­tahui mula jadi lava/batuan beku basal piroksen berstruktur bantal dan posisi stratigrafinya, yang tersingkap di Kali Opak, sebelah barat Dusun Watuadeg. Sementara maksud penelitian adalah untuk mendukung verifikasi geologi Pegunungan Selatan dan upaya pemanfaatan sumber daya yang ada serta potensi bencana yang dapat terjadi di waktu mendatang, serta mengimplementasikan stratigrafi arti luas seperti tertera di dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996). Penelitian ini didasarkan pada pengamatan geologi lapangan yang meliputi pemerian batuan, pengukuran struktur aliran lava dan membuat penampang stratigrafi dengan batuan penutupnya, serta melakukan analisis data sekunder petrologi-geokimia dan umur radiometri.
Lokasi penelitian yang terletak lebih kurang 10 km sebelah timur kota Yogyakarta berada di Dusun Sumber Kidul, Desa Kalitirto, dan Kali Opak di sebelah barat Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1).
Tataan Geologi
Secara fisiografis, daerah ini merupakan per­bukitan kecil-kecil dengan ketinggian kurang dari 100 m, yang di sekitarnya berupa dataran pesawah-an subur. Perbukitan kecil tersebut tersusun oleh batuan gunung api Tersier, yang menjadi penyusun sebagian Pegunungan Selatan. Dataran pesawahan di sekitarnya terdiri atas endapan aluvium sebagai bahan rombakan produk Gunung Api Merapi, yang terletak 30 km di sebelah utara daerah penelitian. Secara umum, aliran sungai di wilayah ini berpola paralel, yang berhulu di Gunung Api Merapi. Sungai utama di daerah penelitian adalah Kali Opak. Sungai itu mempunyai cabang Kali Gendol yang hulunya di bawah Kawah Gendol di puncak Merapi.
Stratigrafi Pegunungan Selatan, termasuk daerah penelitian, telah dipelajari oleh Rahardjo drr. (1977) serta Surono drr. (1992) dan hasilnya disajikan pada Gambar 2. Sebagai batuan tertua di Pegunungan Selatan adalah batuan malihan berumur Pratersier,
Daerah penelitian
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian.
Gunung Api purba Watuadeg: Sumber erupsi dan posisi stratigrafi
(S. Bronto drr.)
119
yang tersingkap di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Di Pegunungan Selatan bagian barat, di atas batuan malihan tersebut secara berturut-turut diendapkan Formasi Gamping-Wungkal, Kebo-Butak, Semilir, Nglanggeran, Sambipitu, Oyo, Wonosari, Kepek, dan endapan aluvium. Formasi Gamping-Wungkal tersusun oleh batugamping dan batupasir kuarsa, yang juga tersingkap di Perbukitan Jiwo, Bayat. Litologi penyusun utama Formasi Kebo-Butak sampai dengan Formasi Nglanggeran adalah batuan gunung api, baik berupa bahan piroklastika, epiklastika maupun lava koheren. Secara regional, batuan gunung api Tersier di daerah penelitian di­masukkan ke dalam Formasi Semilir (Gambar 3), yang terdiri atas breksi dan batulapili kaya akan pumis, serta tuf (Bronto drr., 2005; Bronto dan Mulyaningsih, 2001; Mulyaningsih, 1999, 2005). Formasi Sambipitu bagian bawah masih tersusun oleh batuan klastika gunung api, tetapi semakin ke atas mengandung bahan karbonat, sedangkan Formasi Oyo dan Wonosari hampir seluruhnya tersusun oleh batugamping. Satuan batuan Tersier paling atas adalah Formasi Kepek, yang tersusun oleh napal dan batugamping berlapis. Seluruh ba-tuan Pratersier dan Tersier tersebut ditindih secara tidak selaras oleh endapan aluvium, yang utamanya berasal dari Gunung Api Merapi. Sesar utama di daerah ini adalah Sesar Opak, yang berarah barat daya - timur laut (Gambar 3).
Gambar 2. Kolom stratigrafi regional daerah Pegunungan Selatan (Rahardjo drr., 1977; Surono drr., 1992). Litologi di daerah penelitian termasuk ke dalam Formasi Semilir.120 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 3 September 2008: 117-128
Landasan Pemikiran
Setiap magma yang muncul ke permukaan bumi, apakah di dasar laut atau di daratan, adalah gunung api (Bronto, 2008). Magma yang muncul di per­mukaan itu dapat berupa lava koheren atau bahan piroklastika (McPhie drr., 1993). Lava koheren ada­lah magma yang keluar ke permukaan secara erupsi lelehan (effusive eruption); berbentuk sumbat lava, kubah lava atau aliran lava. Jika sudah membeku, lelehan lava membentuk batuan beku luar atau batuan beku ekstrusi. Ke arah dalam atau diatrema, kubah lava dan sumbat lava mempunyai leher gu­nung api. Diatrema gunung api mempunyai padanan kata, antara lain conduit, vent, pipa kepundan, dan korok. Kubah lava, sumbat lava, leher gunung api, dan diatrema ini ke bawah berhubungan dengan kantong magma atau dapur magma. Berdasarkan bukti singkapan batuan beku di lapangan, penghu­bung antara kantong magma dengan leher gunung api tidak selalu berbentuk pipa/conduit, tetapi dapat berupa retas ataupun gang. Magma di dalam kan­tong bawah gunung api jika sudah membeku dapat berbentuk retas lempeng (sill). Pembekuan magma dalam bentuk sill, retas, diatrema, dan leher gunung api membentuk batuan beku intrusi (terobosan) dangkal/dekat permukaan (shallow/low level intru­sions), atau batuan semigunung api (subvolcanic
0 4 km
Formasi
Nglanggeran
Endapan
Aluvium
Formasi
Semilir
Gambar 3. Lokasi (dalam kotak) dan peta geologi daerah penelitian. Garis putus-putus berarah barat daya - timur laut melalui daerah penelitian adalah Sesar Opak. D: turun; U: naik. (Sumber: Rahardjo drr., 1977).121 Gunung Api purba Watuadeg: Sumber erupsi dan posisi stratigrafi (S. Bronto drr.)
intrusions). Batuan beku terobosan, sumbat lava, dan kubah lava pada umumnya terdapat di fasies pusat, sedangkan aliran lava pada fasies proksi suatu kerucut gunung api komposit (Bronto, 2006). Dapur magma yang terletak jauh di dalam bumi dan berukuran sangat besar, bila sudah membeku membentuk batuan beku intrusi dalam atau pluton; secara umum dicirikan dengan tekstur holokristalin. Sementara itu, batuan beku intrusi dangkal dan batuan beku luar mempunyai tekstur afanit, porfiri sampai gelas. Bahan piroklastika adalah magma yang keluar ke permukaan secara erupsi letusan (explosive eruption) atau dilontarkan dari dalam kawah/kaldera gunung api pada saat ber­langsung letusan (Cas dan Wright, 1987). Jika sudah membatu bahan itu membentuk breksi piroklastika, batulapili, dan tuf, yang sebaran fraksi kasarnya di fasies proksi tetapi fraksi halusnya hingga fasies distal. Untuk mengidentifikasi sumber erupsi gunung api Tersier digunakan pendekatan geologi secara terpadu, mulai dari bentuk bentang alam, fasies gu­nung api, struktur aliran sampai dengan komposisi litologi atau petrologi-geokimia (Bronto, 2003). Hal yang terakhir juga dapat untuk menjelaskan tataan tektoniknya (Kuno, 1968; Peccerillo dan Taylor, 1976; Nicholls dan Whitford, 1983; Nicholls drr., 1980; Middlemost, 1985; Wilson, 1989). Pada umumnya, batuan gunung api yang pembentukannya berhubungan dengan penunjaman kerak samudra di bawah kerak benua, seperti halnya di Pulau Jawa, termasuk seri kalk-alkali atau kalium menengah, sedangkan basal yang dierupsikan di dasar samudra (Ocean Floor Basalts) bercirikan seri toleit atau kalium rendah. Batuan gunung api di belakang busur kebanyakan berkomposisi kalium tinggi - sangat tinggi atau shosonit.
Kompilasi Data Sekunder
Data petrologi lava bantal Watuadeg dikompi­lasi dari Bronto drr. (1994 dan 2004a) dan Hartono (2000). Secara megaskopis, batuan beku luar itu berwarna abu-abu gelap dan bertekstur afanit sampai porfiri sangat halus. Bagian permukaan tubuh aliran lava berwarna hitam, bertekstur gelas sampai vitrofir, sehingga mirip dengan obsidian dan dikenal sebagai kulit kaca (glassy skin; McPhie drr., 1993). Akibat adanya kulit kaca tersebut struktur lubang bekas ke­luarnya gas juga sangat halus atau bahkan tidak ada sama sekali. Fenokris terdiri atas plagioklas dan piroksen, berukuran butir ≤ 2 mm, sebaran tidak merata (10 - 20 %), tertanam di dalam massa dasar gelas dan afanit. Plagioklas, dengan kelimpahan sekitar 15 %, tidak berwarna (jernih/transparan), tetapi yang mulai lapuk berwarna putih, berbentuk prisma panjang atau seperti jarum. Piroksen berwarna hitam kehijauan, berbentuk butiran atau prisma pendek, dengan kelimpahan 3 - 5 %.
Secara mikroskopis, lava bantal Watuadeg adalah basal piroksen, bertekstur vitrofir sampai hipokristalin porfiri, dengan fenokris labradorit (An52-56) dan piroksen klino, berbentuk anhedral - subhedral, berukuran butir 0,4 – 2 mm, tertanam di dalam massa dasar gelas dan mikrolit felspar pla­gioklas, mineral opak, serta piroksen. Kelimpahan plagioklas, baik sebagai fenokris maupun di dalam massa dasar mencapai 25 - 45 %, piroksen 10 - 25 %, dan mineral opak < 5 %.
Data kimia batuan menunjukkan bahwa lava basal Watuadeg adalah basal alumina tinggi (50,85 % SiO2, 18,60 % Al2O3; Kuno, 1960), yang me-ngandung magnesium rendah (5,84 % MgO), dan kalium menengah (0,64 % K2O). Kandungan ka­lium tersebut dapat disetarakan dengan lava basal dan terobosan gabro mikro di Bayat (Perbukitan Jiwo; 0,72 – 0,80 % K2O ), serta rata-rata basal kalk-alkali menurut Nockolds dan Le Bas (1977, di dalam Middlemost, 1985; 0,74 % K2O). Kandungan kalium tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan lava basal ofiolit dari Karangsambung (Bronto drr., 1994; Suparka dan Soeria-Atmadja, 1991; 0,28 % K2O) dan dari dasar Samudra India (0,12-0,25 % K2O; Fleet drr., 1976). Komposisi basal dasar Samudra Hindia ini sedikit lebih rendah daripada rata-rata basal toleit Hawaii (0,4 % K2O; Macdonald, 1968), sedangkan basal alkalin mempunyai kalium paling tinggi (1,30 % K2O; Chayes, 1975). Gambar 4 memperlihatkan bahwa lava basal Watuadeg bersama basal dan gabro mikro di Bayat termasuk basal kalk-alkali, sedangkan lava bantal ofiolit Karangsambung masuk toleit kalium rendah.
Berdasarkan analisis radiometri dengan metode Kalium-Argon, Ngkoimani (2005) melaporkan bahwa umur lava basal Watuadeg adalah 56 ± 3,8 juta tahun. Lebih lanjut, data paleomagnetik hasil studi peneliti tersebut menunjukkan bahwa bulir-bulir lava terindikasikan sangat dekat dengan sumbernya. 122 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 3 September 2008: 117-128
Hasil Penelitian
Di sebelah timur Dusun Sumberkulon terdapat bukit kecil, yang selanjutnya disebut Bukit Sumberku­lon, mempunyai ketinggian sekitar 10 -15 m pada posisi koordinat 7o48’28,8” LS dan 110o27’28,0” BT (Gambar 5). Bentuk Bukit Sumberkulon itu agak me­manjang berarah timur - barat, berukuran lebih kurang 75 m x 50 m. Di lereng selatan bukit (tempat makam) terdapat singkapan batuan beku basal berwarna abu-abu gelap, bertekstur afanit sampai porfiri sangat ha­lus, sebagian sudah lapuk dan pecah-pecah (Gambar 6), dengan fenokris plagioklas dan piroksen sangat halus. Di tepi barat Kali Opak, yang terletak 150 m di sebelah timur Bukit Sumberkulon itu (7o48’29,6” LS dan 110o27’34,0” BT), tersingkap aliran lava basal berstruktur bantal (Gambar 7). Berhubung singkapan batuan ini terletak di sebelah barat Dusun Watuadeg dan nama dusun itu sudah banyak dikenal terutama oleh komunitas geologi di Yogyakarta, maka aliran lava berkomposisi basal dan berstruktur bantal ini se-ring disebut lava bantal Watuadeg. Secara stratigrafis, aliran lava basal itu ditindih oleh perlapisan batupasir tuf dan batulapili pumis, yang tersingkap di sebelah timur aliran Kali Opak dengan kedudukan U0oT/18o sebagai bagian Formasi Semilir. Dengan demikian, Kali Opak di lokasi ini benar-benar mengalir melalui batas kontak antara aliran lava basal berstruktur bantal dengan batuan klastika gunung api kaya akan pumis Formasi Semilir (Gambar 7). Secara petrologis, sing­kapan batuan beku basal di bukit kecil tersebut di atas mempunyai kesamaan ciri-ciri batuan dengan aliran lava basal berstruktur bantal di tepi barat Kali Opak.
Aliran lava basal berstruktur bantal Watuadeg di Kali Opak ini mempunyai lebar singkapan antara 10 - 15 m dan panjangnya sekitar 50 m. Secara fisis, tubuh lava seperti aliran getah atau berbentuk bantal guling dengan panjang aliran berkisar 3 – 10 m dan diameter 0,5 – 1 m (Gambar . Permukaan lava yang belum tererosi berwarna hitam mengkilap, bertekstur
Gambar 4. Diagram % berat SiO2 versus K2O (dimodifikasi dari Peccerillo dan Taylor, 1976) lava basal Watuadeg (n: 4 contoh) dibanding dengan lava basal toleit pemekaran dasar samudra dan hot spot (Samudra Hindia dan Hawaii; n: 7 contoh), serta rata-rata basal kalk-alkali daerah penunjaman kerak bumi. Lava basal Watuadeg bersama-sama dengan intrusi gabro mikro Gunung Pendul (n: 3 contoh) dan lava basal Bayat (n: 3 contoh) termasuk magma seri kalk-alkali. Lava basal (ofiolit) Karangsambung (n: 3 contoh) termasuk seri toleit. Sumber: Bronto drr. (1994; 2004), Fleet drr. (1976), Middlemost (1985), dan Suparka dan Soeria-Atmadja (1991).
Gambar 5. Morfologi Bukit Sumberkulon bersusunan basal; tinggi bukit 15 m dan diameter 60 m. Lokasi ini berjarak 150 m di sebelah barat Kali Opak, tempat terdapat singkapan aliran lava basal berstruktur bantal.
Gambar 6. Singkapan batuan beku basal di lereng selatan Bukit Sumberkulon. Secara litologis, batuan penyusun bukit ini sama dengan aliran lava berstruktur bantal di Kali Opak, yakni basal.123 Gunung Api purba Watuadeg: Sumber erupsi dan posisi stratigrafi (S. Bronto drr.)
gelas, menyerupai obsidian, dan dikenal sebagai kulit kaca (glassy skin). Potongan melintang tegak lurus aliran memperlihatkan bentuk penampang melingkar atau seperti elips, yang di dalamnya terdapat struktur konsentris dan rekahan radier. Kedua struktur itu diperkirakan terbentuk karena proses pendinginan sangat cepat di bagian permukaan aliran lava dan melambat ke bagian dalam. Proses pendinginan sangat cepat menyebabkan mineral tidak sempat membentuk kristal atau amorf yang proporsi ter­banyaknya di permukaan, tetapi menurun ke bagian dalam. Pendinginan sangat cepat, banyaknya gelas gunung api yang mudah pecah, dan pergerakan aliran menyebabkan terjadinya retakan dan rekahan yang intensif di permukaan lava.
Hasil pengukuran arah aliran lava bantal Watu­adeg di tepi barat Kali Opak mulai dari bagian utara adalah U70oT – U90oT, di bagian tengah menjadi U120oT, U150oT, U170 oT, sedangkan di selatan U210oT – U230oT (Gambar 9). Secara keseluruhan arah aliran itu memperlihatkan pola semi radier ke arah timur - timur laut, timur - tenggara dan selatan – barat daya. Perpanjangan garis arah aliran lava itu ternyata mempunyai titik temu di bukit kecil di sebe­lah barat Kali Opak yang juga bersusunan basal. Hal tersebut menjadi indikasi yang sangat kuat bahwa aliran lava basal berstruktur bantal di Kali Opak bersumber dari bukit kecil di sebelah baratnya.
Secara geologi regional, batuan gunung api Ter­sier di daerah Watuadeg ini dimasukkan ke dalam Formasi Semilir. Berdasarkan prinsip litostratigrafi, hanya batupasir tuf dan batulapili pumis yang sesuai menjadi bagian dari Formasi Semilir, sedangkan
Gambar 7. Aliran lava basal berstruktur bantal (kanan) dan batupasir tuf Formasi Semilir (kiri), yang di tengahnya dialiri Kali Opak. Gambar difoto dari atas jembatan, lensa menghadap ke selatan.
Gambar 9. Hasil pengukuran arah-arah aliran lava bantal Watuadeg, mulai dari U70oT, searah jarum jam hingga U230oT. Sebaran aliran lava ini memusat ke Bukit Sumberkulon yang berjarak 150 m di sebelah barat Kali Opak.
Gambar 8. Aliran lava basal berstruktur bantal di tepi barat Kali Opak. Anak panah menunjukkan arah aliran; palu geologi di ujung aliran sebagai skala.124 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 3 September 2008: 117-128
keberadaan lava bantal Watuadeg tersebut di atas tidak jelas, apakah dimasukkan ke dalam Formasi Kebo-Butak atau Formasi Semilir. Pada batas kontak antara lava basal dengan batulapili dan tuf Formasi Semilir dilakukan pengukuran stratigrafi rinci (Gam­bar 10). Dari sini diketahui bahwa di bagian bawah Formasi Semilir terdapat breksi dengan fragmen batuan beku basal (Gambar 11), yang secara litologi sama dengan aliran lava bantal di bawahnya. Breksi itu mempunyai tebal sekitar 50 - 60 cm, struktur masif, terpilah buruk, kemas terbuka, tersusun atas fragmen basal dan pumis berukuran 2 - 10 cm, se­bagian berbentuk menyudut dan sebagian yang lain agak membundar (terabrasi), tertanam dalam matriks tuf pumis. Secara stratigrafis, breksi itu berada di atas lava basal dan di bagian terbawah perlapisan batu­pasir tuf dan batulapili pumis Formasi Semilir.
Pembahasan
Berdasarkan data geokimia, batuan beku basal Watuadeg termasuk seri kalk-alkali, yang mempu­nyai kandungan kalium lebih tinggi dibandingkan dengan magma seri toleit, seperti halnya di dalam ofiolit Karangsambung dan basal Samudra Hindia. Magma seri kalk-alkali ini sangat umum terben­tuk sebagai akibat penunjaman kerak samudra di bawah kerak benua. Lebih lanjut, aliran lava bantal Watuadeg masih tampak utuh, tidak ada tanda-tanda telah mengalami deformasi tektonik sangat kuat, serta tidak berasosiasi dengan sedimen laut dalam, yang disebut mélange (batuan bancuh atau campur aduk). Dengan demikian, secara tektonik lava basal berstruktur bantal di daerah Watuadeg ini diyakini bukan ofiolit, yang berasal dari dasar Samudra Hindia, tetapi merupakan produk penunjaman kerak Samudra Hindia di bawah kerak Benua Eurasia, yang sekarang menjadi Pulau Jawa. Karena bukan berasal dari gunung api tengah Samudra Hindia (Mid Oceanic Ridge Basalts/MORB) dan tidak ada struktur sesar besar yang menggeser batuan itu dari tempat semula, maka diperkirakan lava bantal Watu­adeg terletak tidak jauh dari sumbernya. Interpretasi ini juga didukung hasil analisis anisotropi (paleomag­netik), yang menunjukkan bahwa bentuk bulir-bulir lava mengalami pemipihan sebagai tanda bahwa sumber erupsi sangat dekat (Ngkoimani, 2005). Lebih lanjut, mengingat diameter aliran lava hanya berkisar 0,5 - 1,0 m, padahal merupakan magma basal ber­temperatur tinggi (1000 – 1200oC), membeku sangat cepat di dasar laut dalam (> 2000 m) yang sangat dingin (temperatur < 1oC), maka wajarlah kalau lava itu tidak mengalir jauh dari sumbernya. Berdasarkan pengamatan di gunung api tengah Samudra Atlantik, pembentukan aliran lava basal berstruktur bantal terjadi pada kedalaman 2600 – 2700 m di bawah permukaan laut (Decker dan Decker, 1981).
Gambar 10. Stratigrafi terukur pada kontak antara lava basal berstruktur bantal dengan Formasi Semilir di Kali Opak sebelah barat Dusun Watuadeg.
Gambar 11. Breksi dengan fragmen basal menyudut (warna gelap) tertanam di dalam matriks tuf lapili pumis (warna terang), tersingkap di dasar Kali Opak, di sebelah barat Dusun Watuadeg. Posisi stratigrafi breksi ini di atas lava basal berstruktur bantal dan sebagai alas dari Formasi Semilir (Gambar 9).125 Gunung Api purba Watuadeg: Sumber erupsi dan posisi stratigrafi (S. Bronto drr.)
Didasarkan pada pengamatan bentang alam, yakni adanya bukit kecil bersusunan basal, pengukuran arah aliran lava basal, dimensi tubuh aliran lava, temperatur magma basal dan lingkungan pembekuan di dasar laut dalam, serta hasil pengukuran paleo­magnetik, maka diyakini sumber erupsi lava basal adalah di bukit kecil sebelah barat Kali Opak, pada posisi koordinat 7o48’28,8” LS dan 110o27’28,0” BT (Gambar 5). Adanya singkapan lava basal di sebelah timur Kali Opak, yang seakan-akan terda­pat di atas atau di dalam Formasi Semilir, mungkin hanya tinggian lokal yang mencerminkan permukaan topografi tidak rata aliran lava basal, atau ada sumber erupsi lain di sekitar Watuadeg yang masih tertutup oleh Formasi Semilir. Hal kedua itu sangat umum terjadi di lapangan gunung api lava basal, seperti di Sukabumi selatan Jawa Barat, Bayat Klaten, dan Tawangsari Sukoharjo, Jawa Tengah (Bronto, 2008; Hartono drr., 2007, 2008).
Secara stratigrafis, posisi lava basal berstruk­tur bantal di Kali Opak Watuadeg ini terletak di bawah Formasi Semilir. Analisis radiometri dengan metode K-Ar memberikan umur 56,3 ± 3,8 juta tahun (Paleosen Akhir), sedangkan umur For­masi Semilir adalah Miosen Awal – awal Miosen Tengah (Surono drr., 1992; Rahardjo, 2007) atau sekitar 16 juta tahun. Umur lava bantal itu lebih tua dibanding umur lava bantal di Pacitan (42,73 ± 9,78 – 33,56 ± 9,69 jt; Soeria-Atmadja drr., 1994), sehingga diperlukan pengujian ulang. Namun apabila benar, atau setidak-tidaknya sama dengan umur lava bantal Pacitan, maka telah terjadi teng­gang waktu yang sangat lama (17 - 40 juta tahun) antara pembentukan lava bantal Watuadeg dengan pengendapan Formasi Semilir. Tenggang waktu yang sangat lama itu memungkinkan terjadinya deformasi tektonik dan berbagai proses geologi lainnya setelah vulkanisme lava bantal Watuadeg, tetapi sebelum pembentukan Formasi Semilir. Salah satunya adalah kemungkinan telah terjadi ketidakselarasan di antara keduanya. Selain umur, bukti ketidak selarasan dan tenggang waktu sangat lama dapat dipandang dari aspek sedimentologi, magmatisme, dan vulkanisme.
Dari aspek sedimentologi adalah ditemukan­nya lapisan breksi dengan fragmen batuan beku basal (Gambar 11), yang sama dengan lava bantal Watuadeg di bagian bawah Formasi Semilir. Diper­kirakan, sebagian lava basal tersebut tererosi dan kemudian diendapkan bersama-sama pumis dan abu gunung api pada awal pengendapan Formasi Semilir. Analisis ini menyiratkan adanya proses tektonik berupa pengangkatan lava bantal dari dasar laut dalam menjadi daratan sebelum menga­lami perombakan. Hal ini tentunya memerlukan waktu geologi sangat lama. Dengan demikian breksi dengan fragmen basal dan pumis itu dapat dipandang sebagai breksi alas Formasi Semilir, di atas lava bantal Watuadeg. Sebagai tambahan, di Dusun Candisari, Desa Wukirharjo (koordinat 110° 31’ 11,1” BT dan 07° 49’ 4,7” LS) ditemukan bongkah konglomerat (Gambar 12) bergaris tengah 2 m yang mengandung kerakal basal, dan secara litologis sebanding dengan lava basal Watuadeg. Apabila keduanya berasal dari sumber yang sama, maka penemuan konglomerat itu juga mendukung telah terjadinya pengerjaan ulang hingga ke tempat yang cukup jauh dari sumbernya.
Dari aspek magmatisme, lava bantal Watuadeg berkomposisi basal (50,85 % SiO2), sedangkan pumis di dalam Formasi Semilir bersusunan dasit (66,30 % SiO2, contoh SB-SML setelah dinormalisir 100 % bebas volatil; Hartono, 2000). Secara diferensiasi normal, perubahan dari basal ke dasit harus melalui andesit basal dan andesit terlebih dahulu, yang hal ini memerlukan waktu sangat lama. Dari aspek vulkanisme, aliran lava bantal dihasilkan oleh erupsi
Gambar 12. Bongkah konglomerat di Dusun Candisari, Desa Wukirharjo, Prambanan-Sleman. Di dalam bongkah itu dijumpai fragmen basal (seperti lava Watuadeg), andesit basal (seperti lava Candisari), dan batulempung. Garis putih tegak di bagian tengah adalah urat kalsit.126 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 3 September 2008: 117-128
lelehan (effusive eruptions) magma basal yang mis­kin gas atau bahan volatilnya masih terlarut di dalam cairan magma. Sebaliknya, breksi dan batulapili kaya pumis serta tuf Formasi Semilir dihasilkan oleh erupsi letusan sangat besar (very explosive-, cataclysmic-, paroxysmal- atau colossal eruptions; Newhall dan Self, 1982) karena magma bersusunan asam dan mempunyai tekanan gas sangat tinggi. Berdasarkan pengamatan pada kaldera gunung api Kuarter, seperti Gunung Api Krakatau, letusan besar yang menghasilkan bahan piroklastika kaya pumis terjadi lebih dahulu (tahun 1883). Setelah beberapa puluh tahun kemudian (tahun 1927) muncul Gunung Api Anak Krakatau yang batuannya bersusunan an­desit basal (Kusumadinata, 1979). Artinya, tenggang waktu geologi sangat pendek justru terjadi antara erupsi letusan sangat besar ke erupsi lelehan. Kalau ini yang terjadi, posisi stratigrafi Formasi Semilir seharusnya di bawah aliran lava bantal. Berhubung lava bantal di bawah Formasi Semilir, jika keduanya berasal dari satu kawasan gunung api, maka dari erupsi lelehan yang menghasilkan lava bantal ke erupsi letusan sangat besar (menghasilkan breksi – tuf kaya pumis) membutuhkan akumulasi energi dan tekanan gas sangat tinggi, sehingga memerlukan waktu sangat panjang.
Berhubung ciri litologi berbeda dan waktu pembentukan terpaut sangat jauh, bahkan di antara keduanya dibatasi bidang ketidakselarasan, maka lava bantal Watuadeg sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam Formasi Semilir. Mungkin lava bantal ini dapat dikorelasikan dengan lava bantal lain­nya di Pegunungan Selatan, misalnya di wilayah Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, wilayah Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten, Kecamatan Tawangsari Kabupaten Sukoharjo (Bronto, 2008; Hartono drr., 2007; 2008), Kecamatan Karangtengah Kabupaten Wonogiri (Abdissalam, 2006) Provinsi Jawa Te-ngah, serta Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa Timur (Soeria-Atmadja drr., 1994).
Kesimpulan
1. Sumber erupsi aliran lava basal berstruktur bantal Watuadeg terletak di bukit kecil, 150 m di sebelah barat Kali Opak dengan koordinat 7o48’28,8” LS dan 110o27’28,0” BT. Lava basal ini termasuk magma seri kalk-alkali, yang pem­bentukannya berhubungan dengan penunjaman kerak bumi pada waktu itu.
2. Kedudukan stratigrafi lava bantal itu tidak se­laras di bawah Formasi Semilir.
3. Karena perbedaan ciri litologi, waktu pemben-tukan, dan di antaranya terjadi ketidakselarasan, maka lava bantal Watuadeg tidak dimasukkan ke dalam Formasi Semilir.
4. Lava bantal Watuadeg ini mungkin dapat dikorelasikan dengan lava bantal lainnya di Pegunungan Selatan.
Ucapan Terima Kasih---Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir. Wartono Rahardjo, staf pengajar Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta dan Dr. Ir. Surono, M,Sc., peneliti di Pusat Survei Geologi Bandung, yang telah memberikan masukan, kritik, dan saran selama melakukan penelitian dan penyusunan makalah ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Ir. Dwi Indah Purnamawati, M.Si., Ketua Jurusan Teknik Geologi, Institut Sains dan Teknologi AKPRIND, dan Ir. Setyo Pambudi, M.T., Ketua Jurusan Teknik Geologi, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta, yang telah mengijinkan staf pengajarnya untuk melakukan penelitian bersama di daerah Pegunungan Selatan, Yogyakarta.
Acuan
Abdissalam, R., 2006. Geologi, Fasies Gunung api purba, Alterasi dan Mineralisasi Daerah Purwohardjo dan sekitarnya, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Skripsi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 111h., tidak terbit.
Bronto, S., 2003. Gunungapi Tersier Jawa Barat: Identifikasi dan Implikasinya. Majalah Geologi Indonesia, 18 (2), h.111-135.
Bronto, S., 2006. Fasies gunung api dan aplikasinya. Jurnal Geologi Indonesia, 2 (1), h.59-71.
Bronto, S., 2008. Fosil gunung api di Pegunungan Selatan Jawa Tengah. Prosiding Seminar dan Workshop “Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah”, Kerjasama PSG, UGM, UPN “Veteran”, STTNAS dan ISTA, Yogyakarta, 27-29 Nov. 2007, (in press).
Bronto, S. dan Mulyaningsih, S., 2001. Volcanostratigraphic development from Tertiary to Quaternary: A case study at Opak River, Watuadeg-Berbah, Yogyakarta. Abstract., 30th Annual Convention IAGI & 10th Geosea Regional Congress, Sept. 10-12, 2001, Yogyakarta, 158h.
Bronto, S., Hartono, G., dan Astuti, B., 2004a. Hubungan 127 Gunung Api purba Watuadeg: Sumber erupsi dan posisi stratigrafi (S. Bronto drr.)
genesa antara batuan beku intrusi dan batuan beku ekstrusi di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Klaten Jawa Tengah. Majalah Geologi Indonesia, 19 (3), h. 147-163.
Bronto, S., Budiadi, Ev., dan Hartono, H.G., 2004b. Permasalahan Geologi Gunungapi di Indonesia. Majalah Geologi Indonesia, 19 (2), h.91-105.
Bronto, S., Hartono, H.G., dan Pambudi, S., 2005. Stratigrafi Batuan Gunung Api Di Daerah Wukirharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman Yogyakarta. Majalah Geologi Indonesia, 20 (1), h.27-40.
Bronto, S., Misdiyanta, P., dan Hartono, H.G., 1994. Penyelidikan awal lava bantal Watuadeg, Bayat dan Karangsambung, Jawa Tengah. Seminar Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa, sejak akhir Mesozoik hingga Kuarter, Jur. Teknik Geologi, FT-UGM, Februari, Yogyakarta, h.123-30.
Cas, R.A.F. dan Wright, J.V., 1987. Volcanic Successions, Modern and Ancient. Allen & Unwin, London, 528h.
Chayes, F., 1975. Statistical Petrology. Carnegie Institute Washington., Yearbook, 74, h.542-50.
Decker, R. dan Decker, B., 1981. Volcanoes. W.H. Freeman & Co., San Francisco, 244h.
Fleet, A.J., Henderson, P., dan Kempe, D.R.C., 1976. Rare earth element and related chemistry of some drilled southern Indian Ocean basalts and volcanogenic sediments. Journal of Geophysical Research, 81 (23), h.4257-4268.
Hartono, G., 2000. Studi gunung api Tersier: Sebaran pusat erupsi dan petrologi di Pegunungan Selatan, Yogyakarta. Tesis magister, Program Studi Teknik Geologi, Program Pasca Sarjana, ITB, Bandung, 168 h. (tidak terbit).
Hartono, G., 2008. Studi batuan gunung api pumis: Mengungkap asal mula Bregada gunung api purba di Pegunungan Selatan, Yogyakarta. Prosiding Seminar dan Workshop “Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah”, Kerjasama PSG, UGM, UPN “Veteran”, STTNAS dan ISTA, Yogyakarta, 27-29 November 2007, (in press).
Hartono, G., Sudradjat, A., dan Syafri, I., 2007. Gumuk Gunung Api Purba Bawah Laut Di Tawangsari-Jomboran, Sukoharjo-Wonogiri, Jawa Tengah. Joint Convention IAGI-HAGI-IATMI, Nov. 13-16, 2007, Bali.
Hartono, G., Azhar, Martino, S., dan Arshad, M., 2008. Bentang Alam Gumuk Gunung Api Purba Berarah Baratlaut-Tenggara Di Daerah Karangdowo-Tawangsari, Jawa Tengah, (in press).
Kuno, H., 1960. High alumina basalts. Journal of Petrology, 1, h.12-145.
Kuno, H., 1968. Origin of andesite and its bearing on the island arc structure. Bulletin Volcanology, 32, h.141-76.
Kusumadinata, K., 1979. Data Dasar Gunung Api Indonesia. Direktorat Vulkanologi, Bandung, 820h.
McPhie, J., Doyle, M. dan Allen, R., 1993. Volcanic Texture. Centre for Ore Deposit and Exploration Studies, University of Tasmania, Hobart, 196h.
Macdonald, G.A., 1968. Composition and origin of Hawaiian lavas. Geological Society of America, Memoir, 116, h. 477-522.
Martodjojo, S. dan Djuhaeni, 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia IAGI, Jakarta, 25h.
Middlemost, E.A.K., 1985. Magmas and magmatic rocks: an introduction to igneous petrology. Longman Inc., New York, 266h.
Mulyaningsih, S., 1999. Rekonstruksi bencana alam purba di daerah Kalasan dan sekitarnya, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis S-2, Jurusan Teknik Geologi, FIKTM-ITB, 157h. (tidak terbit).
Mulyaningsih, S., 2005. Geologi lingkungan di daerah lereng selatan Gunung api Merapi, Yogyakarta, pada waktu sejarah. Disertasi S-3, Program Studi Teknik Geologi, ITB, 365h. (tidak terbit).
Newhall, C.G. dan Self, S., 1982. The Volcanic Explosivity Index (VEI): an estimate of explosive magnitude for historical volcanism. Journal of Geophysical Research, 87, h.1231-1238.
Ngkoimani, L.O., 2005. Magnetisasi pada batuan andesit di pulau Jawa serta implikasinya terhadap paleomagnetisme dan evolusi tektonik. Disertasi S3, ITB, 110h.
Nicholls, I.A. dan Whitford, D.J., 1983. Potassium-rich volcanic rocks of the Muriah Complex, Java, Indonesia: Products of multiple magma sources? Journal of Volcanology and Geothermal Research, 18, h.337-359.
Nicholls, I.A., Whitford, D.J., Harris, K.L. dan Taylor, S.R., 1980. Variation in the Geochemistry of Mantle Sources for Toleitic and calc-Alkaline Mafic Magmas, Western Sunda Volcanic Arc, Indonesia. Chemical Geology, 30, h.177-199.
Peccerillo, A. dan Taylor, S.R., 1976. Geochemistry of Eocene calc-alkaline volcanic rocks from the Kastamonu area, northern Turkey. Contribution Mineralogy and Petrology, 58, h.63-81.
Rahardjo, W., 2007. Prelimanary result of foraminiferal biostratigraphy of Southern Mountains Tertiary rock, Yogyakarta Special Province. Prosiding Seminar dan Workshop “Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah”, Kerjasama PSG, UGM, UPN “Veteran”, STTNAS dan ISTA, Yogyakarta, 27-29 November 2007, (inpress).
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan Rosidi, H.M., 1977. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, skala 1 : 100.000. Direktorat Geologi, Bandung.
Soeria-Atmadja, R., Maury, R.C., Bellon, H., Pringgoprawiro, H., dan Priadi, B., 1994. Tertiary magmatic belts in Java, Journal of SE Asian Earth Sciences, 9, h.13-21.
Suparka, M.E. dan Soeria-Atmadja, R., 1991. Major element chemistry and REE patterns of the Luh Ulo ophiolites, Central Java. Proceeding The Silver Jubilee, Symposium Dynamics of subduction and its products, Yogyakarta-Karangsambung, 17-19 Sept., 1991, Research and Development Center for Geotechnology. 128 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 3 September 2008: 117-128
LIPI, h.204 - 18.
Surono, Toha, B., dan Sudarno, I.,1992. Peta Geologi Lembar Surakarta – Giritontro, Jawa, skala 1 : 100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Suryono, S.S. dan Setyowiyoto, J., 2001. Stratigraphics of Kebo-Butak Formation: Deep water clastic sediments model. Extended Abstract, 30 rdAnnual Convention IAGI & 10th Geosea Regional Conggres, h.301-302.
Suyoto, 2007. Status Cekungan Wonosari dalam kerangka tektonik Indonesia Barat. Prosiding Seminar dan Workshop “Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah”, Kerjasama PSG, UGM, UPN “Veteran”, STTNAS dan ISTA, Yogyakarta, 27-29 November 2007, (in press)
Wilson, M., 1989. Igneous Petrogenesis. 1st publ., Unwin Hyman, London, 485h.
Naskah diterima : 12 Februari 2008
Revisi terakhir : 04 Juni 2008
 =================================
BAHAN 2
Geokimia regional Sulawesi bagian Utara
percontoh endapan sungai aktif -80 mesh
SABTANTO JOKO SUPRAPTO
Pusat Sumber Daya Geologi, Jln. Soekarno-Hatta 444 Bandung, Indonesia
SARI
Penyelidikan geokimia dengan mengunakan metode analisis kandungan unsur dari percontoh
endapan sungai aktif -80 mesh merupakan salah satu fase awal eksplorasi terutama untuk menemukan
cebakan mineral logam. Cebakan tersebut, baik yang sudah tersingkap maupun yang masih berada
di bawah permukaan dapat terungkap pada data geokimia yang dihasilkan. Selain dapat menentukan
keberadaan cebakan bahan galian, sebaran unsur percontoh endapan sungai juga dapat dipergunakan
untuk menentukan kondisi geologi dan lingkungan rona awal maupun rona akhir dari suatu wilayah.
Sulawesi bagian utara dengan tataan geologi yang kompleks dan berada dalam jalur metalogenik
yang berpotensi membentuk cebakan logam, menghasilkan rona geokimia yang sangat bervariasi
dan menarik. Data geokimia regional yang tertuang dalam bentuk peta sebaran unsur menyajikan
informasi awal yang penting tentang indikasi mineralisasi untuk ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan
lebih rinci.
Kata kunci: Geokimia regional, bahan galian, metalogenik, mineralisasi
ABSTRACT
Geochemical investigation using the analysis method of -80 mesh of active stream sediment
samples is one of the early phase exploration especially in fi nding out metallic mineral deposits.
These deposits either as outcrop or as being still in subsurface, can be revealed in geochemical output
data. Despite for determination of the availability of mineral deposits, elements distribution of stream
sediment samples, can be used to determine the initial and last appearance of geological and situated
in environmental condition of an area. Northern part of Sulawesi with its complex geologic setting
and a metallogenic region is being potential to form metallic deposits, which create some variation
and interesting geochemical performances. The regional geochemistry data by means in the form of
elements distribution maps represent the basic important information of mineralization indications,
which enable for detail follow up investigation.
Keywords: Regional geochemistry, mineral deposit, metallogenic, mineralization
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 73-82
73
PENDAHULUAN
Sulawesi bagian utara terletak di sebelah utara
garis Lintang Utara 2o, meliputi daerah bagian
tengah, lengan timur dan utara Pulau Sulawesi.
Bentang alam daerah bagian utara umumnya berupa
pebukitan dan pegunungan dengan dataran rendah
menempati daerah sepanjang pantai yang sempit.
Sejarah eksplorasi mineral Indonesia (Van Leeuwen,
1994) telah menggambarkan perkembangan
kegiatan usaha pertambangan di Sulawesi yang mengalami
beberapa fase. Pada fase paling awal, yaitu
penyelidikan oleh Netherlands Indies Geological
Survey di bagian timur Sulawesi pada tahun 1909
74 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 73-82
- 1910 telah ditemukan batuan ofi olit yang cukup
potensial mengandung nikel. Kegiatan eksplorasi
pada fase berikutnya lebih banyak dilakukan di
bagian barat dan utara Sulawesi yang merupakan
daerah jalur magmatik.
Penyelidikan geokimia regional endapan sungai
aktif -80 mesh merupakan kegiatan pengambilan
percontoh endapan sungai oleh Direktorat Inventarisasi
Sumberdaya Mineral pada periode tahun 1997
- 2000 dalam rangka pemetaan geokimia bersistem.
Kegiatan tersebut ditujukan untuk penyediaan data
dasar geokimia yang mencakup seluruh daratan
Indonesia.
Pemetaan geokimia dilakukan dengan cara
pengambilan percontoh endapan sungai fraksi -80
mesh pada cabang-cabang sungai aktif. Sebanyak
4.681 percontoh yang terkumpul mewakili daerah
penyelidikan seluas 80.765 km2. Dengan dikurangi
luas daerah rawa, danau, dan kawasan dataran pantai,
dihasilkan kerapatan rata-rata setiap percontoh (1
buah percontoh) untuk 15,31 km2. Fraksi berukuran
-80 mesh dari endapan sungai ini dianalisis dengan
metode Spektrometri Serapan Atom (AAS) untuk 11
unsur-unsur yang terdiri atas Cu, Pb, Zn, Mn, Fe,
Ag, Li, K, Co, Ni, dan Cr. Penentuan kadar unsur
Cu, Pb, Zn, Co, Ni, Mn, dan Ag dilakukan setelah
peleburan dengan menggunakan asam nitrat panas.
Sementara kadar Li, K, Cr, dan Fe ditentukan setelah
melalui peleburan menggunakan asam perkhlorat/
hidrofl uorat panas.
Penyelidikan geokimia secara regional dimaksudkan
untuk memberikan petunjuk awal potensi
keberadaan cebakan mineral berdasarkan gambaran
geokimia regional dan dapat digunakan sebagai data
dasar untuk berbagai kepentingan. Data geokimia
dapat ditafsirkan antara lain sebagai petunjuk awal
eksplorasi untuk sasaran khususnya mineral logam
dan pemantauan lingkungan.
GEOLOGI REGIONAL
Sulawesi terletak pada pertemuan Lempeng besar
Eurasia, Lempeng Pasifi k, serta sejumlah lempeng
lebih kecil (Lempeng Filipina) yang menyebabkan
kondisi tektoniknya sangat kompleks. Kumpulan
batuan dari busur kepulauan, batuan bancuh, ofi olit,
dan bongkah dari mikrokontinen terbawa bersama
proses penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik
lainnya (Van Leeuwen, 1994).
Berdasarkan keadaan litotektonik, Sulawesi
dibagi tiga mandala, yaitu: Mandala barat sebagai
jalur magmatik yang merupakan bagian ujung timur
Paparan Sunda; Mandala tengah berupa batuan
malihan yang ditumpangi batuan bancuh sebagai
bagian dari blok Australia; dan Mandala timur
berupa ofi olit yang merupakan segmen dari kerak
samudera berimbrikasi dan batuan sedimen berumur
Trias - Miosen (Gambar 1).
Van Leeuwen (1994) menyebutkan bahwa mandala
barat sebagai busur magmatik dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu bagian utara dan barat. Bagian
utara memanjang dari Buol sampai sekitar Manado,
dan bagian barat dari Buol sampai sekitar Makassar.
Batuan bagian utara bersifat riodasitik sampai
andesitik, terbentuk pada Miosen - Resen dengan
batuan dasar basaltik yang terbentuk pada Eosen
- Oligosen. Busur magmatik bagian barat mempunyai
batuan penyusun lebih bersifat kontinen yang
terdiri atas batuan gunung api - sedimen berumur
Mesozoikum - Kuarter dan batuan malihan berumur
Kapur. Batuan tersebut diterobos granitoid bersusunan
terutama granodioritik sampai granitik yang
berupa batolit, stok, dan retas.
Gambar 1. Peta satuan litotektonik Sulawesi (Van Leeuwen,
1994).
Geokimia regional Sulawesi bagian Utara percontoh endapan sungai aktif -80 mesh (S. J. Suprapto) 75
MINERALISASI
Kegiatan penambangan pertama di Sulawesi
bagian utara dilakukan di Ratatotok (Turner dkk.,
1994). Penambangan emas merupakan kegiatan
yang mulai dilakukan oleh penduduk setempat pada
tahun 1850an, kemudian secara intensif oleh Belanda
antara tahun 1900 dan 1921, dengan produksi
tercatat 5.060 kg emas.
Berdasarkan kondisi litotektonik, daerah mineralisasi
yang berkembang di Sulawesi bagian utara
dapat dikelompokkan dalam empat jalur, yaitu
bagian barat, utara, tengah, dan timur. Bagian barat
sebagai busur magmatik dengan batuan terobosan
granodiorit-granitik menghasilkan beberapa jenis
mineralisasi, di antaranya mineralisasi emas epitermal
dan mineralisasi Mo porfi ri. Sangat berbeda
dengan Sulawesi Utara, lokasi mineralisasi di Sulawesi
bagian barat relatif sedikit (van Leeuwen,
1994). Mandala bagian utara merupakan daerah
yang sangat potensial sebagai tempat mineralisasi
logam, dimana terbentuk beberapa jenis mineralisasi
yang terdiri atas emas epitermal jenis sulfi dasi
rendah, tembaga-emas porfi ri, emas pada batuan
sedimen (jenis Carlin), urat sulfi dasi polimetalik dan
mineralisasi Cu-Au-Ag epitermal sulfi dasi tinggi.
Mandala tengah dengan batuan penyusun malihan
dan bancuh, dimana data temuan mineralisasi pada
daerah ini sangat kurang. Mineralisasi khrom ditemukan
pada bagian timur dengan batuan penyusun
ofi olit (Gambar 2 A dan 2D).
HASIL ANALISIS
GEOKIMIA UNSUR TUNGGAL
Penentuan kelas sebaran unsur di wilayah Sulawesi
bagian utara didasarkan pada kurva probabilitas
logaritmik dimana titik belok kurva dipakai
untuk menentukan proporsi setiap populasi (Sinclair,
1976), yang digabungkan dengan data pembanding
dari daerah Sulawesi bagian selatan dan pembagian
secara persentil. Kelas terakhir dengan harga tinggi
sebagai nilai anomali umumnya merupakan isyarat
adanya mineralisasi.
Perak (Ag)
Hasil analisis kimia perak yang nilainya lebih
besar dari batas deteksi jumlahnya sangat terbatas.
Sebagian besar lebih kecil atau sama dengan
nilai batas deteksi. Nilai berkisar dari bawah batas
deteksi sampai dengan 14 ppm (Tabel 1). Nilai
yang sebagian besar berada di bawah batas deteksi
menyebabkan adanya distorsi pada kurva kumulatif
probabilitas yang bisa dianggap sebagai satu populasi
normal logaritmik dengan populasi tertinggi
Tabel 1. Ringkasan Statistik Kandungan Unsur (satuan dalam ppm kecuali Fe dalam %)
Unsur Jumlah
Percontoh Min Maks Rata-Rata Standard Deviasi
Deteksi
Batas
Presisi %
U 4.681 2 2.131 33,99 81,01 2 18,64
Pb 4.681 2 4.126 25,46 80,70 2 15,77
Zn 4.681 5 1.979 65,38 63,58 3 14,17
Co 4.681 2 181 23,38 16,90 0,5 7,78
Ni 4.681 1 4.575 168,57 433,50 0,5 17,84
Mn 4.681 14 6.276 465,59 392,40 1 31,47
Ag 4.681 0,7 17 1,09 0,59 1 11,15
Li 4.681 1 200 12,35 9,36 1 16,13
K 4.681 60 274.000 8.788,61 9.631,00 14 8,27
Cr 4.681 5 17.510 361,88 873,80 1 9,92
Fe 4.681 0,1 89,9 5,58 4,88 0,005 9,71
76 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 73-82
1%. Nilai tertinggi 14 ppm berasal dari percontoh
yang diambil di Sungai Melaguyun, di bagian barat
Gorontalo.
Walaupun nilai perak yang berada di atas nilai
batas deteksi sangat jarang, namun ada beberapa
kelompok peninggian nilai perak yang tergambar
pada citra geokimia (Gambar 2B) berkaitan dengan
daerah mineralisasi perak dan emas. Peninggian
nilai perak paling banyak dijumpai di Kabupaten
Gorontalo dan Minahasa, sebagai cerminan dari
keterdapatan Ag (dan Au) pada daerah ini.
Kobal (Co)
Kadar kobal berkisar dari 1 ppm hingga 181 ppm
(Tabel 1), dengan nilai tertinggi mencapai 181 ppm
berada pada daerah sekitar Batui. Sebaran umum
kobal mirip dengan Ni dan Cr; dimana beberapa
nilai tinggi terdapat di timur Poso, Batui, Luwuk, dan
Balantak berasosiasi dengan ofi olit (Gambar 2C).
Khrom (Cr)
Kadar khrom dari bawah batas deteksi 5 ppm
hingga 17.510 ppm (Tabel 1). Nilai tertinggi 17.510
ppm berada di timur Poso dan Batui (Gambar 2D).
Sebaran kadar tinggi Cr berasosiasi dengan batuan
ofi olit, dimana anomali signifi kan dijumpai berasosiasi
dengan mineralisasi khrom.
Tembaga (Cu)
Nilai tembaga berkisar dari 2 ppm sampai
dengan 2.131 ppm. Pengelompokan data menggunakan
kurva probabilitas kumulatif diperoleh tujuh
populasi. Kadar tertinggi tembaga 2.131 ppm berasal
dari Sungai Bulagidun, sebelah timur Tolitoli.
Anomali signifi kan dari tembaga dijumpai di daerah
Minahasa, Gorontalo dan Boalemo yang menerus ke
sekitar Sabang dan Tinombo. Anomali tembaga pada
daerah ini terkait dengan adanya cebakan tembaga
yang ditemukan di Kotabunan, Tombulilato dan
Bulagidun (Gambar 2A dan 2E).
Besi (Fe)
Kandungan besi berkisar dari 0,1% sampai
89,9%. Kurva probabilitas kumulatif dengan pola
normal logaritmik dapat dibagi menjadi empat
populasi. Peninggian nilai Fe terutama dijumpai di
Sulawesi Utara, dengan anomali di sekitar Paleleh,
Likupang, Taludaa, Bulagidun, Bolaang Mongondow,
dan Minahasa berasosiasi dengan keberadaan
mineralisasi logam lain (Gambar 2A dan 2F).
Kalium (K)
Kandungan kalium berkisar dari 60 sampai
dengan 274.000 ppm. Daerah peninggian kalium
yang berada di zone busur magmatik bagian barat,
di daerah Sulawesi Tengah menempati sebelah timur
Palu menerus ke arah utara, berasosiasi dengan
batuan granitik. Secara umum peninggian kadar K
mirip dengan Li. Citra K memperlihatkan nilai lebih
tinggi di zone busur magmatik Sulawesi bagian
barat dibandingkan dengan yang terdapat di jalur
malihan bagian tengah, busur magmatik utara, dan
jalur ofi olit timur (Gambar 3A).
Litium (Li)
Li mempunyai kisaran nilai dari 1 ppm sampai
dengan 200 ppm. Nilai tinggi litium erat kaitannya
dengan batuan terobosan granitoid dan batuan
malihan.
Citra geokimia litium bersesuaian dengan kondisi
geologi regional antara lain struktur geologi,
mandala tektonik dan litotektonik. Litium relatif
tinggi di sekitar Pasangkayu, Tolitoli berasosiasi
dengan intrusi granitoid, sementara di Kolaka bagian
utara berkaitan dengan batuan malihan. Nilai
litium rendah terdapat di busur magmatik Sulawesi
bagian utara dan jalur ofi olit Sulawesi bagian timur
(Gambar 3B).
Mangan (Mn)
Kadar mangan dari 14 ppm sampai dengan
6.276 ppm dengan rata-rata aritmatik 465 ppm.
Nilai tertinggi berasal dari Boalemo. Anomali
signifi kan mangan dijumpai antara lain di Daerah
Bungku, Minahasa, sekitar Tolitoli, dan Ratatotok
berasosiasi dengan keterdapatan mineralisasi emas
(Gambar 2A). Beberapa anomali mangan di busur
magmatik bagian utara Sulawesi berasosiasi dengan
mineralisasi emas.
Citra geokimia mangan (Gambar 3C) juga memberikan
nilai tinggi di jalur ofi olit Sulawesi bagian
timur. Kadar mangan rendah terdapat di busur magmatik
Sulawesi bagian barat.
Nikel (Ni)
Nikel berkisar dari 1 ppm sampai dengan 4.575
ppm. Nilai tertinggi unsur nikel 4.575 ppm berasal
dari timur Poso ke arah Batui (Gambar 3D). Sebaran
Geokimia regional Sulawesi bagian Utara percontoh endapan sungai aktif -80 mesh (S. J. Suprapto) 77
umum Ni mirip dengan sebaran Cr dan Co, dimana
beberapa nilai tinggi berkaitan dengan keberadaan
ofi olit.
Timbal (Pb)
Hasil analisis timbal mempunyai kisaran dari 2
ppm sampai dengan 4.126 ppm, dengan rata-rata
25,4 ppm. Nilai tinggi timbal 4.126 ppm berasal
dari daerah Paleleh. Peninggian timbal seperti di
Paleleh, Malala, Soni, Minahasa, Palu, Mamuju,
dan Pohuwato berkaitan dengan mineralisasi sulfi da.
Anomali Pb di sekitar Paleleh diperkuat oleh adanya
kontaminasi dari tambang emas yang dilakukan
oleh masyarakat. Secara keseluruhan kandungan
nilai timbal (Gambar 3E) relatif tinggi pada busur
magmatik barat Sulawesi dan busur magmatik utara
Sulawesi.
Gambar 2. Peta Sulawesi Bagian Utara menunjukkan (A) Mineralisasi logam; (B) Sebaran unsur perak; (C) Sebaran unsur
kobal; (D) Sebaran unsur kromium; (E) Sebaran unsur tembaga; dan (F) Sebaran unsur besi.
A
B
C F
E
D
78 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 73-82
Seng (Zn)
Kandungan seng 3 ppm sampai dengan 1.979
ppm, rata-rata aritmatik 65,4 ppm. Nilai tertinggi
seng 1.979 ppm berasal dari Kotabunan. Peninggian
mencolok di Sulawesi Utara sekitar Minahasa,
sebagian di pantai utara Gorontalo.
Citra geokimia seng menunjukkan adanya daerah
anomali di Malala, Paleleh sampai Kwandang,
Rataotok, Likupang dan Manado. Anomali seng
berkaitan dengan mineralisasi sulfi da logam dan
sebagian akibat kontaminasi dari wilayah tambang
rakyat (Gambar 2A dan 3F).
Gambar 3. Peta Sulawesi Bagian Utara menunjukkan (A) Sebaran unsur kalium; (B) Sebaran unsur litium; (C) Sebaran unsur
mangan; (D) Sebaran unsur nikel; (E) Sebaran unsur timbal, dan (F) Sebaran unsur seng.
A
B
C F
E
D
Geokimia regional Sulawesi bagian Utara percontoh endapan sungai aktif -80 mesh (S. J. Suprapto) 79
HASIL ANALISIS
GEOKIMIA UNSUR MAJEMUK
Kekerabatan Unsur
Kekerabatan unsur merupakan salah satu cara
untuk menafsirkan data geokimia. Untuk penentuan
kekerabatan unsur digunakan analisis statistik
multivariat, yaitu:
1. Analisis Korelasi
2. Analisis Pemetaan Non-Linier (R-mode)
3. Analisis Faktor
Berdasarkan analisis multivariat diperoleh tiga
kelompok kekerabatan unsur, yaitu: Li-K (isyarat
adanya intrusi batuan asam), Ni-Co-Cr (isyarat batuan
basa dan ultrabasa), dan Cu-Pb-Zn-Mn-Fe-Ag
mencerminkan adanya mineralisasi sulfi da logam.
a. Analisis Korelasi
Analisis korelasi dilakukan setelah data ditransformasi
dengan pembakuan distribusi normal (Ztransfomasi)
untuk mengurangi efek outlier. Hasil
disajikan berupa diagram matrik korelasi (Gambar
4 dan 5), tiga korelasi kuat terdiri atas:
1. Li-K
2. Ni-Co-Cr
3. Cu-Pb-Zn-Mn-Fe-Ag
Korelasi Li-K berasosiasi dengan batuan
berkomposisi asam berupa granitoid di mandala
magmatik Sulawesi barat dan utara. Kelompok
Ni-Co-Cr berasosiasi dengan litologi berkomposisi
basa dan ultrabasa. Kelompok Cu-Pb-Zn-Mn-Fe-
Ag mempunyai asosiasi dengan batuan gunung api
(Gambar 2A dan 5).
b. Analisis Pemetaan Non-linear (R-MODE)
Pemetaan non linier R-mode merupakan salah
satu cara untuk menafsirkan hubungan antar variabel
(Henley, 1976). Unsur-unsur yang berdekatan dapat
dianggap berkerabat satu sama lain. Pengelompokan
dengan metode ini memperoleh juga kekerabatan
yang sama antara Ni-Co-Cr, Cu-Pb-Zn-Ag-Mn-Fe,
dan kelompok Li-K (Gambar 6).
c. Analisis Faktor
Analisis faktor menggunakan proses transformasi
oblique menghasilkan tiga populasi eigen
factor seperti tertera pada Tabel 2. Populasi nilai
faktor yang diperoleh yaitu:
1. Faktor 1 : Ni-Co-Cr
2. Faktor 2 : Cu-Pb-Zn-Ag
3. Faktor 3 : Li-K
Kelompok Li-K dan Ni-Co-Cr merupakan
populasi percontoh akibat kontrol litologi. Faktor
1 menunjukkan daerah basa dan ultrabasa. Faktor
2 merupakan kelompok unsur yang terkait dengan
potensi daerah mineralisasi sulfi da. Sedangkan Faktor
3, Li-K merupakan populasi penentuan lokasi
dan sebaran batuan granitik.
Hubungan Sebaran Unsur dan Litologi
Analisis statistik sebaran unsur tiap kelompok
litologi dilakukan dengan menyederhanakan seluruh
peta geologi Sulawesi bagian utara skala 1 :
250.000 menjadi 8 kelompok litologi (Gambar 7)
sebagai berikut:
1. Batuan terobosan
2. Batuan basa-ultrabasa
3. Batuan malihan
Tabel 2. Daftar Nilai Faktor
Gambar 4. Diagram matrik korelasi.
Faktor 1 2 3
Cu 0,0000 1,0000 -0,0001
Pb 0,0000 0,9593 0,0053
Zn -0,0052 0,8175 -0,0334
Co 0,6738 0,0023 -0,1133
Ni 1,0000 -0,0002 -0,0003
Mn 0,0197 0,0993 -0,6625
Li -0,0739 0,0001 0,8198
K -0,0406 0,0000 0,9098
Cr 0,9379 -0,0006 -0,0094
Fe -0,0004 0,0132 -10,0000
Ag 0,0000 0,8196 -0,0488
80 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 73-82
4. Batuan endapan Pra-Tersier
5. Batuan endapan Tersier
6. Batuan gunung api Pra-Kuarter
7. Batuan gunung api Kuarter
8. Aluvial
Data sebaran unsur percontoh endapan sungai
aktif -80 mesh dibagi menjadi 8 kelompok sesuai
dengan litologi penyusunnya, dan analisis statistik
ditentukan untuk masing-masing kelompok. Nilai
kandungan unsur yang lebih kecil atau sama dengan
batas deteksi tidak disertakan. Variasi kandungan
unsur percontoh endapan sungai aktif dengan
litologi dimana percontoh diambil diperlihatkan
pada Gambar 5. Harga outlier tidak dikeluarkan,
sehingga kisaran beberapa unsur terlihat besar. Nilai
kandungan unsur percontoh endapan sungai aktif
-80 mesh di atas harga rata-rata kerak bumi dapat
menjadi pertimbangan dalam menentukan daerah
prospek mineralisasi.
PEMBAHASAN
Mandala Geokimia
Geokimia regional endapan sungai menunjukkan
adanya beberapa pola sebaran unsur mineral di
Sulawesi bagian utara yang dapat dikelompokkan
ke dalam lima mandala geokimia. Mandala Barat
terdapat di bagian barat pulau, Mandala Tengah
di sekitar Daerah Poso, Mandala Timur di Daerah
Gambar 5. Rata-rata kandungan unsur dan rentang dalam kelompok batuan.
Gambar 6. Diagram R-mode NLM.
Geokimia regional Sulawesi bagian Utara percontoh endapan sungai aktif -80 mesh (S. J. Suprapto) 81
Batui-Luwuk, Mandala utara pada Daerah Tilamuta
melanjut ke Daerah Manado, Mandala tenggara pada
Daerah Batui-Balantak (Gambar . Mandala-mandala
tersebut sangat terkait dengan komposisi batuan
di bawahnya. Asosiasi unsur Ni-CO-Cr mencirikan
Mandala Timur, kadar rendah sebaran unsur Mn,
Zn, dan Fe mencirikan Mandala Tengah, sedangkan
harga unsur K dan Li yang relatif lebih tinggi terdapat
pada Mandala Barat, kandungan K, Li rendah,
Mn, Zn tinggi mencirikan mandala utara, kandungan
Mn dan Zn rendah mencirikan mandala tenggara.
Daerah Geokimia
Daerah-daerah geokimia dengan nilai K dan/atau
Li meninggi yang merupakan anomali, mencirikan
adanya granitoid di Mandala Barat (Gambar 1 dan
8), seperti batolit Lompopana di antara Pasangkayu
- Poso.
Daerah dengan anomali berupa peninggian unsur
Cu, Pb, Zn, Ag, Mn, dan Fe pada Mandala Barat dan
Utara muncul di beberapa lokasi, sebagian terdapat
bersamaan dengan mineralisasi sulfi da (Gambar
2A). Anomali pada daerah lainnya dapat ditafsirkan
juga sebagai cerminan adanya mineralisasi logam.
Peninggian kandungan Ni, Cr dan Co di Mandala
Timur terdapat pada daerah dengan batuan jenis
ofi olit.
Garis Geokimia
Garis geokimia digambarkan oleh penjajaran
unsur-unsur yang bernilai tinggi dalam kimia endapan
sungai. Hal ini diyakini berhubungan dengan
pola sebaran batuan, intrusi dan struktur khususnya
sesar. Garis geokimia di Sulawesi bagian utara hanya
tergambarkan di Tambusisi, berupa penjajaran nilai
tinggi kobal dan nikel berarah barat laut tenggara
(Gambar .
Pemanfaatan Data Geokimia
Geokimia merupakan cerminan kondisi permukaan
maupun bawah permukaan yang dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan awal dalam
pengembangan suatu wilayah atau kawasan. Data
permukaan tersebut dapat memberikan gambaran
komposisi kimia unsur penyusun tanah pelapukan
suatu wilayah yang berguna dalam pengembangan
sektor pertanian. Sebagai cerminan bawah permukaan
dapat juga mengungkap potensi bahan galian
dan mineralisasi.
Sebagai data dasar, geokimia sebaran unsur percontoh
endapan sungai aktif -80 mesh dapat dipergunakan
untuk beberapa keperluan, di antaranya pada
kegiatan eksplorasi awal sebagai indikator adanya
mineralisasi logam. Aspek lingkungan geokimia
dan data sebaran unsur dapat digunakan sebagai
penentuan kondisi rona awal dan akhir, terutama
pada lingkungan wilayah pertambangan.
Geokimia Sulawesi bagian utara memberikan
beberapa gambaran tentang kondisi geologi yang
melatarbelakangi lingkungan geokimianya. Sebaran
unsur kimia dapat mencerminkan batuan penyusunnya.
Daerah mineralisasi logam memberikan nilai
kandungan unsur tinggi, seperti di Daerah Paleleh,
Gunung Pani, Malala, Soni, Sumalata, Palu timur,
Likupang, dan Ratatotok. Selain akibat adanya mineralisasi
nilai anomali juga diperkuat oleh adanya
kegiatan pertambangan.
Sebagai salah satu dari beberapa metode pada
eksplorasi endapan logam primer, metode geokimia
endapan sungai aktif selalu digunakan. Biaya
Gambar 7. Peta geologi (Suprapto dan Ramli, 2001). Gambar 8. Peta mandala geokimia Sulawesi Bagian Utara.
82 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 73-82
penyelidikan geokimia relatif murah, data yang
dihasilkan memberikan isyarat tentang keterdapatan
endapan logam dengan tingkat kepastian tinggi, dan
dapat mengungkap keberadaan bahan galian yang
sudah tersingkap maupun masih berada di bawah
permukaan, serta berada jauh di bagian hulu dari
lokasi pengambilan percontoh.
KESIMPULAN
Geokimia percontoh endapan sungai aktif -80
mesh daerah Sulawesi bagian utara dengan analisis
kandungan unsur Ag, Co, Cr, Cu, Fe, K, Li, Mn, Ni,
Pb, dan Zn dapat memberikan gambaran tentang
kondisi geologi, mineralisasi maupun lingkungan.
Analisis kimia percontoh endapan sungai dapat juga
digunakan untuk mengungkap kondisi geokimia di
daerah aliran sungai di bagian hulu dari percontoh
diambil, baik kondisi permukaan maupun bawah
permukaan.
Hasil analisis statistik (analisis korelasi, pemetaan
non-linear R-mode, dan analisis faktor) terhadap
4.681 percontoh menyimpulkan bahwa terjadi pengelompokan
kekerabatan unsur percontoh endapan
sungai aktif yang erat hubungannya dengan jenis
litologi sebagai induknya (parent rock).
Berdasarkan data yang telah ada, khususnya
mineralisasi logam, terdapat kesesuaian antara
anomali geokimia dengan keberadaan cebakan
logam. Korelasi dapat dilakukan dengan anomali
yang lain dimana tanpa disertai data mineralisasi
logam, diharapkan juga merupakan cerminan adanya
bentukan cebakan logam.
Kondisi geologi daerah setempat tercermin juga
pada pola sebaran unsur. Mandala geokimia dapat
menggambarkan mandala geologi Sulawesi apabila
didukung oleh analisis unsur lebih lengkap, dengan
hasil yang lebih rinci dan menyeluruh.
Data geokimia regional selain sebagai data awal
dalam menentukan keberadaan mineralisasi logam,
juga dapat digunakan untuk aspek lingkungan yang
memberikan gambaran tentang rona awal suatu
wilayah sebelum dan pada saat terdapat kegiatan
usaha pertambangan.
Ucapan Terima Kasih---Terima kasih penulis sampaikan
kepada Y. Rizal Ramli dan Unen Oman yang telah banyak
membantu dalam proses digitasi. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada Sutrisno, M.Sc., Ir. Danny Z. Herman,
M.Sc., dan Dr. Hermes Panggabean atas saran dan
koreksinya.
ACUAN
Henley, S., 1976. An R-mode non linear mapping technique.
Computer and Geosciences, 1, h.247-254.
Sinclair, A.J., 1976. Application of Probability Graphs
in Mineral Exploration. Association of Exploration
Geochemists, Rexdale, Ontario.
Suprapto, J.S. dan Ramli, Y.R., 2001. Atlas Geokimia
Sulawesi Bagian Utara, Direktorat Inventarisasi Sumber
Daya Mineral, Bandung.
Turner, S.J, Findell, P.A., Hendri, D., Hardjana, I., Lauricella,
P.F., Lindsay, R.P., Marpaung, B, dan White, G.P., 1994.
Sediment-hosted mineralization in the Ratatotok District,
North Sulawesi, Indonesia. Journal of Geochemical
Exploration, 50, h.317-336.
Van Leeuwen, T.M., 1994. 25 Years of Mineral Exploration
and Discovery in Indonesia. Journal of Geochemical
Exploration, 50, h.13-90.
Van Leeuwen, T.M., Taylor, R., Coote, A., dan Longstaffe,
F.J., 1994. Porphyry Molybdenum Mineralization in
a Continental Collision Setting at Malala, Northwest
Sulawesi, Indonesia. Journal of Geochemical Exploration,
50, h.279-315.
 
====================================
BAHAN 3
 

This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free